Padahal dia adalah
sejelek-jeleknya makhluk. Dia sangat menjijikan. Badannya sangat besar.
Wajahnya bersisik dan di atas sisiknya itu tumbuh bulu yang
panjang-pendeknya tidak seragam. Matanya berurat merah, berwarna kuning keruh
dan melotot marah. Nafasnya tersengal-sengal dan luar biasa bau. Ada karat di
giginya. Rambutnya gimbal berlalat. Punggungnya ditumbuhi bisul dan luka.
Ruas-ruas jarinya ditumbuhi kurap yang berlumut. Kulitnya memar sekaligus basah
karena bernanah.
Mengerikan.
Sebenarnya, bagi yang belum pernah
berjumpa, jangan pernah sekali-sekali membayangkannya. Karena, sekali lagi,
mengerikan sekali. Tapi jangan juga kamu berusaha menghindarinya. Upayamu
akan selalu berujung di jalan buntu. Karena sepandai-pandai, sekuat-kuat dan
selincah-lincahnya kamu berusaha, sosoknya pasti selalu sukses tertangkap
seluruh inderamu.
Aku bukannya ingin
menakut-nakuti. Aku yakin cepat atau lambat kamu pasti juga akan berjumpa
dengannya. Dan setelah kamu berjumpa dengannya, bulu kudukmu bisa rontok
sebelum sempat berdiri. Kamu jadi susah tidur, susah makan, susah buang air dan
susah konsentrasi lebih dari berpuluh-puluh hari. Denyut jantungmu pada malam
hari bisa tidak teraba- apalagi kalau kamu sedang tidur-kamu bahkan bisa dikira
mati. Ketika kamu bangun di pagi hari, bantal, guling dan tempat tidurmmu akan
basah bersimbah keringat. Sedangkan pada siang hari, kamu susah membedakan mana
mimpi dan realitas. Kelenjar matamu berdenyut-denyut sakit tapi tidak
menghasilkan setetes pun air mata. Semua suara disekelilingmu jadi samar, atau,
bahkan terlalu memekakkan telinga. Kamu bisa nyaris gila dan trauma persis para
veteran perang Vietnam.
Oleh karena itu, aku
akan bercerita tentang aku dan cemburu. Mudah-mudahan dengan ceritaku, kamu
menjadi sedikit lebih
waspada, dan sedikit lebih
arif menghadapinya.
***
Kali pertama aku
berjumpa dengan cemburu umurku baru tujuh belas tahun. Aku ingat sekali,
hari itu adalah hari Jumat. Waktu itu aku memakai baju seragam batik sekolahku.
Aku ingat betul itu, soalnya aku suka sekali pakai batik. Tapi bukan berarti
aku memiliki nasionalisme tinggi. Cinta dan sayangku pada tanah air tidak
sebegitu besarnya seperti cintaku pada si Dana dan sayangku pada Dini.
Saat itu. Dana adalah
pacar pertamaku. Dini adalah sahabat karibku. Tidak perlu kujelaskan wujud
mereka seperti apa. Pokoknya, Dana-Dini bukanlah kakak beradik. Tanpa aku
pun mereka berdua tidaklah pernah saling tahu.
Aku sangat menyukai
Dana dan Dini. Sehari tanpa salah satu diantara mereka berdua rasanya sehari
tanpa gairah. Kalau ada Dana, biasanya ada aku. Kalau ada Dini, biasanya ada
aku. Tidak pernah, ada Dini dan Dana sekaligus, tanpa ada aku disana.
Tapi suatu hari, aku
melihat Dini dan Dana ada bersama. Tanpa aku disana. Maksudnya, tanpa aku
benar-benar ada di dekat mereka. Saat melihat mereka berduaan, saat itulah aku
pertama melihat sosok cemburu. Cemburu mengintip dibalik punggung Dini dan
Dana, menatap tajam ke arahku. Cemburu seperti ingin memangsaku. Seketika,
insting pertahanan diriku muncul. Aku gemetaran dan lari ketakutan, menghindari
Dini, Dana dan cemburu di Jumat sore itu.
Sejak itu, aku tidak
pernah lagi mau berada di dekat Dana ataupun Dini. Bahkan aku tidak mau melihat
salah satu diantara mereka. Pun dari kejauhan. Setiap ada salah satu dari
mereka, cemburu ada di situ. Mengintip dengan tatapannya yang menghunusku.
***
Tapi rupanya, cemburu
begitu menyukaiku. Lama-kelamaan, aku dikejarnya, bahkan sampai ke rumahku
sendiri. Kemanapun aku pergi, ia mengikutiku. Padahal, tidak ada Dana atau Dini
disitu. Aku ngeri sepenuh hati.
Memang, cemburu tidak
akan muncul dan mendekat kalau aku sedang bersama orang. Cemburu hanya berani
mendekat kalau aku sendirian. Dan untungnya, cemburu bukan sebangsa dedemit
atau roh halus lainnya. Cemburu tidak bisa menembus tembok. Jadi, aku aman-aman
saja selama aku mengunci pintu dan menutup rapat jendela kamarku.
Jadi selama
berbulan-bulan—tepatnya dua puluh dua bulan lamanya—aku selalu menghindari
pergi sendirian. Aku selalu minta ditemani. Minta ditemani teman-teman, ibu,
ayah, kakek, tante, om, tetangga atau adik-adikku. Aku juga menyibuk-nyibukkan
diriku, mengalihkan perhatian. Semakin banyak orang yang kutemukan-semakin
banyak yang kulakukan, semakin baik rasanya. Pokoknya aku tidak pernah
membiarkan diriku sendirian. Kalaupun sendirian, biasanya, aku berada di
kamarku. Kututup dan kukunci semua jendela dan pintu. Kalau cemburu
mengetuk-ngetuk pintu atau mencakar-cakar jendela, aku berusaha tidak ambil
pusing. Aku mengalihkan perhatianku dengan membaca apapun atau mendengarkan
musik keras-keras. Bahkan kadang, aku ikut menyanyi sampai urat-urat leherku
bermunculan dan kemudian ibu memarahiku.
***
Pernah, satu hari, aku
lengah. Kejadiannya saat aku pulang sekolah. Kebetulan tidak ada yang
menemaniku. Ayahku terlambat menjemputku. Aku menunggu di sebuah persimpangan
jalan. Tapi hari itu, dari tiga arah manapun tak ada kendaraan—bahkan tak ada
orang sejauh mata memandang. Aku khawatir cemburu muncul. Karena aku total sendirian.
Benar saja, dari suatu
arah, cemburu muncul. Dengan langkah terseok-seok, dia berjalan mendekatiku.
Aku berteriak tapi sepertinya hari itu udara enggan mengantarkan gelombang
longitudinalnya ke semua penjuru. Kedap suara. Aku bahkan tidak bisa mendengar
suara jeritanku sendiri. Yang terdengar adalah suara lenguhan cemburu dan
nafasnya yang memburu. Mengarah padaku. Aku berlari sambil menangis ketakutan.
Tapi sepertinya dia mempercepat langkahnya. Aku dapat merasakan bau busuk
tubuhnya mulai mencekat.
Aku berbelok ke sebuah
gang dan berlari menyusurinya. Kulihat ke belakang, rupanya cemburu masih juga
mengejarku. Celakanya, ternyata ujung gang itu buntu. Aku frustasi dan mulai
menggedor-gedor pintu-pintu beberapa rumah yang ada di situ. Tapi hari
itu, seperti film bisu. Tak ada suara. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang
mendengar teriakkanku. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku. Yang
terdengar adalah nafas cemburu yang memburu!
Tembok terlalu tinggi,
penuh kawat berduri, tak bisa kulewati. Tak dinyana, ada seonggok kardus—kardus
mesin cuci—merknya Philips—terbujur kaku di salah satu sudut jalan buntu
itu. Aku melompat masuk ke dalamnya. Menutup rapat tutupnya dan menahan
nafasku. Mudah-mudahan cemburu tidak melihatku.
Aku mendengar suaranya
nafas yang berat mendekat. Aku tahu cemburu sudah dekat. Aku mulai menangis,
tapi menahan sedu-sedanku. Air mataku membasahi rok abu-abuku. Aku menunggu dan
menunggu. Menunggu ditemukan cemburu. Aku menunggu dan menunggu sambil
menangis. Tapi sepertinya cemburu kesulitan menemukanku. Dan entah berapa lama
aku berada di dalam kardus itu. Lalu tutup kardus terbuka. Seorang pria berdiri
menatapku heran.
Setelah itu aku
diantar pria itu pulang. Kembali ke rumahku dengan selamat. Meskipun saat itu aku hampir
setengah gila, tapi tetap saja entah
bagaimana pria itu-yang ternyata berumur tidak jauh dariku- jadi sering
menjemput dan mengantarku pulang. Hampir setiap hari, selama berbulan-bulan.
Aku juga jadi lebih
siaga. Aku membawa kardus mesin cuci kemana pun aku pergi. Untuk berjaga-jaga.
Guru sekolah bahkan pernah memanggilku. Teman-teman sampai menganggapku gila.
Banyak juga yang menjauhiku. Tapi aku tidak peduli.
Sampai akhirnya
cemburu tidak pernah mengikutiku lagi. Aku juga tidak paham kenapa. Mungkin,
dia akhirnya bosan padaku.
***
Sekarang, aku sudah
tidak sering—bahkan tidak pernah—bersama dengan pria yang menemukanku di kardus
dan kemudian rutin mengantarjemputku. Biar bagaimanapun, aku berterimakasih
padanya. Ia telah menyelamatkanku.
Dan juga sebenarnya,
suatu hari, pernah aku tidak sengaja berjumpa lagi dengan cemburu. Itu untuk
kedua kalinya, setelah belasan tahun lamanya. Itu terjadi saat makan malam
bersama suami dan dua anakku. Sebuah restoran keluarga yang harganya standar-standar
saja. Kami duduk melingkari sebuah meja. Penuh syukur dan khidmat. Persis
seperti gambaran keluarga kecil sejahtera di kaleng biskuit Cina.
Ketika aku tengah
melahap hidangan, tiba-tiba sepasang suami istri, tetangga kami yang baru saja
menikah, menghampiri dan menyapa kami sekeluarga. Rupanya mereka baru datang
dan juga akan makan di tempat itu. Setelah kami saling bertukarsapa, pergilah
pasangan itu ke meja yang telah dipersilahkan pramusaji. Meja itu merapat ke
sebuah jendela besar. Aku tersenyum saja melihat kemesraan mereka yang duduk
tidak jauh dari meja kami. Jadi teringat masa-masa dulu. Lalu aku kembali
menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilku.
Tapi kemudian, suasana
hangat mendadak hilang ketika aku tidak sengaja melempar pandangku ke meja
tempat pasangaan baru itu duduk. Tepat disamping meja, aku melihat makhluk
seram itu muncul. Mengintip di balik jendela. Aku mengerjap-ngerjap mata tidak
percaya. Melihat sekali lagi ke arah yang sama. Tidak salah lagi. Cemburu
mengintip di balik jendela. Cemburu di balik jendela. Cemburu dengan matanya
yang penuh teror. Cemburu yang dulu memburuku!
Bergegas, aku
mengambil tasku dan langsung mengajak keluargaku, pergi dari situ. Aku bilang
saat itu, ada urusan kantor yang lupa kubereskan. Suami menyuruhku menunda dan
tetap makan dengan khidmat. Aku menurut. Tapi tetap kupercepat makan-minumku.
Sampai tiba saatnya kami pergi dari situ.
Kemudian, tentu saja,
kamu pasti bisa menebak, apa yang selanjutnya kulakukan. Aku mulai melakukan
ritual-ritual semasa SMA-ku lagi: menjadi sangat sibuk, sering bertemu banyak
orang, rajin mengunci diri di kamar, suka menyetel lagu keras-keras, membaca
buku banyak-banyak, dan yang paling membuat suami dan anak-anakku heran:
membawa kardus mesin cuci kemana-mana.
Bogor, 3 Oktober 2013
Heey Car hehe. Gw suka bgt ini. Kardus cocok bgt jd objeknya. Keren! Btw Dana beneran pacar pertama kamu? hehehe
BalasHapus