26 Jan 2014

Kardus Mesin Cuci untuk Sembunyi

Suatu hari aku tidak sengaja berjumpa dengan cemburu. Kelihatannya dia langsung suka padaku. Makanya tidak aneh, dia mengikutiku kemanapun aku pergi.

Padahal dia adalah sejelek-jeleknya makhluk. Dia sangat menjijikan. Badannya sangat besar. Wajahnya bersisik dan di atas sisiknya itu tumbuh bulu yang  panjang-pendeknya tidak seragam. Matanya berurat merah, berwarna kuning keruh dan melotot marah. Nafasnya tersengal-sengal dan luar biasa bau. Ada karat di giginya. Rambutnya gimbal berlalat. Punggungnya ditumbuhi bisul dan luka. Ruas-ruas jarinya ditumbuhi kurap yang berlumut. Kulitnya memar sekaligus basah karena bernanah.
Mengerikan.


Sebenarnya, bagi yang belum pernah berjumpa, jangan pernah sekali-sekali membayangkannya. Karena, sekali lagi, mengerikan sekali. Tapi jangan juga kamu berusaha  menghindarinya. Upayamu akan selalu berujung di jalan buntu. Karena sepandai-pandai, sekuat-kuat dan selincah-lincahnya kamu berusaha, sosoknya pasti selalu sukses tertangkap seluruh inderamu.

Aku bukannya ingin menakut-nakuti. Aku yakin cepat atau lambat kamu pasti juga akan berjumpa dengannya. Dan setelah kamu berjumpa dengannya, bulu kudukmu bisa rontok sebelum sempat berdiri. Kamu jadi susah tidur, susah makan, susah buang air dan susah konsentrasi lebih dari berpuluh-puluh hari. Denyut jantungmu pada malam hari bisa tidak teraba- apalagi kalau kamu sedang tidur-kamu bahkan bisa dikira mati. Ketika kamu bangun di pagi hari, bantal, guling dan tempat tidurmmu akan basah bersimbah keringat. Sedangkan pada siang hari, kamu susah membedakan mana mimpi dan realitas. Kelenjar matamu berdenyut-denyut sakit tapi tidak menghasilkan setetes pun air mata. Semua suara disekelilingmu jadi samar, atau, bahkan terlalu memekakkan telinga. Kamu bisa nyaris gila dan trauma persis para veteran perang Vietnam.


Oleh karena itu, aku akan bercerita tentang aku dan cemburu. Mudah-mudahan dengan ceritaku, kamu menjadi sedikit lebih waspada, dan sedikit lebih arif  menghadapinya.


***

Kali pertama aku berjumpa dengan cemburu umurku baru tujuh belas tahun. Aku ingat sekali,  hari itu adalah hari Jumat. Waktu itu aku memakai baju seragam batik sekolahku. Aku ingat betul itu, soalnya aku suka sekali pakai batik. Tapi bukan berarti aku memiliki nasionalisme tinggi. Cinta dan sayangku pada tanah air tidak sebegitu besarnya seperti cintaku pada si Dana dan sayangku pada Dini.


Saat itu. Dana adalah pacar pertamaku. Dini adalah sahabat karibku. Tidak perlu kujelaskan wujud mereka seperti apa.  Pokoknya, Dana-Dini bukanlah kakak beradik. Tanpa aku pun mereka berdua tidaklah pernah saling tahu.
Aku sangat menyukai Dana dan Dini. Sehari tanpa salah satu diantara mereka berdua rasanya sehari tanpa gairah. Kalau ada Dana, biasanya ada aku. Kalau ada Dini, biasanya ada aku. Tidak pernah, ada Dini dan Dana sekaligus, tanpa ada aku disana.


Tapi suatu hari, aku melihat Dini dan Dana ada bersama. Tanpa aku disana. Maksudnya, tanpa aku benar-benar ada di dekat mereka. Saat melihat mereka berduaan, saat itulah aku pertama melihat sosok cemburu. Cemburu mengintip dibalik punggung Dini dan Dana, menatap tajam ke arahku. Cemburu seperti ingin memangsaku. Seketika, insting pertahanan diriku muncul. Aku gemetaran dan lari ketakutan, menghindari Dini, Dana dan cemburu di Jumat sore itu.


Sejak itu, aku tidak pernah lagi mau berada di dekat Dana ataupun Dini. Bahkan aku tidak mau melihat salah satu diantara mereka. Pun dari kejauhan. Setiap ada salah satu dari mereka, cemburu ada di situ. Mengintip dengan tatapannya yang menghunusku.


***


Tapi rupanya, cemburu begitu menyukaiku. Lama-kelamaan, aku dikejarnya, bahkan sampai ke rumahku sendiri. Kemanapun aku pergi, ia mengikutiku. Padahal, tidak ada Dana atau Dini disitu. Aku ngeri sepenuh hati.


Memang, cemburu tidak akan muncul dan mendekat kalau aku sedang bersama orang. Cemburu hanya berani mendekat kalau aku sendirian. Dan untungnya, cemburu bukan sebangsa dedemit atau roh halus lainnya. Cemburu tidak bisa menembus tembok. Jadi, aku aman-aman saja selama aku mengunci pintu dan menutup rapat jendela kamarku.


Jadi selama berbulan-bulan—tepatnya dua puluh dua bulan lamanya—aku selalu menghindari pergi sendirian. Aku selalu minta ditemani. Minta ditemani teman-teman, ibu, ayah, kakek, tante, om, tetangga atau adik-adikku. Aku juga menyibuk-nyibukkan diriku, mengalihkan perhatian. Semakin banyak orang yang kutemukan-semakin banyak yang kulakukan, semakin baik rasanya. Pokoknya aku tidak pernah membiarkan diriku sendirian. Kalaupun sendirian, biasanya, aku berada di kamarku. Kututup dan kukunci semua jendela dan pintu. Kalau cemburu mengetuk-ngetuk pintu atau mencakar-cakar jendela, aku berusaha tidak ambil pusing. Aku mengalihkan perhatianku dengan membaca apapun atau mendengarkan musik keras-keras. Bahkan kadang, aku ikut menyanyi sampai urat-urat leherku bermunculan dan kemudian ibu memarahiku.


***


Pernah, satu hari, aku lengah. Kejadiannya saat aku pulang sekolah. Kebetulan tidak ada yang menemaniku. Ayahku terlambat menjemputku. Aku menunggu di sebuah persimpangan jalan. Tapi hari itu, dari tiga arah manapun tak ada kendaraan—bahkan tak ada orang sejauh mata memandang. Aku khawatir cemburu muncul. Karena aku total sendirian.


Benar saja, dari suatu arah, cemburu muncul. Dengan langkah terseok-seok, dia berjalan mendekatiku. Aku berteriak tapi sepertinya hari itu udara enggan mengantarkan gelombang longitudinalnya ke semua penjuru. Kedap suara. Aku bahkan tidak bisa mendengar suara jeritanku sendiri. Yang terdengar adalah suara lenguhan cemburu dan nafasnya yang memburu. Mengarah padaku. Aku berlari sambil menangis ketakutan. Tapi sepertinya dia mempercepat langkahnya. Aku dapat merasakan bau busuk tubuhnya mulai mencekat.


Aku berbelok ke sebuah gang dan berlari menyusurinya. Kulihat ke belakang, rupanya cemburu masih juga mengejarku. Celakanya, ternyata ujung gang itu buntu. Aku frustasi dan mulai menggedor-gedor pintu-pintu beberapa rumah yang ada di situ.  Tapi hari itu, seperti film bisu. Tak ada suara. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang mendengar teriakkanku. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku. Yang terdengar adalah nafas cemburu yang memburu!


Tembok terlalu tinggi, penuh kawat berduri, tak bisa kulewati. Tak dinyana, ada seonggok kardus—kardus mesin cuci—merknya Philips—terbujur kaku di salah satu sudut jalan buntu itu.  Aku melompat masuk ke dalamnya. Menutup rapat tutupnya dan menahan nafasku. Mudah-mudahan cemburu tidak melihatku.


Aku mendengar suaranya nafas yang berat mendekat. Aku tahu cemburu sudah dekat. Aku mulai menangis, tapi menahan sedu-sedanku. Air mataku membasahi rok abu-abuku. Aku menunggu dan menunggu. Menunggu ditemukan cemburu. Aku menunggu dan menunggu sambil menangis. Tapi sepertinya cemburu kesulitan menemukanku. Dan entah berapa lama aku berada di dalam kardus itu. Lalu tutup kardus terbuka. Seorang pria berdiri menatapku heran.


Setelah itu aku diantar  pria itu pulang. Kembali ke rumahku dengan selamat. Meskipun saat itu aku hampir setengah gila, tapi tetap saja entah bagaimana pria itu-yang ternyata berumur tidak jauh dariku- jadi sering menjemput dan mengantarku pulang. Hampir setiap hari, selama berbulan-bulan.


Aku juga jadi lebih siaga. Aku membawa kardus mesin cuci kemana pun aku pergi. Untuk berjaga-jaga. Guru sekolah bahkan pernah memanggilku. Teman-teman sampai menganggapku gila. Banyak juga yang menjauhiku. Tapi aku tidak peduli.

Sampai akhirnya cemburu tidak pernah mengikutiku lagi. Aku juga tidak paham kenapa. Mungkin, dia akhirnya bosan padaku.


***


Sekarang, aku sudah tidak sering—bahkan tidak pernah—bersama dengan pria yang menemukanku di kardus dan kemudian rutin mengantarjemputku. Biar bagaimanapun, aku berterimakasih padanya. Ia telah menyelamatkanku.


Dan juga sebenarnya, suatu hari, pernah aku tidak sengaja berjumpa lagi dengan cemburu. Itu untuk kedua kalinya, setelah belasan tahun lamanya. Itu terjadi saat makan malam bersama suami dan dua anakku. Sebuah restoran keluarga  yang harganya standar-standar saja. Kami duduk melingkari sebuah meja. Penuh syukur dan khidmat. Persis seperti gambaran keluarga kecil sejahtera di kaleng biskuit Cina.


Ketika aku tengah melahap hidangan, tiba-tiba sepasang suami istri, tetangga kami yang baru saja menikah, menghampiri dan menyapa kami sekeluarga. Rupanya mereka baru datang dan juga akan makan di tempat itu. Setelah kami saling bertukarsapa, pergilah pasangan itu ke meja yang telah dipersilahkan pramusaji. Meja itu merapat ke sebuah jendela besar. Aku tersenyum saja melihat kemesraan mereka yang duduk tidak jauh dari meja kami. Jadi teringat masa-masa dulu. Lalu aku kembali menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilku.


Tapi kemudian, suasana hangat mendadak hilang ketika aku tidak sengaja melempar pandangku ke meja tempat pasangaan baru itu duduk. Tepat disamping meja, aku melihat makhluk seram itu muncul. Mengintip di balik jendela. Aku mengerjap-ngerjap mata tidak percaya. Melihat sekali lagi ke arah yang sama. Tidak salah lagi. Cemburu mengintip di balik jendela. Cemburu di balik jendela. Cemburu dengan matanya yang penuh teror. Cemburu yang dulu memburuku!


Bergegas, aku mengambil tasku dan langsung mengajak keluargaku, pergi dari situ. Aku bilang saat itu, ada urusan kantor yang lupa kubereskan. Suami menyuruhku menunda dan tetap makan dengan khidmat. Aku menurut. Tapi tetap kupercepat makan-minumku. Sampai tiba saatnya kami pergi dari situ.


Kemudian, tentu saja, kamu pasti bisa menebak, apa yang selanjutnya kulakukan. Aku mulai melakukan ritual-ritual semasa SMA-ku lagi: menjadi sangat sibuk, sering bertemu banyak orang, rajin mengunci diri di kamar, suka menyetel lagu keras-keras, membaca buku banyak-banyak, dan yang paling membuat suami dan anak-anakku heran: membawa kardus mesin cuci kemana-mana. 






Bogor, 3 Oktober 2013
 

1 komentar:

  1. Heey Car hehe. Gw suka bgt ini. Kardus cocok bgt jd objeknya. Keren! Btw Dana beneran pacar pertama kamu? hehehe

    BalasHapus