21 Feb 2014

Recaka dan Sadagati

Sang Hari dari jingga berubah biru lalu kelabu. Angin menyelinap masuk ke dalam perut goa, mengelus-elus seorang pemuda yang dikenal sebagai murid kesayangan Sang Begawan tua. Pemuda itu, Recaka namanya, duduk bersila dalam posisi bertapa. Ia khidmat dinaungi gugusan stalaktit.  Matanya terpejam dan pikirannya sudah padam sejak matahari mulai bergerak meninggi puluhan hasta dari batas cakrawala.

Besok, ketika matahari muncul lagi, maka genaplah satu hari Recaka bertapa: tidak makan, tidak minum, tidak bicara, tidak berjalan, tidak tidur, tidak berhajat dan tidak menggaruk kulitnya yang digigit nyamuk. Pemuda berkulit warna kayu mahoni hangus itu memiliki tiga puluh sembilan hari lagi untuk diam, berkoloni dengan waktu. Tujuannya yaitu, menjadi sakti dan suci—menjadi begawan arif  bijaksana seperti gurunya.

Tak jauh dari tempat Recaka duduk bersila, seorang perempuan muda berkemban berjalan menyusuri tanah di sepanjang aliran sungai. Pangkal sungai itu tersembunyi di dalam goa tempat Recaka bertapa. Perempuan itu memeluk tempayan selingkaran tangan. Tempayan itu tidak berisi air, melainkan kain-kain belacu yang sudah diwarnai akar mengkudu dan daun gambir. Perempuan—yang sering dipanggil Sadagati itu—hendak mencuci kain-kain di sungai dekat mulut goa.

Mungkin karena sedang bertapa, pendengaran Recaka justru semakin peka. Pemuda itu mendengar suara riak-riak air dari mulut goa. Suara riak-riak itu terdengar lain dari biasanya: bukan riak hasil kecipak burung-burung yang menumpang mandi, atau riak hasil daun-daun jatuh, mengapung di pangkal sungai yang beraliran tenang. Suara riak-riak itu lebih keras, lebih bertenaga, tetapi lebih ritmis. Suara riak-riak itu adalah suara Sadagati yang sedang menyusur sungai dekat mulut goa.

Sadagati kemudian berhenti untuk menetapkan tempayan di pinggir sungai—di atas akar-akar perdu yang tersusun merdu. Kemudian ia mencuci belacu-belacu sambil menyanyi diiringi riak-riak air yang tidak sengaja bermelodi. Meski liriknya tentang cerita sehari-hari, luka-memar hati, atau mimpi semalam, suara nyanyian Sadagati luar biasa manis.

Karena itu, mau tak mau, Recaka jadi mendengarkan nyanyian Sadagati. Padahal semestinya pemuda itu sedang bertapa—pikiran dan jiwanya sedang disemayamkan. Tapi genderang telinganya berkhianat, mencuri-curi getaran bunyi: mencuri suara nyanyian Sadagati. Sehingga lambat laun, pikiran pemuda itu sedikit menyala.

Tidak hanya suara Sadagati yang manis, wangi perempuan itu pun tak kalah manis. Manis manisan pala. Meski sudah berenang menyusuri sungai dan mandi berkali-kali, wangi manisan pala itu tidak lekas luntur juga. Seolah-olah, wangi itu meresap ke dalam pori-pori, terkunci bersama warna langsat kulit Sadagati.

Seakan-akan tidak mau kalah dengan telinga, hidung Recaka berusaha menangkap aroma manisan pala yang bercampur dengan peluh perempuan selepas kencur itu. Sehingga urusan wangi pala menjadi alasan bagi Recaka untuk semakin menghidupkan pikirannya. Namun demikian, semua itu tidaklah membangkitkan pikiran Recaka seutuhnya. Pikirannya menyala, tapi sinarnya redup seperti sinar kunang-kunang sekarat.

Dalam pada itu, Sadagati mencuci sambil menyanyi. Perempuan berusia kurang dari dua windu itu tidak tahu menahu bahwa di dalam goa, ada seorang pemuda yang tubuhnya sangat liat—pemuda yang sedang berusaha bertapa dengan sangat giat. Karena itu, Sadagati tidak malu menyanyi tentang apa saja. Ia menyanyi sekaligus bercerita. Ia menyanyi untuk berbicara. Dan ia berbicara dengan air, angin, semut, lumut, sebelas belacu dan tempayan yang dibawanya. Dipikirnya bahwa tak mungkin ada yang menganggapnya gila karena berbicara bukan dengan sesama manusia. Karena menurutnya, manusia kadangkala tidak bisa diajak bicara. Bahkan diri sendiri pun tidak bisa diajak bicara.

Oleh sebab itu, datang setiap sore ke sungai dekat goa tempat Recaka bertapa menjadi rutinitas Sadagati. Ia butuh bercerita sendirian; tapi sekaligus merasa ada yang mendengarkan. Setelah lelah mencuci dan puas menumpahkan isi hatinya di sungai dekat goa, Sadagati pulang ke haribaan rumahnya. Ia pulang untuk menyiapkan manisan pala yang ia jual di pagi keesokanharinya. Dan tentunya, ia pulang untuk keesokanharinya datang lagi ke sungai dekat mulut goa—membawa banyak cerita.

Lalu suatu sore di hari ke dua belas pertapaan Recaka. Tiba-tiba langit berubah mendung. Sadagati yang tengah mencuci terpaksa masuk ke dalam goa. Ia mengamankan diri dan belacu-belacunya dari serangan hujan yang turun serampangan. Semenjak itu, di dalam perut goa, ia melihat Recaka, pemuda berkulit warna mahoni, sedang bertapa. Diamatinya pemuda itu: matanya terpejam, nafasnya teratur, dan seperti tidur.

Sebenarnya Sadagati ingin bertanya, tapi ia takut mengganggu pertapaan pemuda itu.  Lalu, dibantu sinar-sinar kecil yang menyelinap masuk ke perut goa, diamatinya Recaka dengan sebaik-baiknya. Diamatinya bibirnya, hidungnya, rahangnya, pundaknya, lengannya, dadanya, dan semua-semuanya. Sampai mendadak Sadagati tersipu malu sendiri.

Kemudian hujan reda.  Matahari nyaris tenggelam, Sadagati meneruskan mencuci sebentar, lalu meninggalkan goa tempat ia melihat Recaka. Dan keesokan harinya, Sadagati datang lagi. Kali itu Sadagati datang tidak hanya untuk mencuci dan menyanyi. Ia datang untuk mengamati. Mengamati diam-diam Recaka yang sedang bertapa. Dan tanpa sadar, Sadagati tidak lagi sering menyanyi tentang luka hati. Semuanya tentang cerita yang indah berbunga-bunga. Cerita yang  membuat suaranya semakin manis.

Selain mencuci dan menyanyi, setiap hari, pasti, Sadagati berdiri di depan mulut goa. Disana, ia pura-pura menyisir rambut mayangnya yang terurai panjang. Sampai seratus kali sisiran. Padahal rambutnya telah sangat halus, jauh dari kusut. Ia berpikir barangkali kelak Recaka membuka mata dan melihatnya berdiri disana.

Kadang Sadagati berharap hujan akan datang. Kalau perlu, dengan halilintar sekalian. Biar ia bisa punya alasan untuk masuk lebih dalam ke perut goa dan duduk tepat di samping Recaka yang sedang bertapa. Tapi pada akhirnya Sadagati merasa percuma, menyisir rambut seratus kali hanya membuat tangannya pegal. Recaka tidak pernah melihatnya. Mata Recaka selalu teguh terpejam.

Sampai tiba satu sore yang mana Sadagati merasa beruntung. Ia merasa doanya dikabulkan. Hujan akhirnya datang beriringan kilat-kilat, yang kemudian dijadikan alasan bagi Sadagati untuk masuk lebih dalam ke perut goa—untuk mendekati Recaka. Saat duduk di samping Recaka, mulanya Sadagati diam. Lalu ia tidak tahan. Ia memainkan rambutnya, lalu berbisik di telinga Recaka: dengarlah nyanyianku setiap hari. Itu saja.

Sebenarnya sebelum diminta pun Recaka sudah sering mendengarkan. Bahkan hati pemuda itu berdebar-debar tiap mendengar riak ritmis, suara nyanyian, dan wangi manisan pala. Ia memohon ampun dan berdoa pada Widhi Wasa yang tertinggi dan maha kuasa. Ia meminta supaya ditetapkan hati. Terutama soal hati yang memang sering tidak sejalan dengan pikiran.

Padahal Recaka sudah memerintah jantungnya supaya berdetak perlahan. Ia meminta telinganya supaya sejenak tuli. Ia memohon hidungnya supaya sementara tidak mencium. Paling tidak tiap sore hingga malam. Tapi sayang, hidung dan telinganya benar-benar pembangkang. Apalagi jantungnya sendiri: yang malah semakin keras berdebar tiap Sadagati datang.

Ihwal lelaki dan perempuan sama saja: piawai meramu kalimat-kalimat bohong. Tapi bedanya, dari sekian banyak jenis bohong para lelaki, bohong perempuan adalah jenis yang paling runyam. Ketika mulut itu bilang cukup, sesungguhnya hati minta lebih. Contohnya begini, ketika mulut harum Sadagati bernyanyi aku hanya minta didengarkan; jadi, kau diam begitu, aku tak apa: sesungguhnya hati perempuan itu berkata aku ingin  dipeluk, dikecup dan aku tidak ingin kau diam saja; aku ingin kau bergeming; membuka mata; mendekat lebih dulu; aku ingin dimangsa dan bukan memangsa; dan sebelum itu, aku ingin kau bertanya siapa namaku.

Sayangnya Recaka percaya pada mulut Sadagati: ia menyimak sepenuh hati nyanyian Sadagati. Recaka tuli terhadap suara hati Sadagati. Sehingga, Recaka sungguh-sungguh berlagak bertapa. Recaka sedang menuruti permintaan Sadagati yang dalam nyanyiannya hanya minta didengarkan. Padahal lebih dari itu.

Batal total semua pertapaan Recaka sejak hari kelima belas: ia betul-betul membangunkan semua inderanya. Dan di hari kedua puluh satu, Recaka sepenuhnya membangunkan pikirannya, memenuhi permintaan  Sadagati: mendengar, meskipun dalam diam. Benar-benar diam.

Maka di hari ketiga puluh sembilan, Recaka sudah tidak tahan lagi. Ia membulatkan tekadnya: mengakhiri pertapaan pura-puranya. Bukan karena lapar, haus, apalagi karena ingin menggaruk punggungnya yang digigiti nyamuk. Ia pikir ia harus menunda pertapaannya sementara ini. Kalau tidak, habislah segala kesempatan.

Karena itu, segeralah Recaka membuka matanya. Suatu malam ia menggerakkan otot-otot kaki tangannya yang masih liat. Berpindah dari perut ke mulut goa. Menunggu Sadagati yang keesokanharinya datang mencuci belacu-belacunya. Kali ini dengan mata terbuka dan pita suara yang siap digunakan. Recaka bersiaga untuk bertanya siapakah gerangan nama perempuan itu, dan kalau boleh lancang, Recaka ingin mencium wangi kulit Sadagati yang beraroma manisan pala itu dari dekat.

Tapi, di hari yang telah genap keempat puluh, Recaka tak kunjung melihat Sadagati. Padahal matahari sudah berenang bersama awan-awan. Anak-anak angin menjatuhkan daun-daun kayu putih ke permukaan air yang tergenang di depan mulut goa. Namun, dari kejauhan pun, wangi manisan pala tak kunjung tercium oleh Recaka. Kemudian matahari di hari keempat puluh itu pulang ke sarangnya. Bintang-bintang  bermunculan menyambut hari keempat puluh satu. Recaka masih berdiri di mulut goa. Menunggu dan menunggu. Sampai ufuk timur kembali menyala.

Lagi-lagi tak ada gelagat Sadagati akan datang. Karena memang sesungguhnya Sadagati tak akan lagi datang. Sadagati undur diri selamanya.  Sadagati merasa malu karena berharap yang bukan-bukan pada seorang calon begawan suci—begawan yang sedang bertapa. Sadagati tahu siapa dirinya: kemenakan seorang budak sekaligus putri penjual manisan pala, tak berilmu tak berharta.

Batal jadi begawan suci, batal jadi orang sakti. Tak apa, pikir Recaka. Ia tetap menunggu di mulut goa. Ia ingin bercakap dengan si perempuan wangi manisan pala. Recaka menunggu dan menunggu. Ia menunggu sambil memandangi pusaran-pusaran air kecil yang  muncul di permukaan sungai tenang yang ada di hadapannya. Angin dan air rupanya sedang bercengkrama dengan membentuk pusaran-pusaran itu. Burung-burung saling memanggil dan memaki. Matahari dan awan bernegosiasi.  Semak-semak belukar berkelakar dengan ular.

Recaka pantang pulang sebelum berbicara dengan Sadagati. Recaka tetap menunggu, dan menunggu. Dan menunggu. Menunggu. Menunggu Sadagati yang tidak akan datang lagi.




Bogor, 13 – 22 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar