Sang Hari dari jingga berubah biru lalu kelabu. Angin
menyelinap masuk ke dalam perut goa, mengelus-elus seorang pemuda yang dikenal
sebagai murid kesayangan Sang Begawan tua. Pemuda itu, Recaka namanya, duduk
bersila dalam posisi bertapa. Ia khidmat dinaungi gugusan stalaktit. Matanya terpejam dan pikirannya sudah padam
sejak matahari mulai bergerak meninggi
puluhan hasta dari batas cakrawala.
Besok, ketika matahari muncul lagi, maka genaplah
satu hari Recaka bertapa: tidak makan, tidak minum,
tidak bicara, tidak berjalan, tidak tidur, tidak berhajat dan tidak menggaruk
kulitnya yang digigit nyamuk. Pemuda berkulit
warna kayu mahoni hangus itu memiliki tiga puluh sembilan
hari lagi untuk diam, berkoloni dengan waktu. Tujuannya yaitu, menjadi sakti
dan suci—menjadi begawan arif bijaksana
seperti gurunya.
Tak jauh dari tempat Recaka duduk bersila,
seorang perempuan muda berkemban berjalan menyusuri tanah di sepanjang aliran
sungai. Pangkal sungai itu tersembunyi di dalam goa tempat Recaka bertapa.
Perempuan itu memeluk tempayan selingkaran tangan. Tempayan itu tidak berisi
air, melainkan kain-kain belacu yang sudah diwarnai akar mengkudu dan daun
gambir. Perempuan—yang sering dipanggil Sadagati itu—hendak mencuci kain-kain
di sungai dekat mulut goa.
Mungkin karena sedang bertapa, pendengaran
Recaka justru semakin peka. Pemuda itu mendengar suara riak-riak air dari mulut
goa. Suara riak-riak itu terdengar lain dari biasanya: bukan riak hasil kecipak
burung-burung yang menumpang mandi, atau
riak hasil daun-daun jatuh, mengapung di pangkal sungai yang beraliran tenang.
Suara riak-riak itu lebih keras, lebih bertenaga, tetapi lebih ritmis. Suara
riak-riak itu adalah suara Sadagati yang sedang menyusur sungai dekat mulut
goa.
Sadagati kemudian berhenti untuk menetapkan
tempayan di pinggir sungai—di atas akar-akar perdu yang tersusun merdu. Kemudian
ia mencuci belacu-belacu sambil menyanyi diiringi riak-riak air yang tidak
sengaja bermelodi. Meski liriknya tentang cerita sehari-hari, luka-memar hati, atau mimpi semalam, suara
nyanyian Sadagati luar biasa manis.
Karena itu, mau tak mau, Recaka jadi mendengarkan
nyanyian Sadagati. Padahal semestinya pemuda itu sedang bertapa—pikiran dan
jiwanya sedang disemayamkan. Tapi genderang telinganya berkhianat, mencuri-curi
getaran bunyi: mencuri suara nyanyian Sadagati. Sehingga lambat laun, pikiran
pemuda itu sedikit menyala.
Tidak hanya suara Sadagati yang manis, wangi perempuan
itu pun tak kalah manis. Manis manisan pala. Meski sudah berenang menyusuri
sungai dan mandi berkali-kali, wangi manisan pala itu tidak lekas luntur juga. Seolah-olah,
wangi itu meresap ke dalam pori-pori, terkunci bersama warna langsat kulit Sadagati.
Seakan-akan tidak mau kalah dengan telinga,
hidung Recaka berusaha menangkap aroma manisan pala yang bercampur dengan peluh
perempuan selepas kencur
itu. Sehingga urusan wangi pala menjadi alasan bagi Recaka untuk semakin menghidupkan
pikirannya. Namun demikian, semua itu tidaklah membangkitkan pikiran Recaka
seutuhnya. Pikirannya menyala, tapi sinarnya redup seperti sinar kunang-kunang
sekarat.
Dalam pada itu,
Sadagati mencuci sambil menyanyi. Perempuan berusia kurang dari dua windu itu tidak tahu
menahu bahwa di dalam goa, ada seorang pemuda yang tubuhnya sangat liat—pemuda yang
sedang berusaha bertapa dengan sangat giat. Karena itu, Sadagati tidak malu menyanyi tentang
apa saja. Ia menyanyi sekaligus bercerita. Ia
menyanyi untuk berbicara. Dan ia berbicara dengan air,
angin, semut, lumut, sebelas belacu dan tempayan yang dibawanya. Dipikirnya bahwa
tak mungkin ada yang menganggapnya gila karena berbicara bukan dengan sesama
manusia. Karena menurutnya, manusia kadangkala tidak bisa diajak bicara. Bahkan
diri sendiri pun tidak bisa diajak bicara.
Oleh sebab itu, datang setiap sore ke sungai
dekat goa tempat Recaka bertapa menjadi rutinitas Sadagati. Ia butuh bercerita
sendirian; tapi sekaligus merasa ada yang mendengarkan. Setelah lelah mencuci
dan puas menumpahkan isi hatinya di sungai dekat goa, Sadagati pulang ke haribaan rumahnya. Ia pulang untuk menyiapkan
manisan pala yang ia jual di pagi keesokanharinya. Dan tentunya, ia pulang
untuk keesokanharinya datang lagi ke sungai dekat mulut goa—membawa banyak cerita.
Lalu suatu
sore di hari ke dua belas
pertapaan Recaka. Tiba-tiba langit berubah mendung.
Sadagati yang tengah mencuci terpaksa masuk ke dalam goa. Ia mengamankan diri
dan belacu-belacunya dari serangan hujan yang turun serampangan. Semenjak itu, di dalam perut goa, ia melihat
Recaka, pemuda berkulit warna mahoni, sedang bertapa. Diamatinya pemuda itu:
matanya terpejam, nafasnya teratur, dan seperti tidur.
Sebenarnya Sadagati ingin bertanya, tapi ia
takut mengganggu pertapaan pemuda itu. Lalu, dibantu sinar-sinar kecil yang
menyelinap masuk ke perut goa, diamatinya Recaka dengan sebaik-baiknya.
Diamatinya bibirnya, hidungnya, rahangnya, pundaknya, lengannya, dadanya, dan
semua-semuanya. Sampai mendadak Sadagati tersipu malu sendiri.
Kemudian hujan reda. Matahari nyaris tenggelam, Sadagati
meneruskan mencuci sebentar, lalu meninggalkan goa tempat ia melihat Recaka.
Dan keesokan harinya, Sadagati datang lagi. Kali itu Sadagati datang tidak
hanya untuk mencuci dan menyanyi. Ia datang untuk mengamati. Mengamati
diam-diam Recaka yang sedang bertapa. Dan tanpa sadar, Sadagati tidak lagi sering menyanyi tentang luka hati.
Semuanya tentang cerita yang indah berbunga-bunga. Cerita yang membuat suaranya semakin manis.
Selain mencuci dan menyanyi, setiap hari, pasti,
Sadagati berdiri di depan mulut goa. Disana, ia pura-pura menyisir rambut mayangnya yang terurai panjang. Sampai seratus kali sisiran.
Padahal rambutnya telah sangat halus,
jauh dari kusut. Ia berpikir barangkali kelak Recaka membuka mata dan
melihatnya berdiri disana.
Kadang Sadagati berharap hujan akan
datang.
Kalau perlu, dengan halilintar sekalian. Biar ia bisa punya alasan untuk masuk
lebih dalam ke perut goa dan
duduk tepat di samping Recaka yang sedang
bertapa. Tapi pada akhirnya Sadagati merasa percuma, menyisir rambut seratus
kali hanya membuat tangannya pegal. Recaka tidak pernah melihatnya. Mata Recaka
selalu teguh terpejam.
Sampai tiba satu sore yang mana Sadagati merasa
beruntung. Ia merasa doanya dikabulkan. Hujan akhirnya datang beriringan kilat-kilat, yang kemudian dijadikan alasan bagi
Sadagati untuk masuk lebih dalam ke perut goa—untuk mendekati Recaka. Saat
duduk di samping Recaka, mulanya Sadagati diam. Lalu ia tidak tahan. Ia memainkan rambutnya,
lalu berbisik di telinga Recaka: dengarlah nyanyianku setiap hari. Itu
saja.
Sebenarnya sebelum diminta pun
Recaka sudah sering mendengarkan. Bahkan hati pemuda itu berdebar-debar tiap
mendengar riak ritmis, suara nyanyian, dan wangi manisan
pala. Ia memohon ampun dan berdoa pada Widhi Wasa yang tertinggi dan maha kuasa. Ia meminta supaya
ditetapkan hati. Terutama soal hati yang
memang sering tidak sejalan dengan pikiran.
Padahal Recaka sudah
memerintah jantungnya
supaya berdetak perlahan. Ia meminta telinganya
supaya sejenak tuli. Ia memohon hidungnya
supaya sementara tidak mencium. Paling tidak tiap
sore hingga malam. Tapi sayang, hidung dan
telinganya benar-benar pembangkang. Apalagi jantungnya
sendiri: yang malah semakin keras berdebar tiap
Sadagati datang.
Ihwal lelaki
dan perempuan sama saja: piawai meramu kalimat-kalimat bohong. Tapi bedanya, dari
sekian banyak jenis bohong para lelaki, bohong perempuan adalah jenis yang
paling runyam. Ketika mulut itu bilang cukup, sesungguhnya hati minta lebih. Contohnya
begini, ketika mulut harum Sadagati bernyanyi aku hanya minta didengarkan; jadi, kau diam begitu, aku tak apa:
sesungguhnya hati perempuan itu berkata aku
ingin dipeluk,
dikecup dan aku tidak ingin kau diam saja; aku ingin kau bergeming; membuka mata; mendekat lebih dulu; aku ingin dimangsa
dan bukan memangsa; dan
sebelum itu, aku ingin kau bertanya siapa namaku.
Sayangnya Recaka percaya pada mulut Sadagati: ia
menyimak sepenuh hati nyanyian Sadagati. Recaka tuli terhadap suara hati
Sadagati. Sehingga, Recaka sungguh-sungguh berlagak bertapa. Recaka sedang
menuruti permintaan Sadagati yang dalam nyanyiannya hanya minta didengarkan.
Padahal lebih dari itu.
Batal
total semua pertapaan Recaka sejak hari kelima belas: ia betul-betul membangunkan semua inderanya. Dan di hari kedua
puluh satu, Recaka sepenuhnya membangunkan
pikirannya, memenuhi permintaan Sadagati: mendengar, meskipun dalam diam.
Benar-benar diam.
Maka di hari ketiga puluh sembilan, Recaka sudah
tidak tahan lagi. Ia membulatkan tekadnya: mengakhiri pertapaan pura-puranya.
Bukan karena lapar, haus, apalagi karena ingin menggaruk punggungnya yang
digigiti nyamuk. Ia pikir ia harus menunda pertapaannya sementara ini. Kalau
tidak, habislah segala kesempatan.
Karena itu, segeralah Recaka membuka matanya. Suatu
malam ia menggerakkan otot-otot kaki tangannya yang masih liat. Berpindah
dari perut ke mulut goa. Menunggu Sadagati yang keesokanharinya datang mencuci
belacu-belacunya. Kali ini dengan mata terbuka dan pita suara yang siap digunakan. Recaka bersiaga untuk bertanya
siapakah gerangan nama perempuan itu, dan kalau boleh lancang, Recaka ingin
mencium wangi kulit Sadagati yang beraroma manisan pala itu dari dekat.
Tapi,
di hari yang telah genap keempat puluh, Recaka tak kunjung melihat Sadagati.
Padahal matahari sudah berenang bersama awan-awan. Anak-anak angin menjatuhkan
daun-daun kayu putih ke
permukaan air yang tergenang di depan mulut goa. Namun, dari kejauhan pun, wangi
manisan pala tak kunjung tercium oleh Recaka. Kemudian matahari di hari keempat
puluh itu pulang ke sarangnya. Bintang-bintang bermunculan menyambut hari keempat puluh satu.
Recaka masih berdiri di mulut goa. Menunggu dan menunggu. Sampai ufuk timur
kembali menyala.
Lagi-lagi tak ada gelagat Sadagati akan datang.
Karena memang sesungguhnya Sadagati tak akan lagi datang. Sadagati undur diri
selamanya. Sadagati merasa malu karena
berharap yang bukan-bukan pada seorang calon begawan suci—begawan yang sedang
bertapa. Sadagati tahu siapa dirinya: kemenakan seorang budak sekaligus putri
penjual manisan pala, tak berilmu tak berharta.
Batal jadi begawan suci, batal jadi orang sakti.
Tak apa, pikir Recaka. Ia tetap menunggu di mulut goa. Ia ingin bercakap dengan si perempuan
wangi manisan pala. Recaka menunggu dan menunggu. Ia menunggu sambil memandangi
pusaran-pusaran air kecil yang muncul di
permukaan sungai tenang yang ada di hadapannya. Angin dan air rupanya sedang
bercengkrama dengan membentuk pusaran-pusaran itu. Burung-burung saling
memanggil dan memaki. Matahari dan awan bernegosiasi. Semak-semak belukar berkelakar dengan ular.
Recaka pantang pulang sebelum berbicara dengan
Sadagati. Recaka tetap menunggu, dan menunggu. Dan menunggu. Menunggu.
Menunggu
Sadagati yang tidak akan datang lagi.
Bogor,
13 – 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar