24 Apr 2014

Bunga Tidur

Aku paling tidak suka orang sembarangan soal tidur. Aku tidak suka mereka yang tidak berdoa. Dan yang tidak mencuci badan. Atau yang tidak gosok gigi. Semacam tertidur karena memang sebenarnya tidak punya niat tidur. Atau—dengan alasan apapun—yang sengaja dan berniat untuk tidak tidur, tapi malah tidur. Dan yang tidur dengan perut kekenyangan. Dan yang tidur untuk lari dari kenyataan. Atau yang sengaja minum obat tidur. Atau yang tidur terburu-buru demi mempercepat hari esok. Dan yang tidur karena tidak tahu harus berbuat apa. Atau yang tidur setelah kebanyakan tidur. Atau yang tidur untuk mencari jawaban atas segala persoalan. Dan terutama, yang tidur sambil menyesali diri, sambil menangis, sambil mengumpulkan marah.

Aku tidak suka dengan orang-orang macam begitu. Tidak sopan soal tidur.

Karena itu, terpaksa aku kasih mereka mimpi yang buruk-buruk. Biar mereka kapok. Biar mereka sadar kalau tidur adalah sama pentingnya dengan membaca Al Kitab, belajar di sekolah, menghormati orangtua, menyantuni anak yatim, mandi dua kali sehari, dan lain sebagainya.

Tidur itu perlu diperlakukan dengan martabat.

Jika bisa berperilaku hormat pada tidur, aku tidak akan pelit membagi-bagi mimpi indah. Mimpi yang bisa disyukuri setelah bangun. Mimpi yang bisa diingat dan disimpan dalam hati. Mimpi yang niscaya bisa bikin hidup jadi lebih nyata, lebih jelas dan berdaya.

Dan bagi mereka yang tidak menaruh hormat pada hidup dan tidur, mimpi-mimpi yang tersedia adalah yang buruk sampai yang sama sekali tidak waras—sebut saja: dibuang ke neraka, diamuk masa, dikejar hutang piutang, dikalahkan musuh, dipermalukan anak sendiri, dilucuti buaya, dikencingi monyet, diludahi babi, dirajam ular, dikhianati kekasih.

Begitu pula sebaliknya. Bagi mereka yang menghargai tidur, aku bisa memberi apapun yang mereka inginkan. Bahkan, demi membuat orang-orang itu bahagia sebentar, aku bisa memutarbalikkan fakta. Aku bisa bikin yang miskin jadi kaya, yang bodoh jadi juara olimpiade, yang jelek jadi cantik atau tampan rupawan, yang sakit jadi sehat sentausa, yang sedih jadi bahagia jumawa, yang gila jadi waras.

Aku bisa berbuat apapun.

Ingatkah kisah Biksu Tong yang mengembara ke Barat demi mencari kitab suci? Alkisah, Kera Sakti—salah satu murid Sang Biksu—bisa mengalahkan dewa-dewi langit, termasuk diantaranya Dewa Bumi dan segala angkatan bersenjatanya dengan mudah. Hanya Buddha, Dewi Kwan Im dan aku yang bisa mengalahkan Sang Kera. Aku bisa bikin Kera Sakti kalang kabut dan bertekuk lutut. Sungguh!

Artinya, aku sehebat Buddha. Percaya? Ha!

Harus.

Harus percaya.

Nah, tapi…

…adalah seorang perempuan—seorang anak manusia.

Anak manusia yang seorang perempuan.

Perempuan ini entah punya kekuatan apa, ia bisa mengatur mimpinya sendiri. Di dalam mimpinya, ia bisa membelah lautan, persis seperti Nabi Nuh. Ia bisa mengatur panas matahari dan menyembunyikan awan. Ia bisa mengunci petir dan mengendalikan arah angin. Ia memasak seribu jenis makanan enak. Ia berbicara puluhan bahasa dunia. Ia berjalan di permukaan air. Ia menari di udara. Ia  mengirim ratusan pemusik dari segala penjuru negeri. Ia mengganti musim, memekarkan bunga dan menggugurkan daun dalam sekali detik.

Sungguh gila!

Gila.

Baru kali ini aku bertemu makhluk seperti ini. Sampai-sampai tidak sedikitpun ada andilku dalam mimpi-mimpi indahnya.

Ah, enak saja dia mengatur-ngatur mimpinya sendiri!

Ah, perempuan sialan ini, benar-benar menjatuhkan reputasi dan harga diriku.

Dan demi langit dan bumi—surga dan neraka, aku tidak boleh kalah.

Aku tidak boleh kehilangan wibawa!

Karena itu, mau tak mau, di suatu malam yang lumayan kelam, aku menyelinap masuk ke mimpinya. Malam itu, rencananya, akan kuobrak-abrik mimpinya. Aku akan menggertak perempuan semena-mena ini. Aku akan menunjukkan rupa. Aku akan menunaikan murka.

Lalu, saat itu, tibalah aku di dalam mimpinya. Kudapati perempuan jalang itu tertidur santai di bawah pohon rindang.  Di atas ayunan kain yang membungkus tubuh sintalnya. Sejauh mata memandang adalah hamparan air dalam sebuah telaga yang jernih. Di pesisir telaga, pohon-pohon berdaun hijau, bercabang dan beranting merah muda berjajar apik. Bunga-bunga berwarna keemasan. Semuanya mekar. Ada angin semilir. Langit bersih dari awan.
Aku mendekat perlahan. Dari dekat, kuperhatikan, ternyata wajahnya biasa saja. Tidak cantik-cantik amat. Rambutnya ikal diikat kebelakang. Kutaksir usia perempuan ini baru seperempat abad.  Ia memakai kacamata hitam, baju terusan, dan kelihatan sangat nyaman, ia sedang menikmati dirinya sendiri. Kulitnya sedikit terbakar matahari.

Mimpinya terlalu cantik buatnya.

Siapa kamu? Tanya perempuan itu begitu sadar akan kehadiranku. Ia membuka kacamata hitamnya. Meletakkan telepon genggam, lalu jus apel dari genggaman ke meja di sampingnya. Ia merenggangkan tubuhnya, dan tersenyum entah apa maksudnya.

Justru aku yang harusnya bertanya, siapa sebenarnya kamu! Aku berseru, marah.

Perempuan itu tidak menjawab. Perempuan itu terlihat kaget sekaligus heran. Ia memandangiku dari atas sampai bawah. Ia kemudian mengenyahkan senyumnya, lalu mengulangi pertanyaannya, siapa kamu?

Aku Siluman Mimpi, jawabku singkat.

Perempuan itu terdiam, masih dalam posisi berbaring. Ia kelihatan berpikir. Wajahnya menunjukkan raut tidak percaya dan curiga, Lho… kamu… siluman?

Aku memasang wajah penuh sengketa.

Perempuan itu terdiam. Seperti mencari-cari kata yang hilang.

 Kenapa kamu seenak-enaknya bermimpi? Tanyaku.

Seenak-enaknya bermimpi? Kamu ngomong apa sih? Perempuan itu balik bertanya.
Aku tidak bisa mengendalikan mimpimu! Nada suaraku meninggi.

Perempuan itu terdiam. Wajahnya merumuskan ribuan tanda tanya. Tapi kemudian ia berbicara,  Lho? Ini ‘kan mimpiku…

Aku menatapnya tajam.

…kenapa kamu yang harus repot-repot ngatur? Jawabnya, sedikit ikut meninggi, ini mimpiku!

Aku berkonsentrasi untuk menggerakkan angin, tapi angin menolak bereaksi. Aku minta air di telaga supaya meluap, tapi percuma. Aku minta daun-daun seketika meranggas, tapi percuma. Aku minta matahari berubah jadi petir, tapi  percuma. Apapun yang kuminta untuk menggertak perempuan itu, percuma. Aku ingin membuktikan bahwa aku punya kekuatan. Tapi, sungguh aneh! Aku tak berdaya di dalam mimpi perempuan itu. Aku tidak bisa menunjukkan kuasaku!

Perempuan itu menatapku tajam. Aku hanya diam terpaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Seketika lemah di hadapannya.

Kemudian perempuan itu tersenyum sebentar, dan menghilang dalam sekejap. Ia berubah menjadi kabut yang bercampur angin. Lalu daun-daun jatuh berguguran. Aku ditinggalkannya sambil menanggung malu.

Hah?

Apa-apaan ini?  

Apa-apaan ini? Marahku.

Aku harus mencari cara. Tidak boleh makhluk lain, apalagi manusia biasa, sembarangan mengatur-atur mimpinya sendiri. Aku harus mencari tahu apa sebab perempuan ini begitu berdaya.

Karena itu aku mengintip ke dunia nyata, melihat kegiatan perempuan ini sehari-harinya. Jangan-jangan ia pakai ilmu hitam atau memang ia sebenarnya siluman juga.

Kuintip dunianya sebentar.

Tapi ternyata ia cuma manusia biasa. Punya seorang adik, punya dua orang kakak dan punya orang tua yang belum terlalu tua. Di dunianya, ia bahkan bukan selebriti, bukan orang terkemuka. Ia tidak tinggal di apartemen mewah atau punya banyak kondominium.  Ia hidup sederhana. Ia pegawai biasa. Ia naik kopaja ke kantornya. Ia bahkan sering dipotong gajinya karena terlambat sampai ke kantornya. Ia juga tidak pergi ke dukun—bayar taksi saja kelihatan susah, apalagi dukun?

Lalu apa perkaranya? Apa yang jadi musabab ia begitu berdaya di alam mimpi?

Hmm…

Kutilik-tilik lagi memang ia tidak pernah sembarangan soal tidur.

Ia memang sungguh serius soal tidur. Bahkan terlalu serius. Dari mulai memilih bantal, guling, seprai, selimut, piyama, sampai memilih teman tidur pun ia tidak pernah main-main. Seprainya harus yang berbahan katun dan ia menggantinya tiga atau dua hari sekali. Mencuci selimut seminggu sekali. Sebelum tidur, ia tidak pernah lupa urusan cuci kaki, cuci badan dan gosok gigi. Ia memanjatkan banyak doa. Rambutnya selalu wangi, tubuhnya wangi. Ia melumuri kulitnya dengan minyak zaitun. Ia memastikan kuku-kukunya terpotong rapi berbaris sempurna. Kulitnya bercahaya dan wangi. Semuanya bersih dan wangi. Ia kadang menyalakan aroma terapi atau mengganti pewangi kamar tidurnya. Padahal kamar tidurnya sempit dan cuma dinafkahi kipas angin untuk menangkal panasnya udara ibu kota.

Yang benar saja?

Tidak mungkin hanya itu penyebabnya.

Maka aku menyusup ke mimpinya lagi di suatu malam.

Lalu aku tiba dalam mimpinya basah kuyup. Saat itu hujan lebat. Banyak petir dan kilat. Sepanjang jalan, kiri dan kanan, pohon-pohon bersusun cukup rapat. Aku jadi kesusahan berjalan. Kemudian tibalah aku di sebuah savanah. Hujan masih menhujam.

Dimana ini? Apa aku salah masuk mimpi? Aku bertanya-tanya.

Mana perempuan itu?

Baru terlintas dipikiran pertanyaan itu, tiba-tiba disampingku perempuan itu muncul. Ia memayungiku. Ia seperti membaca pikiranku. Aku seperti anak kecil yang kebingungan belum menyelesaikan pekerjaan rumah dan siap dimarahi ibu guru. Ia kemudian menarik tanganku, menyusuri ilalang yang basah. Herannya, aku rela saja. Aku berjalan bersamanya.
Kemudian kami sampai di sebuah rumah kayu. Aku dipersilahkannya masuk, lalu dijamunya dengan teh hangat beraroma mint sementara aku duduk sambil menggigil. Aku sengaja diam saja. Aku pikir dengan diam, aku bisa mencari-cari titik lemahnya.

Di mimpinya yang lain, perempuan itu menari, diiringi musik samba lalu bossa. Ia menarikku ke tengah keramaian, ia mengajakku berdansa. Ia menari sambil tertawa. Dengan rok flaminggo bunga-bunga yang dipakainya. Ia kelihatan senang. Ia terlihat senang dan ia menggenggam tanganku.

Kali lain, kudapati ia berada di atas sebuah tebing terjal yang dikelilingi lembah-lembah curam. Ia melukis. Ia duduk berhadapan dengan selembar kanvas putih. Lalu di kanvas itu, ia menyisakan jejak putih sedikit untuk awan, biru untuk langit, titik-titik hitam untuk burung-burung terbang, kuning kecokelatan untuk kumpulan tebing yang hangus, hijau untuk setitik daun, dan merah, dan oranye, merah muda untuk bunga-bunga di setitik daun tadi.

Pada kesempatan selanjutnya, ia berjalan di keramaian sebuah pusat kota. Berjalan dengan mantap dan berani menerobos kemacetan dan orang lalu lalang. Menggenggam tanganku sambil bersenandung. Ia berjalan cepat, tidak menoleh ke belakang sedikitpun.

Dan di suatu mimpinya yang lain, aku mendapati diriku duduk di hadapannya. Di atas sebuah teratai yang mengambang di telaga jernih dan tenang. Saat itu ia bilang aku Buddha. Ia bilang aku dewa, aku kesatria, aku raja,

Dan katanya aku bukan siluman.

Aku semakin rajin masuk ke mimpinya. Mimpi-mimpinya yang selalu cantik dan apik.
Aku sebenarnya hanya dan selalu mencari celah. Mencari titik lemah.

Meski begitu, sayang tidak setiap hari perempuan itu bermimpi. Kadang ia tertidur tanpa mimpi. Dan sayang sekali aku hanya bisa berjumpa dengannya dalam mimpi.
Sialan, kenapa aku merindukannya?

Tapi pikirku saat itu: tidak, tidak. Aku hanya merindukan mencari celah dan titik lemah. Bukan merindukan sosoknya.

Aku tidak benar-benar merindukannya.

Aku hanya mencari titik lemah.

Mungkin karena itu, aku jadi selalu mendambakan hadir di mimpinya. Aku selalu ingin tahu apa yang terjadi di mimpinya selanjutnya. Aku selalu mencari titik lemah. Maka, aku ingin dilibatkan dalam mimpinya.

Dilibatkan dalam mimpinya?

Tidak, tidak. Aku hanya mencari celah dan titik lemah.

Atau…

Atau mungkin aku sudah gila?

Gila.

Aku dengar di dunia manusia, salah satu yang bisa bikin gila adalah cinta. Dan urusan cinta itu adalah disaat dua kali dua bukan lagi empat. Tapi bisa seratus atau nol. Tidak masuk akal.

Tapi tidak.

Tentu saja tidak.

Tidak mungkin aku jatuh cinta. Aku bukan manusia. 

Aku bukan manusia.

 Aku siluman yang kemudian mulai hadir di ratusan mimpinya. Sampai suatu ketika, dalam satu mimpinya, aku tidak lagi mencari celah dan titik lemah. Aku lelah. Aku berhenti berusaha mengalahkannya.

Dan…

Entah mengapa aku merasa lebih baik. Setelah berhenti mencari titik lemah aku merasa lebih nyaman. Menjadi bagian dari mimpinya ternyata menyenangkan. Dan bermimpi berdampingan dengannya jauh lebih menyenangkan.

Padahal aku tahu rahasia besar soal mimpi: tidak semua mimpi jadi kenyataan. Aku ingin, mimpi hidup di dalam dunia nyata bersama perempuan itu—jadi kenyataan. Dan mimpiku, sepertinya tidak akan pernah jadi kenyataan. Dan mimpiku untuk hidup tidak hanya sekedar di dalam mimpi perempuan bunga—tidak akan pernah jadi kenyataan.

Kenyataannya, aku memang tidak nyata. Tidak berwujud di dunia nyata.

Tapi sudahlah, aku tidak mau ambil pusing. Biar bagaimanapun, aku bahagia seperti ini. Aku bahagia walau cuma seperti ini. Ya sudah. Ya sudahlah. Sudah. Telan saja kenyataan bulat-bulat.

Menjadi bagian dari mimpinya adalah kenyataan terbaikku saat ini.

Lagipula, tidak ada salahnya ‘kan terus hidup di dalam mimpi?




Bogor, 6 Maret – 2 April 2014