Lalu berubah layu.
*Engkau
menangis tersedu
Selagi bercerita
kepada diriku
Luka dirimu
Berulang kali kau begitu.
Aku terenyuh
hatiku
Mendengar cerita
dari dirimu
Duka dirimu
Sekarang, mulutmu banyak bergerak membentuk huruf O, A, E, I atau U. Lidahmu
naik turun. Bibirmu menyungging atau nyaris manyun. Kau selalu nampak kesakitan
dan tidak karuan. Tidak sesabar dulu. Sampai-sampai, aku tidak pernah bisa
mengikuti ucapanmu. Kadang, aku tak benar-benar paham kau bilang apa. Tapi,
melihat dan mendengarmu, aku tidak karuan dan ikut-ikut sedih.
Aku tidak suka itu. Lalu berubah layu.
Sekarang, kau sering seperti kehilangan diri. Kau sedih. Aku pun biasa
melihat air mukamu yang menyakitkan hati. Bikin aku sesungguhnya tidak sudi. Perilakumu berubah. Aku pun berubah.
Dulu, kalau aku ingin melangkah ke sana, kakiku serta merta bergerak. Membawa
tubuhku, merasakan rerumputan, batu, taik ayam, taik kambing, tanah berdebu atau bunga matari. Kalau aku ingin
menyentuh sesuatu, seperti gelas, gagang pintu, atau apapun, jari-jariku tak
sungkan merasai tekstur benda-benda itu. Kalau aku ingin mencium sesuatu,
membedakan aroma satu benda dengan benda yang lain, dengan bantuan tanganku,
hidungku bisa terpuaskan. Kalau ada yang memanggil namaku atau kudengar
sesumbar suara yang menarik, leherku bisa mengantar wajahku ke kiri ke kanan,
untuk mencari tahu, si sumber suara.
Saat itu pula, kau masih sering tersenyum.
Sekali lagi, itu dulu. Sebelum di suatu pagi, aku diliputi rasa sakit yang
luar biasa. Sakit yang menggila. Ada panas di dadaku yang menjalar ke seluruh
tubuhku. Panas itu seperti ribuan paku yang menikam tiap inci tubuhku.
Sakitnya luar biasa. Membuat binasa. Lalu berubah layu. Aku hilang kendali atas alam sadarku. Sebelum pandanganku
gelap, terakhir yang kuingat adalah suara bising memecah telinga. Penjuru tubuhku adalah keringat, panas
itu membuatku justru membeku. Kudapati seluruh tubuhku kaku. Lalu, semua suara hilang.
Itulah suatu pagi yang menjadi akhir senyumanmu.
Aku melihat
wajahmu
Penuh tanda tanya
Hal pertama ketika kelopak mataku yang berat susah payah dibuka adalah
melihat wajahmu. Kau memang diam tak bersuara, mulutmu ternganga sedikit,
kerut-kerut di dahimu berlomba-lomba muncul. Matamu takut dan heran. Lalu berubah layu.
Itulah suatu pagi yang jadi akhir semua senyummu dan aku kehilangan tubuhku
sendiri. Aku tak mampu mengendalikan diriku. Semua terasa berat dan susah.
Tak ada lagi lantai tanah yang bisa dinikmati kulitku atau suara-suara
menarik telinga. Tak
ada lagi suara rumput, wangi batu, atau bau kambing-kambing di halaman rumah. Tak
ada lagi bisikanmu. Tangan, kaki, dan kepalaku seperti telah diambil dan tak
mau lagi bekerjasama denganku. Semua tak terasa. Semua terbelenggu. Lalu berubah layu.
Seketika, aku cuma bisa melihat rona, mengerjap kelopak mata, membuka mulut
pelan-pelan, dan menggerakkan lidah sedikit, dan bersuara “Ma...”, yang bahkan
aku sendiri tak mampu mendengarnya.
Lemas, tidak karuan. Dunia saat itu seperti terhisap, terlempar jauh-jauh
dan tidak bernyawa.
Kau peluk erat
tubuhku yang kecil ini
Air matamu menetes membasahi bajuku
Raut wajahmu yang
muram itu, akhirnya jadi biasa. Diriku yang begini juga biasa. Aku memang sudah tidak
bisa apa-apa. Hanya terkapar di dipan kayu beralas tumpukan kain. Dengan begitu
saja, dari mulai biasa, sekarang aku telah terbiasa.
Yang luar biasa adalah lidah dan mataku. Yang bisa bergerak sesuai perintah hatiku. Meski cuma
begitu, aku senang sekali. Apalagi kalau kau suapkan sesuatu atau pamerkan
sesuatu di hadapanku. Sesuatu yang kadang lembut manis, asin, atau agak kecut.
Sesuatu yang berwarna cokelat, putih, kuning muram, hitam, atau abu-abu. Sesuatu
yang menarik lidah dan mataku. Lidah dan mataku masih berdamai dengan diriku.
Kau tak lagi menghujani cium. Aku terima kalau memang harus begitu.
Absennya rasa?
Kehadiran tangismu sebagai pencetus sedihku? Aku akhirnya terbiasa.
Satu-satunya hal
yang memecah kebosanan adalah apabila kuucap “Ma...”,
sambil tubuhku terbujur kaku, kau mengangkat tanganmu, memainkan sendok, dan
menyuapi aku. Aku bisa bermain-main
dengan lidahku. Merasai lembutnya asin, manis atau yang agak kecut-kecut
itu. Kalau kuucap “Ma…” sekali lagi, kadang kau mengangkat sesuatu apapun yang
ada di dekatmu. Piring putih, kentang kecokelatan, atau sisir hitam. Lalu, ekor
mataku memperhatikan gerak-gerikmu ketika kau dengan tangkasnya menjajakan
semuanya di hadapanku. Kau menggoyang-goyang semua warna. Satu-satu. Entah
sengaja atau tidak. Tapi mataku menangkap perbedaanya.
Setiap benda
memancarkan cahaya dan warna yang berbeda. Meninggalkan jejak di udara. Mataku
dimanjakan dengan pemandangan sederhana itu. Berulang-ulang tidak jemu. Cukup menghiburku.
Begitulah hampir
setiap hari hingga rambutmu memutih. Kerut-kerut muncul di
sudut bibir dan matamu. Kau menyusut. Lalu berubah layu. Meski begitu, kau tetap
sering menyuapi aku, menghiburku dengan rasa makanan, dan warna-warna.
Lalu, di suatu
sore, lagi, tubuhku seperti ditusuk jarum. Pengalaman yang hampir sama
seperti dulu. Badanku dilumuri rasa
panas. Warna langit-langit rumah kelabu lalu mulai menghitam.
Sinar-sinar menghilang. Aku tercekik. Lalu berubah layu. Semua gelap.
Kubuka mataku, sinar-sinar kembali menyala. Memancarkan warna-warna semanis gula. Tak ada
langit-langit kelabu atau dinding tambal sulam cokelat serat bambu dan laba-laba kawin dalam sarangnya. Yang ada
adalah pasukan langit biru dan kawanan awan putih sepanjang haluan.
Kurasai jemariku bergerak sesuai keinginanku. Kuangkat tanganku, tepat ke hadapan
wajahku. Warnanya kuning kecokelatan penuh kemudaan. Kuamati lagi, jemariku
menghiburku. Aku tersenyum sendiri.
Ada pasukan daun jatuh pelan-pelan, lalu mengusap kepalaku. Kuambil daun-daun kering itu, dengan tanganku. Kucium jejak-jejak aroma udara dan angin sejuk yang di ujung daun-daun itu. Aku jadi ingat, dulu aku pernah melakukan ini semua. Aku rindu.
Ada pasukan daun jatuh pelan-pelan, lalu mengusap kepalaku. Kuambil daun-daun kering itu, dengan tanganku. Kucium jejak-jejak aroma udara dan angin sejuk yang di ujung daun-daun itu. Aku jadi ingat, dulu aku pernah melakukan ini semua. Aku rindu.
Kuturunkan
tanganku, mencabik rerumputan berembun. Kuputar leherku ke kiri ke
kanan. Kusapu pandanganku. Kuangkat tubuhku. Kugerakkan kaki dari tempatku
terpaku. Telapak kakiku merasai rumput. Kupijakkan satu-satu. Menuju gugusan pepohonan subur yang saling menjaga jarak.
Dari rerumputan, kemudian batang demi batang tak habis kujalani. Aku memanjat keatas, ditarik sinar matahari bermuatan magnet. Terus aku meniti hingga aku sampai ke sebatang tepi dahan. Kupetik buah terdekat. Merah mengkilap. Liurku menetes, segera kutancapkan gigiku ke dagingnya. Rasanya manis dan basahnya memuaskan. Lidahku belajar memahami rasa ini. Seluruh tubuhku bersorak girang. Enak sekali. Aku berjanji tak mau turun lagi. Aku akan berpegangan erat di dahan ini. Dan tak akan pernah jatuh.
Sayup-sayup
kudengar suaramu lagi. Semua membuyar dan pecah menjadi satu, kemudian berganti
dengan wajahmu dihadapanku. Masih tersisa rasa manis dilidahku. Aku tak merasai
tangan dan kakiku lagi. Yang ada hanyalah wajahmu yang basah, langit-langit
abu-abu, dinding-dinding bilik kecokelatan dan laba-laba mengunyah nyamuk.
Kau peluk lagi
tubuhku yang kecil ini
Air matamu pun
menetes lagi di bajuku
Tiba-tiba, kugerakkan tanganku, mengusap air matamu. Kau nampak terkejut.
Aku tersenyum. Kau menatapku bingung. Kau masih kaget, lalu akhirnya kau
ikut tersenyum. Tanganku mengusap pipimu yang basah.
Yang kaualami
semua pun mengalami
Larut terus
menerus bisa membuatmu layu
Senyummu tak
hilang-hilang. Seperti sabarmu yang tak pernah surut-surut. Menurutku, alangkah
lebih baiknya kau jangan menangis lagi. Abadikan senyumanmu itu disekitar
pandanganku.
Aku mengusap
pipimu kembali. Kau sepertinya mengerti maksudku.
Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih. Satu pesanku: jangan menyesal. Masa lalu tidak bisa dibatalkan.
Lalu aku berubah layu. Dan semua terasa gelap kembali.
Sejak itu, aku tak pernah melihatmu lagi.
Bandung, 10 Juni
2012
*Petikan
lagu Sore berjudul Layu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar