26 Jan 2014

Lalu Berubah Layu

Tapi kali ini kau sering menangis. Kadang kalau sengaja kuucap “Ma...”, kau malah semakin menangis. Mukamu berair. Air mata. Tai mata. Matamu miskin binar. Hidungmu kaya ingus. Aku tak suka melihatnya. Lalu, kau usap air matamu dengan ujung rok lipit-lipitmu. Segera, kau ambil semangkuk lemu. Bubur lemu yang berwarna putih kecoklatan. Rasanya manis dan lembut. Kau suapi aku. Aku lupa tangismu. Hatiku tenang dan sedikit senang. 

Lalu berubah layu.

*Engkau menangis tersedu
Selagi bercerita kepada diriku

Luka dirimu
 
Berulang kali kau begitu.

Aku terenyuh hatiku
Mendengar cerita dari dirimu

Duka dirimu

Sekarang, mulutmu banyak bergerak membentuk huruf O, A, E, I atau U. Lidahmu naik turun. Bibirmu menyungging atau nyaris manyun. Kau selalu nampak kesakitan dan tidak karuan. Tidak sesabar dulu. Sampai-sampai, aku tidak pernah bisa mengikuti ucapanmu. Kadang, aku tak benar-benar paham kau bilang apa. Tapi, melihat dan mendengarmu, aku tidak karuan dan ikut-ikut sedih.

Aku tidak suka itu. Lalu berubah layu.

Sekarang, kau sering seperti kehilangan diri. Kau sedih. Aku pun biasa melihat air mukamu yang menyakitkan hati. Bikin aku sesungguhnya tidak sudi. Perilakumu berubah. Aku pun berubah. 

Dulu, kalau aku ingin melangkah ke sana, kakiku serta merta bergerak. Membawa tubuhku, merasakan rerumputan, batu, taik ayam, taik kambing, tanah berdebu atau bunga matari. Kalau aku ingin menyentuh sesuatu, seperti gelas, gagang pintu, atau apapun, jari-jariku tak sungkan merasai tekstur benda-benda itu. Kalau aku ingin mencium sesuatu, membedakan aroma satu benda dengan benda yang lain, dengan bantuan tanganku, hidungku bisa terpuaskan. Kalau ada yang memanggil namaku atau kudengar sesumbar suara yang menarik, leherku bisa mengantar wajahku ke kiri ke kanan, untuk mencari tahu, si sumber suara.

Saat itu pula, kau masih sering tersenyum.

Sekali lagi, itu dulu. Sebelum di suatu pagi, aku diliputi rasa sakit yang luar biasa. Sakit yang menggila. Ada panas di dadaku yang menjalar ke seluruh tubuhku. Panas itu seperti ribuan paku yang menikam tiap inci tubuhku. Sakitnya luar biasa. Membuat binasa. Lalu berubah layu. Aku hilang kendali atas alam sadarku. Sebelum pandanganku gelap, terakhir yang kuingat adalah suara bising memecah telinga. Penjuru tubuhku adalah keringat, panas  itu  membuatku justru membeku. Kudapati seluruh tubuhku kaku. Lalu, semua suara hilang.

Itulah suatu pagi yang menjadi akhir senyumanmu.

Aku melihat wajahmu

Penuh tanda tanya

Hal pertama ketika kelopak mataku yang berat susah payah dibuka adalah melihat wajahmu. Kau memang diam tak bersuara, mulutmu ternganga sedikit, kerut-kerut di dahimu berlomba-lomba muncul. Matamu takut dan heran. Lalu berubah layu.

Itulah suatu pagi yang jadi akhir semua senyummu dan aku kehilangan tubuhku sendiri. Aku tak mampu mengendalikan diriku. Semua terasa berat dan susah. 

Tak ada lagi lantai tanah yang bisa dinikmati kulitku atau suara-suara menarik telinga. Tak ada lagi suara rumput, wangi batu, atau bau kambing-kambing di halaman rumah. Tak ada lagi bisikanmu. Tangan, kaki, dan kepalaku seperti telah diambil dan tak mau lagi bekerjasama denganku. Semua tak terasa. Semua terbelenggu. Lalu berubah layu.

Seketika, aku cuma bisa melihat rona, mengerjap kelopak mata, membuka mulut pelan-pelan, dan menggerakkan lidah sedikit, dan bersuara “Ma...”, yang bahkan aku sendiri tak mampu mendengarnya.

Lemas, tidak karuan. Dunia saat itu seperti terhisap, terlempar jauh-jauh dan tidak bernyawa.

Kau peluk erat tubuhku yang kecil ini

Air matamu menetes membasahi bajuku

Raut wajahmu yang muram itu, akhirnya jadi biasa. Diriku yang begini juga biasa. Aku memang sudah tidak bisa apa-apa. Hanya terkapar di dipan kayu beralas tumpukan kain. Dengan begitu saja, dari mulai biasa, sekarang aku telah terbiasa.

Yang luar biasa adalah lidah dan mataku. Yang bisa bergerak sesuai perintah hatiku. Meski cuma begitu, aku senang sekali. Apalagi kalau kau suapkan sesuatu atau pamerkan sesuatu di hadapanku. Sesuatu yang kadang lembut manis, asin, atau agak kecut. Sesuatu yang berwarna cokelat, putih, kuning muram, hitam, atau abu-abu. Sesuatu yang menarik lidah dan mataku. Lidah dan mataku masih berdamai dengan diriku.

Kau tak lagi menghujani cium. Aku  terima kalau memang harus begitu.  

Absennya rasa? Kehadiran tangismu sebagai pencetus sedihku? Aku akhirnya terbiasa.

Satu-satunya hal yang  memecah kebosanan adalah apabila kuucap “Ma...”, sambil tubuhku terbujur kaku, kau mengangkat tanganmu, memainkan sendok, dan menyuapi aku. Aku bisa bermain-main  dengan lidahku. Merasai lembutnya asin, manis atau yang agak kecut-kecut itu. Kalau kuucap “Ma…” sekali lagi, kadang kau mengangkat sesuatu apapun yang ada di dekatmu. Piring putih, kentang kecokelatan, atau sisir hitam. Lalu, ekor mataku memperhatikan gerak-gerikmu ketika kau dengan tangkasnya menjajakan semuanya di hadapanku. Kau menggoyang-goyang semua warna. Satu-satu. Entah sengaja atau tidak. Tapi mataku menangkap perbedaanya.
Setiap benda memancarkan cahaya dan warna yang berbeda. Meninggalkan jejak di udara. Mataku dimanjakan dengan pemandangan sederhana itu. Berulang-ulang tidak jemu. Cukup menghiburku.

Begitulah hampir setiap hari hingga rambutmu memutih. Kerut-kerut muncul di sudut bibir dan matamu. Kau menyusut. Lalu berubah layu. Meski begitu, kau tetap sering menyuapi aku, menghiburku dengan rasa makanan, dan warna-warna.

Lalu, di suatu sore, lagi, tubuhku seperti ditusuk jarum. Pengalaman yang hampir sama seperti dulu. Badanku dilumuri rasa panas. Warna langit-langit rumah kelabu lalu mulai menghitam. Sinar-sinar menghilang. Aku tercekik. Lalu berubah layu. Semua gelap.

Kubuka mataku, sinar-sinar kembali menyala. Memancarkan warna-warna semanis gula. Tak ada langit-langit kelabu atau dinding tambal sulam cokelat serat bambu dan laba-laba kawin dalam sarangnya. Yang ada adalah pasukan langit biru dan kawanan awan putih sepanjang haluan.

Kurasai jemariku bergerak sesuai keinginanku. Kuangkat tanganku, tepat ke hadapan wajahku. Warnanya kuning kecokelatan penuh kemudaan. Kuamati lagi, jemariku menghiburku. Aku tersenyum sendiri. 

Ada pasukan daun jatuh pelan-pelan, lalu mengusap kepalaku. Kuambil daun-daun kering itu, dengan tanganku. Kucium jejak-jejak aroma udara dan angin sejuk yang di ujung daun-daun itu. Aku jadi ingat, dulu aku pernah melakukan ini semua. Aku rindu.

Kuturunkan tanganku, mencabik rerumputan berembun. Kuputar leherku ke kiri ke kanan. Kusapu pandanganku. Kuangkat tubuhku. Kugerakkan kaki dari tempatku terpaku. Telapak kakiku merasai rumput. Kupijakkan satu-satu. Menuju gugusan pepohonan subur yang saling menjaga jarak.


Dari rerumputan, kemudian batang demi batang tak habis kujalani. Aku memanjat keatas, ditarik sinar matahari bermuatan magnet. Terus aku meniti hingga aku sampai ke sebatang tepi dahan. Kupetik buah terdekat. Merah mengkilap. Liurku menetes, segera kutancapkan gigiku ke dagingnya. Rasanya manis dan basahnya memuaskan. Lidahku belajar memahami rasa ini. Seluruh tubuhku bersorak girang. Enak sekali. Aku berjanji tak mau turun lagi. Aku akan berpegangan erat di dahan ini. Dan tak akan pernah jatuh.

Sayup-sayup kudengar suaramu lagi. Semua membuyar dan pecah menjadi satu, kemudian berganti dengan wajahmu dihadapanku. Masih tersisa rasa manis dilidahku. Aku tak merasai tangan dan kakiku lagi. Yang ada hanyalah wajahmu yang basah, langit-langit abu-abu, dinding-dinding bilik kecokelatan dan laba-laba mengunyah nyamuk.

Kau peluk lagi tubuhku yang kecil ini

Air matamu pun menetes lagi di bajuku

Tiba-tiba, kugerakkan tanganku, mengusap air matamu. Kau nampak terkejut. Aku tersenyum. Kau menatapku bingung. Kau masih kaget, lalu akhirnya kau ikut tersenyum. Tanganku mengusap pipimu yang basah.

Yang kaualami semua pun mengalami

Larut terus menerus bisa membuatmu layu

Senyummu tak hilang-hilang. Seperti sabarmu yang tak pernah surut-surut. Menurutku, alangkah lebih baiknya kau jangan menangis lagi. Abadikan senyumanmu itu disekitar pandanganku.

Aku mengusap pipimu kembali. Kau sepertinya mengerti maksudku.

Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih. Satu pesanku: jangan menyesal. Masa lalu tidak bisa dibatalkan.

Lalu aku berubah layu. Dan semua terasa gelap kembali.

Sejak itu, aku tak pernah melihatmu lagi.



Bandung, 10 Juni 2012

*Petikan lagu Sore berjudul Layu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar