Pernah
dengar peribahasa atau istilah “dasar kamu kepala batu” ? Nah, sebenarnya aku
ingin memberitahumu, bahwa sejak kecil aku sudah curiga kalau peribahasa
itu-leluhurku-lah yang membuatnya.
Begini,
ini semua gara-gara aku bisa melihat batu. Bukan sembarang batu. Melainkan batu
yang melayang di udara. Di atas kepala setiap orang. Baiklah aku perjelas: Setiap
orang punya batu di kepala mereka. Dan ya, sebenarnya hanya aku dan keluargaku
lah yang bisa melihat batu-batu melayang itu. Mekanismenya seperti orang yang
punya indera keenam yang bisa melihat aura. Bedanya, aku dan keluargaku melihat
batu. Bukan melihat aura.
Setiap
orang punya ukuran batu yang berbeda-beda. Ada yang kecil , sekecil kepalan
tangan. Ada yang besar, sebesar kepala gajah. Dan sebagainya. Batu-batu itu
melayang diatas kepala mereka (tentunya tanpa mereka sadari).
Apakah
batu-batu itu menghalangi jarak pandangku? Ya dan tidak. Karena batu-batu
melayang itu seperti hologram di film-film. Tembus pandang. Seperti lensa kaca
mata hitam. Pemandangan dibalik batu-batu itu bewarna gelap. Tapi tidak
membutakan total.
Sejak
kecil aku (dan keluargaku) sudah bisa melihat batu-batu melayang itu. Jadi kata
‘menghalangi’ sepertinya tidak tepat.
Apakah
warna batu setiap orang itu berbeda? Tidak. Batu bukan aura. Ya, warna setiap
batu hitam (atau abu-abu). Bayangkan saja aspal atau batu granit hitam dalam
versi tembus pandangnya. Seperti itulah kira-kira.
Nah,
sekarang aku ingin bercerita padamu tentang pengalamanku berhadapan dengan
berbagai macam orang. Aku ingin bercerita, lebih tepatnya, tentang pengalaman
cinta. Pengalaman jatuh cintaku dengan berbagai macam orang, dan, ukuran batu
mereka yang berbeda.
Baiklah,
entah mengapa, aku selalu jatuh cinta dengan orang yang ‘berbatu’ besar. Oh ya,
aku terlupa. Aku dan keluargaku juga masing-masing punya batu. Ukuran batu kami
berbeda-beda. Tapi rata-rata ukurannya besar-besar. Begitu juga dengan batu-ku.
Aku
tidak tahu kenapa batu ku besar. Aku juga tidak tahu kenapa cuma aku dan
keluargaku yang bisa melihat batu. Aku juga tidak tahu kenapa aku selalu jatuh
cinta pada orang berbatu besar (meski aku tahu kalau aku pasti jatuh cinta pada
orang berbatu besar). Atau apakah karena batuku besar maka aku selalu suka
dengan orang berbatu besar. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku sebenarnya
banyak tidak tahu.
Maka,
diusiaku yang 29 tahun ini, aku telah mengalami tiga belas kali jatuh cinta dan
enam kali patah hati. Dan diusiaku yang ke 29 tahun ini, aku semakin yakin dan
sadar kalau: 1. Aku harus segera menikah. Menurut tetangga sekitar rumah dan
sanak famili, aku sudah terlampau jauh dari cukup umur untuk menikah. 2. Aku
harus menikah dengan pria yang dicintai keluargaku- bukan dicintai diriku. 3.
Aku tidak boleh terus-terusan mencari orang yang sesuai dengan keinginanku.
Seandainya ada, aku tahu, rumah tanggaku kelak dengan orang itu tidak akan
berhasil.
Mari
kita bahas poin ketiga lebih jauh: Kalau ada orang yang sesuai dengan keinginanku, maka
rumah tanggaku kelak dengan orang itu tidak akan berhasil.
Baiklah,
aku selalu jatuh cinta pada pria berkepala batu besar. Lebih tepatnya, aku
pernah jatuh cinta pada tiga belas pria berkepala batu besar. Maka, pria-pria
berkepala batu besar itu adalah mereka yang sesuai dengan keinginanku.
Aku tidak mungkin bisa hidup dan membina keluarga sejahtera bersama dengan pria
berkepala batu besar. Kenapa?
Aku
punya banyak hipotesis, yang berangkat dari beberapa bukti: 1. Kakekku
berkepala batu besar, nenekku berkepala batu kecil. Mereka tidak cerai. Rukun
sampai ajal menjemput. 2. Adik ibuku berkepala batu besar, (mantan) suaminya,
berkepala batu besar juga. Cerai. 3. Adik ibuku yang berkepala batu besar tadi
menikah lagi dengan pria berkepala batu kecil juga. Tidak cerai. 4. Kakak
ibuku yang berkepala batu kecil menikah dengan wanita yang juga berkepala batu
kecil Cerai. 5. Pamanku (sebenarnya kenalan ayah) yang berbatu besar menikah
dengan wanita berbatu besar juga. Cerai. 6. Nenekku (dari pihak ayah) yang
berkepala batu besar menikah dengan kakekku (dari pihak ayah) yang juga
berkepala batu besar. Cerai. Dan belasan bukti lainnya. 7. Ibuku yang
berkepala batu besar menikah dengan ayahku yang berkepala batu besar. Ceraaaai!
Dengan
demikian, aku berasumsi bahwa: 1. Pasangan dengan ukuran batu berbeda (yang
satu besar, yang satu kecil) lebih punya kemungkinan memiliki rumah tangga
bahagia, atau tidak cerai. 2. Pasangan dengan ukuran batu sama (sama-sama
besar atau sama-sama kecil), kemungkinan besar cerai.
Itulah
formulaku soal memilih pasangan hidup.
Maka
aku menyerah bermimpi menikah dengan pria berkepala batu besar. Tapi aku tidak
pernah menyerah bercita-cita memiliki pria berkepala batu besar. Tahu bedanya
kan? Menikah dan memiliki.
Sekarang
aku ceritakan pertemuanku dengan Dana. Ya, tentu saja Dana adalah pria berbatu
besar. Yang sebegitu pentingnya aku ceritakan sekarang. Dana tidak tampan, tidak
juga jelek, tidak begitu pintar, tidak juga bodoh, tidak malas, tidak juga
rajin, tidak kaya, tidak juga miskin. Satu-satunya hal yang bikin aku
tergila-gila dengan Dana adalah, tentu saja bukan karena batunya yang besar,
karena Dana punya ego yang besar. Sebesar samudera pasifik.
Aku
sangat menyukai Dana. Aku cinta Dana.
Mulanya
Dana adalah temannya salah satu temanku. Aku memang dijodohkan dengan Dana oleh
temanku yang beritikad baik ini. Aku pun langsung suka pada Dana. Dana juga
mengaku menyukaiku. Entah kenapa kami tidak pernah berikrar pacaran. Meski
bercinta-cintaan tidak pernah absen dari jadwal akhir pekan kami berdua.
Teman-teman banyak yang sepakat sebaiknya aku dan Dana kawin saja.
Tapi,
yang namanya jodoh kawin kan bukan cuma urusan suka sama suka, cinta sama
cinta!
Ada
tiga urusan dari sudut pandangku (yang bikin aku tidak mau kawin dengan Dana).
Pertama, aku tahu Dana mudah sekali jatuh cinta. Tentunya, dengan banyak
wanita. Aku tahu sekali. Aku mulai hapal kebiasaannya. Bertemu dengan si Tika,
Dana suka. Berjumpa dengan si Ratu, Dana naksir. Bersua dengan si Mira, Dana
pengin. Awalnya aku kesal dan cemburu. Tapi lama-lama aku biasa. Dana memang
begitu. Dia selalu melakukan apa pun yang dia suka. Anehnya, lama kelamaan aku
tidak cemburu. Aku tetap suka Dana. Aku tetap senang berada di dekatnya. Dan
Dana tetap selalu berpaling padaku, pada akhirnya.
Kedua,
aku terlalu penakut. Aku takut dengan hipotesisku sendiri. Dana
berkepala batu besar. Perkawinan batu besar dan batu besar berujung kehancuran.
Aku tidak mau rumah tanggaku kelak dan Dana (kalau kami menikah) hancur
berantakan. Meski aku berani menebak-nebak masa depan, aku takut
menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk itu.
Ketiga,
aku serakah. Aku tidak mau menikah dengan orang yang benar-benar aku cintai.
Aku tidak mau cintaku nanti luntur karena terlalu lama berdiam dalam sebuah
pernikahan. Seberapa benarnya hipotesis-hipotesis bodohku sendiri tentang
batu-batu, aku selalu berpikir menikah, bisa mengikis rasa cinta. Sekalipun
seandainya Dana berbatu kecil. Aku tidak mau menikahi Dana. Aku ingin bahagia
sekaligus tidak akan pernah kehilangan rasa cintaku pada Dana.
Maka
begitulah, aku dan Dana tidak pernah jadi sepasang.
Sekarang
aku ceritakan tentang pernikahanku. Di usia yang ke 29 aku duduk di pelaminan
cantik bersama dengan seorang pria (tentunya bukan Dana). Dia berumur setahun
di atasku. Sekolahnya bagus, jabatannya bagus. Berasal dari keluarga baik-baik.
Tidak, egonya tidak sebesar Dana. Dia penurut dan bertanggung jawab. Tidak
tampan tidak buruk rupa. Tidak kaya tidak miskin. Baik hati. Maka keluargaku
jatuh cinta dengan pria ini. Dan yang terpenting, batunya kecil.
Aku
sayang pada keluargaku, maka aku menikahi pria ini. Aku ikhlas melakukannya.
Tapi
cinta memang luar biasa. Jadi, ketika kidung berisi permohonan doa kepada Tuhan
dipanjatkan di hari pernikahanku, tiba-tiba aku malah teringat Dana. Saat kain
putih penutup kepala aku dan calon suamiku dibuka, aku teringat Dana. Saat
menyawer uang receh, kunyit, beras dan kembang gula, aku teringat Dana. Sampai
adegan aku dan calon suamiku saling menyuap bulatan nasi punar, aku masih
teringat Dana.
Dana.
Dana. Dana.
Aku
tahu keputusanku sudah bulat dan aku sepenuhnya sadar melakukannya. Aku tahu
pernikahan itu hanya sekali untuk selama-lamanya.
Seluruh
prosesi pernikahanku bisa dibilang sama seperti orang kebanyakan. Satu hal yang
bikin aku merasa beda dan super spesial: kehadiran Dana di pernikahanku.
Saat itu, begitu melihat Dana tiba dengan perempuan barunya, lalu ia dan
perempuannya menyalami orang tuaku, menyalami suamiku, dan menyalamiku, dan
ketika Dana mengucapkan kata selamat menempuh hidup baru padaku, aku semakin
yakin keputusanku tidak salah.
Aku
tersenyum pada Dana dan dia membalasnya. Entah kenapa, cukup dengan sepersekian
detik itu, ketika Dana tersenyum di hari pernikahanku, aku benar-benar
tahu, kami tetap saling cinta. Kami tetap saling memiliki.
Jakarta, 25 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar