26 Jan 2014

Aku Cinta Dana



Pernah dengar peribahasa atau istilah “dasar kamu kepala batu” ? Nah, sebenarnya aku ingin memberitahumu, bahwa sejak kecil aku sudah curiga kalau peribahasa itu-leluhurku-lah yang membuatnya.


Begini, ini semua gara-gara aku bisa melihat batu. Bukan sembarang batu. Melainkan batu yang melayang di udara. Di atas kepala setiap orang. Baiklah aku perjelas: Setiap orang punya batu di kepala mereka. Dan ya, sebenarnya hanya aku dan keluargaku lah yang bisa melihat batu-batu melayang itu. Mekanismenya seperti orang yang punya indera keenam yang bisa melihat aura. Bedanya, aku dan keluargaku melihat batu. Bukan melihat aura.


Setiap orang punya ukuran batu yang berbeda-beda. Ada yang kecil , sekecil kepalan tangan. Ada yang besar, sebesar kepala gajah. Dan sebagainya. Batu-batu itu melayang diatas kepala mereka (tentunya tanpa mereka sadari).


Apakah batu-batu itu menghalangi jarak pandangku? Ya dan tidak. Karena batu-batu melayang itu seperti hologram di film-film. Tembus pandang. Seperti lensa kaca mata hitam. Pemandangan dibalik batu-batu itu bewarna gelap. Tapi tidak membutakan total.


Sejak kecil aku (dan keluargaku) sudah bisa melihat batu-batu melayang itu. Jadi kata ‘menghalangi’ sepertinya tidak tepat.


Apakah warna batu setiap orang itu berbeda? Tidak. Batu bukan aura. Ya, warna setiap batu hitam (atau abu-abu). Bayangkan saja aspal atau batu granit hitam dalam versi tembus pandangnya. Seperti itulah kira-kira.


Nah, sekarang aku ingin bercerita padamu tentang pengalamanku berhadapan dengan berbagai macam orang. Aku ingin bercerita, lebih tepatnya, tentang pengalaman cinta. Pengalaman jatuh cintaku dengan berbagai macam orang, dan, ukuran batu mereka yang berbeda.


Baiklah, entah mengapa, aku selalu jatuh cinta dengan orang yang ‘berbatu’ besar. Oh ya, aku terlupa. Aku dan keluargaku juga masing-masing punya batu. Ukuran batu kami berbeda-beda. Tapi rata-rata ukurannya besar-besar. Begitu juga dengan batu-ku.


Aku tidak tahu kenapa batu ku besar.  Aku juga tidak tahu kenapa cuma aku dan keluargaku yang bisa melihat batu. Aku juga tidak tahu kenapa aku selalu jatuh cinta pada orang berbatu besar (meski aku tahu kalau aku pasti jatuh cinta pada orang berbatu besar). Atau apakah karena batuku besar maka aku selalu suka dengan orang berbatu besar. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku sebenarnya banyak tidak tahu.


Maka, diusiaku yang 29 tahun ini, aku telah mengalami tiga belas kali jatuh cinta dan enam kali patah hati. Dan diusiaku yang ke 29 tahun ini, aku semakin yakin dan sadar kalau: 1. Aku harus segera menikah. Menurut tetangga sekitar rumah dan sanak famili, aku sudah terlampau jauh dari cukup umur untuk menikah. 2. Aku harus menikah dengan pria yang dicintai keluargaku- bukan dicintai diriku. 3. Aku tidak boleh terus-terusan mencari orang yang sesuai dengan keinginanku. Seandainya ada, aku tahu, rumah tanggaku kelak dengan orang itu tidak akan berhasil.


Mari kita bahas poin ketiga lebih jauh: Kalau ada orang yang sesuai dengan keinginanku, maka rumah tanggaku  kelak dengan orang itu tidak akan berhasil.  


Baiklah, aku selalu jatuh cinta pada pria berkepala batu besar. Lebih tepatnya, aku pernah jatuh cinta pada tiga belas pria berkepala batu besar. Maka, pria-pria  berkepala batu besar itu adalah mereka yang sesuai dengan keinginanku. Aku tidak mungkin bisa hidup dan membina keluarga sejahtera bersama dengan pria berkepala batu besar. Kenapa?


Aku punya banyak hipotesis, yang berangkat dari beberapa bukti: 1. Kakekku berkepala batu besar, nenekku berkepala batu kecil. Mereka tidak cerai. Rukun sampai ajal menjemput. 2. Adik ibuku berkepala batu besar, (mantan) suaminya, berkepala batu besar juga. Cerai. 3. Adik ibuku yang berkepala batu besar tadi menikah lagi dengan pria berkepala batu kecil juga.  Tidak cerai. 4. Kakak ibuku yang berkepala batu kecil menikah dengan wanita yang juga berkepala batu kecil Cerai. 5. Pamanku (sebenarnya kenalan ayah) yang berbatu besar menikah dengan wanita berbatu besar juga. Cerai. 6. Nenekku (dari pihak ayah) yang berkepala batu besar menikah dengan kakekku (dari pihak ayah) yang juga berkepala batu besar. Cerai.  Dan belasan bukti lainnya. 7. Ibuku yang berkepala batu besar menikah dengan ayahku yang berkepala batu besar. Ceraaaai!


Dengan demikian, aku berasumsi bahwa: 1. Pasangan dengan ukuran batu berbeda (yang satu besar, yang satu kecil) lebih punya kemungkinan memiliki rumah tangga bahagia, atau  tidak cerai. 2. Pasangan dengan ukuran batu sama (sama-sama besar atau sama-sama kecil), kemungkinan besar cerai.


Itulah formulaku soal memilih pasangan hidup.


Maka aku menyerah bermimpi menikah dengan pria berkepala batu besar. Tapi aku tidak pernah menyerah bercita-cita memiliki pria berkepala batu besar. Tahu bedanya kan? Menikah dan memiliki.


Sekarang aku ceritakan pertemuanku dengan Dana. Ya, tentu saja Dana adalah pria berbatu besar. Yang sebegitu pentingnya aku ceritakan sekarang. Dana tidak tampan, tidak juga jelek, tidak begitu pintar, tidak juga bodoh, tidak malas, tidak juga rajin, tidak kaya, tidak juga miskin. Satu-satunya hal yang bikin aku tergila-gila dengan Dana adalah, tentu saja bukan karena batunya yang besar, karena Dana punya ego yang besar. Sebesar samudera pasifik.


Aku sangat menyukai Dana. Aku cinta Dana.


Mulanya Dana adalah temannya salah satu temanku. Aku memang dijodohkan dengan Dana oleh temanku yang beritikad baik ini. Aku pun langsung suka pada Dana. Dana juga mengaku menyukaiku. Entah kenapa kami tidak pernah berikrar pacaran. Meski bercinta-cintaan tidak pernah absen dari jadwal akhir pekan kami berdua. Teman-teman banyak yang sepakat sebaiknya aku dan Dana kawin saja.


Tapi, yang namanya jodoh kawin kan bukan cuma urusan suka sama suka, cinta sama cinta!


Ada tiga urusan dari sudut pandangku (yang bikin aku tidak mau kawin dengan Dana).  Pertama, aku tahu Dana mudah sekali jatuh cinta. Tentunya, dengan banyak wanita. Aku tahu sekali. Aku mulai hapal kebiasaannya. Bertemu dengan si Tika, Dana suka. Berjumpa dengan si Ratu, Dana naksir. Bersua dengan si Mira, Dana pengin. Awalnya aku kesal dan cemburu. Tapi lama-lama aku biasa. Dana memang begitu. Dia selalu melakukan apa pun yang dia suka. Anehnya, lama kelamaan aku tidak cemburu. Aku tetap suka Dana. Aku tetap senang berada di dekatnya. Dan Dana tetap selalu berpaling padaku, pada akhirnya.


Kedua, aku terlalu penakut.  Aku takut dengan hipotesisku sendiri.  Dana berkepala batu besar. Perkawinan batu besar dan batu besar berujung kehancuran. Aku tidak mau rumah tanggaku kelak dan Dana (kalau kami menikah) hancur berantakan. Meski aku berani menebak-nebak masa depan,  aku takut menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk itu.


Ketiga, aku serakah. Aku tidak mau menikah dengan orang yang benar-benar aku cintai. Aku tidak mau cintaku nanti luntur karena terlalu lama berdiam dalam sebuah pernikahan. Seberapa benarnya hipotesis-hipotesis bodohku sendiri tentang batu-batu, aku selalu berpikir menikah, bisa mengikis rasa cinta. Sekalipun seandainya Dana berbatu kecil. Aku tidak mau menikahi Dana. Aku ingin bahagia sekaligus tidak akan pernah kehilangan rasa cintaku pada Dana.


Maka begitulah, aku dan Dana tidak pernah jadi sepasang.


Sekarang aku ceritakan tentang pernikahanku. Di usia yang ke 29 aku duduk di pelaminan cantik bersama dengan seorang pria (tentunya bukan Dana). Dia berumur setahun di atasku. Sekolahnya bagus, jabatannya bagus. Berasal dari keluarga baik-baik. Tidak, egonya tidak sebesar Dana. Dia penurut dan bertanggung jawab. Tidak tampan tidak buruk rupa. Tidak kaya tidak miskin. Baik hati. Maka keluargaku jatuh cinta dengan pria ini. Dan yang terpenting, batunya kecil.


Aku sayang pada keluargaku, maka aku menikahi pria ini. Aku ikhlas melakukannya.


Tapi cinta memang luar biasa. Jadi, ketika kidung berisi permohonan doa kepada Tuhan dipanjatkan di hari pernikahanku, tiba-tiba aku malah teringat Dana. Saat kain putih penutup kepala aku dan calon suamiku dibuka, aku teringat Dana. Saat menyawer uang receh, kunyit, beras dan kembang gula, aku teringat Dana. Sampai adegan aku dan calon suamiku saling menyuap bulatan nasi punar, aku masih teringat Dana.


Dana. Dana. Dana.


Aku tahu keputusanku sudah bulat dan aku sepenuhnya sadar melakukannya. Aku tahu pernikahan itu hanya sekali untuk selama-lamanya.


Seluruh prosesi pernikahanku bisa dibilang sama seperti orang kebanyakan. Satu hal yang bikin aku merasa beda dan super spesial:  kehadiran Dana di pernikahanku. Saat itu, begitu melihat Dana tiba dengan perempuan barunya, lalu ia dan perempuannya menyalami orang tuaku, menyalami suamiku, dan menyalamiku, dan ketika Dana mengucapkan kata selamat menempuh hidup baru padaku, aku semakin yakin keputusanku tidak salah.


Aku tersenyum pada Dana dan dia membalasnya. Entah kenapa, cukup dengan sepersekian detik itu, ketika Dana tersenyum di hari pernikahanku,  aku benar-benar tahu, kami tetap saling cinta. Kami tetap saling memiliki. 



Jakarta, 25 Maret 2013
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar