Begitulah
Yang Mulia, ia berpakaian tak senonoh dan dengan sengaja membangkitkan hasrat
anak-anak adam lainnya. Coba lihat satu lagi nih, Yang Mulia:
“Mas, aku giniin ya, Mas?” kata
Siska manja.
“Mmm.. iya enak, Sis,” jawab
seorang lelaki, “Mmm.”
“Tapi nanti tambah ya, Mas?”
“Tambah apa sih, Sis? Kan sudah...”
jawab lelaki itu.
“Cobain nih, Mas, enak. Pasti
nanti ketagihan.”
“Ceban aja ya, Sis?”
“Hahaha... Mas bercanda ah! ‘Dikit
amaaat, Mas. Udah ah ‘ndak jadi.”
“Goban deh!”
“Hmmm”
“Enak, Sis…”
“Hmmm”
“Sis… nah gitu iya, heu euh…
mmm… tapi goban, Sis…”
“Kalau goban aku giniin ya...”
“Aduh ngiluuu!” teriak sang
lelaki, “Siiiiiiiiiis!?”
Stop! Stop! Duh aku jadi merasa
salah pasang video. Keterlaluan. Tapi, ini juga barang bukti.
Bagaimana
Yang Mulia?
***
Siska memang mati bukan karena
dilempari batu atau didera seratus kali seperti para penzina lazimnya di zaman
dulu. Ada yang bilang ia mati tertabrak truk saat menyebrang jalan. Ada yang
bilang ia mati ketika menumpang mobil salah satu pelanggannya yang sedang
mabuk-mabukan. Sesungguhnya, aku tidak peduli. Masalah matinya Siska bukan jadi
fokusku kali ini. Yang jadi masalah buatku adalah, reputasiku yang serasa
diujung tanduk. Usiaku memang belum genap lima juta tahun cahaya seperti beberapa
rekanku yang lainnya. Tapi pengalamanku cukup banyak soal hitung menghitung.
Barangkali justru Yang Mulia-lah yang salah bikin perhitungan. Ya, barangkali
begitu. Barangkali dengan meninjau kembali putusan itu, kebenaran dan keadilan bisa
kembali ditegakkan. Aku tidak sanggup menanggung malu! Mau dikemanakan mukaku?
***
“Nggateli kamu Sis! Kamu
bilang aku enggak ada. Padahal aku lagi ke warung sebentar,” hardik seorang perempuan,
salah satu rekan kerja Siska.
“Cangkemmu Rin! Lah ‘kan kamu
halangan juga kemarin!” balas Siska, “Wajarlah Mas Amin bobok sama aku!”
“Ya seenggaknya ‘kan ada servis
lain, Sis. Pikir dong!”
Siska memasang wajah acuh. Ia
terlihat lelah dan tak mau ambil pusing. Ia meninggalkan ruangan sambil menggerutu
pelan, “Asu.”
“Heh, mau kemana kamu, Sis?
Ngomong apa kamu tadi, Sis? Kamu pikir nggak kedengeran?! Setan!”
Siska membalikkan badan.
Mungkin karena lelah dan kebetulan udara sedang luar biasa gerah, ia langsung
naik pitam. Lalu ia menjambak rekan kerjanya itu tanpa ragu. Adegan selanjutnya
adalah dua perempuan itu beradu di ruang tamu.
Bagaimana
Yang Mulia? Jelas perempuan ini tak tahu adat kan? Diajak adu mulut, dengan
gampangnya tersulut. Langsung main hajar, memang dasar perempuan barbar!
Yang Mulia menyuruh
ajudan-ajudannya menampilkan video rekaman lain. Video ini sengaja kubawa
sebagai bukti untuk memberatkan terdakwa Siska.
Terlihat Siska yang baru
selesai berbenah diri. Lengan atas bajunya diturunkan. Tali kutang sengaja
diperlihatkan. Ia berjalan di antara gang sempit menuju tempat para pekerja
seks komersial lainnya tinggal. Dari
ujung gang datang tiga lelaki yang ingin segera melepaskan libido seksual.
Mereka melirik Siska yang baru datang dan salah satu orang di antaranya
memanggil namanya. Siska memasang sebuah senyum di wajahnya yang memang ayu
itu. Pinggulnya digoyang-goyang, sepatu tingginya dihentak-hentakkan.
Lelaki-lelaki itu langsung menganggap Siska berhala.
Aku hapal betul sebuah pasal
yang bilang bahwa setiap lelaki yang memandang perempuan lalu menginginkannya,
sudah berzina dengan ia di dalam hatinya. Maka, jika sepasang mata menyesatkan
karena itu, cungkillah dan buanglah itu. Sungguh lebih baik membinasakan salah
satu anggota tubuh, daripada dicampakkan ke neraka.
Bayangkan Siska yang suka
memakai pakaian ketat dan berusaha memamerkan tubuhnya yang padat. Dasar biang
mudarat. Sengaja menggiring banyak lelaki masuk neraka, sudah pasti dosanya
berpuluh ribu kali lipat!
Aku kembali memperlihatkan
barang bukti lainnya. Terlihat Siska, dirangkul dua lelaki. Beberapa lelaki
duduk di kursi lainnya. Siska mengangkat tubuhnya. Satu gelas alkohol di tangan
kanannya. Ia sempoyongan, ia meninggalkan tempat duduknya dan naik ke atas
meja. Satu rekan kerjanya ikut naik dan mereka menari. Ah mereka bukan menari,
lebih tepatnya joget! Ya, dangdut koplo. Joget-joget koplo.
“Teler kamu, Sis!”
“Puter terus, Sis!!”
“Godek-godek, Sis!!”
“Oaaaalah, Sis!!!”
“Sek asek, Sis!!!!”
“Tumpaaaah, Sis!!!!!”
“Siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis!!!!!!”
Seperti jangkrik berisik di
tengah hutan, para lelaki di ruangan itu bersahut-sahutan. Seperti ular berbisa
menggelepar di rawa-rawa, para perempuan lain tertawa-tawa.
Yang Mulia mengizinkan saksi
pembela mengajukan kesaksiannya. Setelah selesai berkata-kata, sang saksi
memberikan barang bukti. Diputarkannya langsung video itu di depan khalayak
banyak. Video yang membuatku bingung, yang membuat semua dosa Siska yang
tertulis di catatanku luntur seketika dan tidak lagi diperhitungkan.
“Mas Manto lagi, Sis?” kata
perempuan dalam video itu, ia juga salah satu rekan kerja Siska.
Siska mengangguk pelan. Ia
tersenyum. Diambilnya sebatang rokok dan dihisapnya dalam-dalam. Ia menawari
rekannya namun sang rekan dengan resah menolak, “Kenapa Mbak?”
“Sis, aku ini bingung,
‘ponakanku itu loh, minta beli baju lebaran. Padahal aku udah stop ngudud tiga bulan. Serius Sis. Sepi. Apa
karena aku jarang maskeran? Apa karena lonte-lonte impor dari Banyuwangi
kemarin aku jadi nggak laku, Sis?” cerocos rekan kerja Siska. “Belum lagi Mpit
masuk tahun ajaran baru. Bosen aku kasih alasan sama gurunya,”
“Besok
Mas Manto janji ke sini,” jawab Siska sambil senyum-senyum saja. Diambilnya uang seratus ribuan tiga lembar dari kutang totol macan kesayangannya.
“Hah? Lagi, Sis? Yang kemarin aja aku enggak pernah lunas. Nggak mau ah! Ogah!”
Siska meraih tangan rekan kerjanya dan menyisipkan uang ke jemarinya.
Siska meraih tangan rekan kerjanya dan menyisipkan uang ke jemarinya.
“Ah nggak mau, Sis!”
Siska berkeras tanpa sepatah katapun.
Perempuan rekan kerja Siska itu
merasa ragu. Ditatapnya lekat-lekat uang di tangannya. Penuh nelangsa, malu dan rasa mengiba.
“Waduh si Mbak ini! Jangan kuatir Mbak. Mas Manto kalau ngamar
suka kasih uang banyak. Apalagi jaman pilpres gini, Mbak!” jawab Siska sambil
tergelak.
“Edan kamu, Sis...” si rekan kerja akhirnya menerima, "bosen aku."
"Bosen kenapa, Mbak?"
"Ngutang sama kamu, aku bosen." Selanjutnya, perempuan itu memanjatkan ucapan terima kasih kepada Siska bertubi-tubi.
"Bosen kenapa, Mbak?"
"Ngutang sama kamu, aku bosen." Selanjutnya, perempuan itu memanjatkan ucapan terima kasih kepada Siska bertubi-tubi.
***
Beberapa rekan seprofesiku, yang
tergolong senior-senior kawakan, menepuk-nepuk pundakku setelah sidang usai.
Mereka berkata-kata dan mencoba membesarkan hatiku.
“Sudahlah sobat, hanya Yang Mulia yang tahu
benar dan salah. Sungguh hanya Yang Mulia.”
“Hmm… kamu sudah dengar kisah
Magdalena yang diampuni berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu ‘kan?”
“Oh dulu ada juga yang
dibebaskan hanya karena memberi minum seekor anjing di gurun pasir.”
“Mereka saja yang terbuat dari
tanah tidak bisa sembarangan menentukan benar salah, apalagi kita yang
muasalnya dari cahaya?”
“Ya, padahal mereka yang
terbuat dari tanah lebih tinggi derajatnya daripada kita.”
“Sudah nurut saja, terima saja.
Tidak mungkin Yang Mulia salah hitung.”
“Iya. Tidak mungkin. Hanya Yang
Mulia.”
“Ya, hanya Yang Mulia yang punya
kalkulator paling akurat.”
“Ya, hanya Yang Mulia.”
Semua bersahut-sahutan
menambahkan.
Huh. Kalau sudah senior-seniorku
yang bilang begitu apaboleh buat. Melawannya aku pasti tidak akan kuat. Aku
membaca seluruh buku catatanku. Membacanya berulang-ulang. Aku masih bingung.
Bagaimana bisa Yang Mulia membuat perhitungan semacam itu? Sungguh aku bingung.
Putusan Yang Mulia membuatku bingung. Benarkah bisa panas setahun terhapus
hujan satu hari?
Dan benar saja, Siska akhirnya
digadang-gadang ke arah surga. Perempuan itu dinyatakan bebas tanpa syarat. Keputusan
sudah dibuat dan semua sepakat. Huh. Ya sudahlah. Yang Mulia sudah terlanjur
mengetuk palu, dan aku… biar sajalah aku sendiri yang menanggung bingung dan
malu!
Bogor, Agustus 2014