21 Okt 2014

Malu

Begitulah Yang Mulia, ia berpakaian tak senonoh dan dengan sengaja membangkitkan hasrat anak-anak adam lainnya. Coba lihat satu lagi nih, Yang Mulia:

“Mas, aku giniin ya, Mas?” kata Siska manja.

“Mmm.. iya enak, Sis,” jawab seorang lelaki, “Mmm.”

“Tapi nanti tambah ya, Mas?”

“Tambah apa sih, Sis? Kan sudah...” jawab lelaki itu.

“Cobain nih, Mas, enak. Pasti nanti ketagihan.”

Ceban aja ya, Sis?”

“Hahaha... Mas bercanda ah! ‘Dikit amaaat, Mas. Udah ah ‘ndak jadi.”

Goban deh!”

“Hmmm”

“Enak, Sis…”

“Hmmm”

“Sis… nah gitu iya, heu euh… mmm… tapi goban, Sis…”

“Kalau goban aku giniin ya...”

“Aduh ngiluuu!” teriak sang lelaki, “Siiiiiiiiiis!?”

Stop! Stop! Duh aku jadi merasa salah pasang video. Keterlaluan. Tapi, ini juga barang bukti.

Bagaimana Yang Mulia?

***

Siska memang mati bukan karena dilempari batu atau didera seratus kali seperti para penzina lazimnya di zaman dulu. Ada yang bilang ia mati tertabrak truk saat menyebrang jalan. Ada yang bilang ia mati ketika menumpang mobil salah satu pelanggannya yang sedang mabuk-mabukan. Sesungguhnya, aku tidak peduli. Masalah matinya Siska bukan jadi fokusku kali ini. Yang jadi masalah buatku adalah, reputasiku yang serasa diujung tanduk. Usiaku memang belum genap lima juta tahun cahaya seperti beberapa rekanku yang lainnya. Tapi pengalamanku cukup banyak soal hitung menghitung. Barangkali justru Yang Mulia-lah yang salah bikin perhitungan. Ya, barangkali begitu. Barangkali dengan meninjau kembali  putusan itu, kebenaran dan keadilan bisa kembali ditegakkan. Aku tidak sanggup menanggung malu! Mau dikemanakan mukaku?

***

“Nggateli kamu Sis! Kamu bilang aku enggak ada. Padahal aku lagi ke warung sebentar,” hardik seorang perempuan, salah satu rekan kerja Siska.

“Cangkemmu Rin! Lah ‘kan kamu halangan juga kemarin!” balas Siska, “Wajarlah Mas Amin bobok sama aku!”

“Ya seenggaknya ‘kan ada servis lain, Sis. Pikir dong!”

Siska memasang wajah acuh. Ia terlihat lelah dan tak mau ambil pusing. Ia meninggalkan ruangan sambil menggerutu pelan, “Asu.”

“Heh, mau kemana kamu, Sis? Ngomong apa kamu tadi, Sis? Kamu pikir nggak kedengeran?! Setan!”

Siska membalikkan badan. Mungkin karena lelah dan kebetulan udara sedang luar biasa gerah, ia langsung naik pitam. Lalu ia menjambak rekan kerjanya itu tanpa ragu. Adegan selanjutnya adalah dua perempuan itu beradu di ruang tamu.

Bagaimana Yang Mulia? Jelas perempuan ini tak tahu adat kan? Diajak adu mulut, dengan gampangnya tersulut. Langsung main hajar, memang dasar perempuan barbar!


Yang Mulia menyuruh ajudan-ajudannya menampilkan video rekaman lain. Video ini sengaja kubawa sebagai bukti untuk memberatkan terdakwa Siska.

Terlihat Siska yang baru selesai berbenah diri. Lengan atas bajunya diturunkan. Tali kutang sengaja diperlihatkan. Ia berjalan di antara gang sempit menuju tempat para pekerja seks komersial lainnya tinggal.  Dari ujung gang datang tiga lelaki yang ingin segera melepaskan libido seksual. Mereka melirik Siska yang baru datang dan salah satu orang di antaranya memanggil namanya. Siska memasang sebuah senyum di wajahnya yang memang ayu itu. Pinggulnya digoyang-goyang, sepatu tingginya dihentak-hentakkan. Lelaki-lelaki itu langsung menganggap Siska berhala.

Aku hapal betul sebuah pasal yang bilang bahwa setiap lelaki yang memandang perempuan lalu menginginkannya, sudah berzina dengan ia di dalam hatinya. Maka, jika sepasang mata menyesatkan karena itu, cungkillah dan buanglah itu. Sungguh lebih baik membinasakan salah satu anggota tubuh, daripada dicampakkan ke neraka.

Bayangkan Siska yang suka memakai pakaian ketat dan berusaha memamerkan tubuhnya yang padat. Dasar biang mudarat. Sengaja menggiring banyak lelaki masuk neraka, sudah pasti dosanya berpuluh ribu kali lipat!

Aku kembali memperlihatkan barang bukti lainnya. Terlihat Siska, dirangkul dua lelaki. Beberapa lelaki duduk di kursi lainnya. Siska mengangkat tubuhnya. Satu gelas alkohol di tangan kanannya. Ia sempoyongan, ia meninggalkan tempat duduknya dan naik ke atas meja. Satu rekan kerjanya ikut naik dan mereka menari. Ah mereka bukan menari, lebih tepatnya joget! Ya, dangdut koplo. Joget-joget koplo.

“Teler kamu, Sis!”

“Puter terus, Sis!!”

“Godek-godek, Sis!!”

“Oaaaalah, Sis!!!”

 “Sek asek, Sis!!!!”

“Tumpaaaah, Sis!!!!!”

“Siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis!!!!!!”

Seperti jangkrik berisik di tengah hutan, para lelaki di ruangan itu bersahut-sahutan. Seperti ular berbisa menggelepar di rawa-rawa, para perempuan lain tertawa-tawa.

Yang Mulia mengizinkan saksi pembela mengajukan kesaksiannya. Setelah selesai berkata-kata, sang saksi memberikan barang bukti. Diputarkannya langsung video itu di depan khalayak banyak. Video yang membuatku bingung, yang membuat semua dosa Siska yang tertulis di catatanku luntur seketika dan tidak lagi diperhitungkan.

“Mas Manto lagi, Sis?” kata perempuan dalam video itu, ia juga salah satu rekan kerja Siska.
Siska mengangguk pelan. Ia tersenyum. Diambilnya sebatang rokok dan dihisapnya dalam-dalam. Ia menawari rekannya namun sang rekan dengan resah menolak, “Kenapa Mbak?”

“Sis, aku ini bingung, ‘ponakanku itu loh, minta beli baju lebaran. Padahal aku udah stop ngudud tiga bulan. Serius Sis. Sepi. Apa karena aku jarang maskeran? Apa karena lonte-lonte impor dari Banyuwangi kemarin aku jadi nggak laku, Sis?” cerocos rekan kerja Siska. “Belum lagi Mpit masuk tahun ajaran baru. Bosen aku kasih alasan sama gurunya,”

“Besok Mas Manto janji ke sini,” jawab Siska sambil senyum-senyum saja. Diambilnya uang seratus ribuan tiga lembar dari kutang totol macan kesayangannya.

“Hah? Lagi, Sis? Yang kemarin aja aku enggak pernah lunas. Nggak mau ah! Ogah!”

Siska meraih tangan rekan kerjanya dan menyisipkan uang ke jemarinya.

“Ah nggak mau, Sis!”

Siska berkeras tanpa sepatah katapun.

Perempuan rekan kerja Siska itu merasa ragu. Ditatapnya lekat-lekat uang di tangannya. Penuh nelangsa, malu dan rasa mengiba.

“Waduh si Mbak ini!  Jangan kuatir Mbak. Mas Manto kalau ngamar suka kasih uang banyak. Apalagi jaman pilpres gini, Mbak!” jawab Siska sambil tergelak.

“Edan kamu, Sis...” si rekan kerja akhirnya menerima, "bosen aku."

"Bosen kenapa, Mbak?"

"Ngutang sama kamu, aku bosen." Selanjutnya, perempuan itu memanjatkan ucapan terima kasih  kepada Siska bertubi-tubi.

***

Beberapa rekan seprofesiku, yang tergolong senior-senior kawakan, menepuk-nepuk pundakku setelah sidang usai. Mereka berkata-kata dan mencoba membesarkan hatiku.

“Sudahlah sobat, hanya Yang Mulia yang tahu benar dan salah. Sungguh hanya Yang Mulia.”

“Hmm… kamu sudah dengar kisah Magdalena yang diampuni berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu ‘kan?”

“Oh dulu ada juga yang dibebaskan hanya karena memberi minum seekor anjing di gurun pasir.”

“Mereka saja yang terbuat dari tanah tidak bisa sembarangan menentukan benar salah, apalagi kita yang muasalnya dari cahaya?”

“Ya, padahal mereka yang terbuat dari tanah lebih tinggi derajatnya daripada kita.”

“Sudah nurut saja, terima saja. Tidak mungkin Yang Mulia salah hitung.”

“Iya. Tidak mungkin. Hanya Yang Mulia.”

“Ya, hanya Yang Mulia yang punya kalkulator paling akurat.”

“Ya, hanya Yang Mulia.”

Semua bersahut-sahutan menambahkan.

Huh. Kalau sudah senior-seniorku yang bilang begitu apaboleh buat. Melawannya aku pasti tidak akan kuat. Aku membaca seluruh buku catatanku. Membacanya berulang-ulang. Aku masih bingung. Bagaimana bisa Yang Mulia membuat perhitungan semacam itu? Sungguh aku bingung. Putusan Yang Mulia membuatku bingung. Benarkah bisa panas setahun terhapus hujan satu hari?

Dan benar saja, Siska akhirnya digadang-gadang ke arah surga. Perempuan itu dinyatakan bebas tanpa syarat. Keputusan sudah dibuat dan semua sepakat. Huh. Ya sudahlah. Yang Mulia sudah terlanjur mengetuk palu, dan aku… biar sajalah aku sendiri yang menanggung bingung dan malu!




Bogor, Agustus 2014