Tuan dan Nyonya, aku tidak berani melihat wajah istriku. Ia
sekarang berbaring manis di sampingku. Dan biarlah ia di situ. Meski aroma
rambutnya luar biasa mewangi dan menghujat indra penciumanku. Meski aku tahu ia
membungkus tubuh rampingnya yang nampak tak terperdaya dimakan waktu dan usia
dengan gaun tidur merah mudanya. Meski kulit putih bersihnya yang mulai
bertabur kerut-kerut tipis lebih indah dari corak selimut kami yang baru. Meski
matanya yang besar sedang mengerjap-erjap karena mulutnya bercengkrama
dengan doa sebelum tidur.
Entah mengapa saat ini aku cuma
berani berbaring terbujur kaku di sebelahnya. Tanganku bersedekap di atas
perutku yang mulai bergelambir macam ibu hamil tiga bulan. Tanganku bersedekap
semacam jenazah dipersiapkan ke dalam liang lahat setelah dimandikan. Tak lupa
kututup mataku rapat-rapat, menyembunyikan iris, pupil dan korneaku yang masih
semangat bekerja.
Benar-benar malam itu aku kaku.
Aku kaku karena pura-pura tidur. Aku tak sanggup bicara padanya. Malam ini ya
tuan dan nyonya, aku takut entah mengapa.
Aku merasa, istriku mulai
bergerak-gerak pelan mendekat ke arahku. Semakin dekat ia dan berusaha merapat
padaku. Sisi sikut tangan kanannya menyentuh sisi kiri tangan kiriku yang
bersedekap mati. Oleh sebab aku takut entah mengapa, aku diam
saja pura-pura tidur.
Aku merasa, ia sekarang menoleh
ke arahku. Mungkin kalau dulu, satu sampai seratus hari pascamalam pertamaku
dengannya, aku membalas tolehan kepalanya dengan senyuman. Ingat betul dulu
kami suka saling bertukar senyum bersama. Saking kurasa cantik baik dan
sempurnanya dirinya, setiap malam rasanya ingin kufoto wajahnya atau kubuatkan
roman berjilid-jilid isinya cuma tentang betapa istimewanya istriku saat itu…
…hmm sebenarnya bukan hanya saat
itu, istimewa dan sempurnanya istriku adalah sampai detik ini adanya. Hampir
semua orang di lingkunganku, yang beberapa di antaranya adalah sarjana
atau cuma tamatan madrasah, bilang istriku hebat luar biasa. Rumah tanggaku
sempurna. Boleh dibilang begitu sempurna dan aku mengakuinya.
Selama dua puluh lima tahun
bersama, aku bisa menghitung berapa jumlah pertengkaran kami tanpa bisa
menghitung berapa jumlah hadiah dan kejutan yang saling kami tukarkan. Konon
lulusan KUA angkatan kami dan di daerah kami kualitasnya kurang terjamin, entah
mengapa, gampang bubar jalan. Kalau di sana ada perkawinan junk food- yang
enak, pula cepat saji, dan diam-diam berbahaya - atau perkawinan pamer
kemesraan lalu bubar jalan barang setahun atau lima tahun, perkawinan kami
disini, katanya, empat sehat lima sempurna. Sehat sehingga badan awet tahan
lama.
Tak sampai hati kulakukan.
Perempuan-perempuan di sini banyak yang nekat, pintar, dan menarik. Mereka suka
diam-diam menggodaku. Apalagi aku bersaku banyak dan berkantong tebal.
Untung saja aku tak kurang iman karena istriku memasok kasih tiada tara.
Luwes, wangi, penuh iman taqwa istriku itu. Tidak
banyak bicara bukan pula orang yang pendiam. Dari dulu, sesemrawut apapun warna
asap yang mengepul di dapur, masakan yang disajikan selalu mantap. Begitu pula
penampilannya, tak pernah sekalipun aku mencium bau busuk pendap di badannya.
Selain itu,
Kau harus tahu, kami ini benar-benar orang tua yang
hebat! Putri-putri kami tumbuh luar biasa mewarisi kecantikan istriku. Tak
hanya cantik, banyak gelar-gelar baik panutan masyarakat diberikan kepada
putri-putri kami karena budi pekertinya. Nurut-nurut pula mereka rupanya.
Bangga jumawa jadinya aku dan istriku itu.
Katanya, aku manusia beruntung. Katanya, aku dan
istriku harusnya membikin buku pedoman berumah tangga menggantikan alkitab
hukum-hukum pernikahan- saking teladan dan bagusnya pernikahan kami.
Sebenarnya, akhir-akhir ini aku memikirkannya, bahwa
apa yang kualami ini, sangat tak wajar. Sangat ganjil dan terlalu berbeda
dari kebiasaan. Ini gila dan janggal. Dan malam ini adalah puncaknya.
Kejanggalan ini-kesempurnaan ini malah membuatku jadi takut. Pernahkah kau
memikirkannya? Aneh bukan? Aku takut! Aku takut pada pernikahan kami. Dan
ketakutanku sepertinya diawali dari beberapa malam belakangan ini dengan takutnya
aku pada istriku. Sehingga aku jadi malas..ah bukan malas…tapi benar-benar tak
sanggup berbicara padanya. Jangan bilang aku sakit jiwa, ini adalah jujur apa
yang kurasakan. Karena pernikahan tuan dan nyonya sekalian, tak sesempurna
pernikahanku, maka tentu saja kau tak mengalaminya kan? Maksudku, mengalami
ketakutanku ini…betul kan?
Aku, sekali lagi, takut pada
istriku sendiri.
Saat ini aku merasa, istriku
menoleh ke arahku. Aku masih pura-pura tidur dan memejamkan mata dengan khidmat
sambil berusaha memasang napas teratur. Pokoknya kalau kau ada di sana, kau
pasti yakin aku sebenarnya sedang tidur.
Kemudian,
Istriku mendekatkan wajahnya ke
samping wajahku. Aku bisa merasakan helaan napasnya, yang semakin membuatku
takut. Aku masih pura-pura tidur.
Sebenarnya sih, aku ingin
langsung tidur saja. Tapi aku tetap terjaga.
Tidur…tidur…tidur…kataku dalam
hati.
Dan salah satu tantangannya
adalah air ludah yang dengan anehnya berkumpul di mulutku yang tertutup rapat
lalu membuatku semakin gelisah. Ketika aku justru semakin memikirkan untuk
‘harus tidur’, air ludah dalam mulutku ini malah semakin banyak dan minta
dimuntahkan.
Meski mulut ini penuh ludah, aku
berusaha tidak menelan ludah, karena kalau itu terjadi, istriku bisa tahu,
bahwa aku belum tidur. Aku ngeri suara ludahku yang tertelan membuat ia sadar
bahwa aku masih terjaga. Kemudian, aku benar-benar kehabisan akal, lalu kembali
berdoa dalam hati.
Tuhan..izinkan
aku..tidur..tidur...tidur…
Sambil menunggu doaku dikabulkan,
aku mencari cara lain untuk menghilangkan ludah di mulutku. Sebuah ide
sederhana terlintas, aku membuka mulutku sedikit membentuk celah kecil.
Sehingga air ludah atau liur yang memenuhi mulutku keluar sedikit demi sedikit
keluar dari celah kecil itu.
Sejak dua puluh lima tahun usia
pernikahan ini, aku paham betul kebiasaan istriku sebelum tidur, yang tidak
lain tidak bukan adalah terjaga sebelum aku tertidur! Ia kerap kali
memperhatikan wajahku sebelum tertidur! Hal ini baru kusadari sungguh
menakutkan! Saat udara bergerak dari desahan napas istriku, yang kemudian
menyentuh pipiku, aku tahu, istriku pasti sedang menatap ke arahku..seperti
biasanya. Ia mengamatiku.
Adalah perhatian yang seperti
itu, bahkan sebelum tidur yang belakangan ini menjadi pertanyaanku. Wajarkah
ia? Apakah bentuk kesempurnaan dan kesungguhan cinta harus seperti ini?
Kalau memang cinta harus seperti ini, bagiku sungguh menakutkan!
Dan untuk menyembunyikan
ketakutan akutku yang mulai terakumulasi akhir-akhir ini, maka keputusanku
adalah tidur secepatnya, tanpa harus berinteraksi dengan istriku.Tapi dasar sial malam ini, aku sama
sekali kesusahan untuk tidur. Sekalipun bergumam dalam hati
tidur…tidur…tidur…tapi semakin aku memohon pada tubuhku sendiri untuk segera
tidur, semakin tak terkontrolah indra-indra tubuhku ini. Jantungku malah serasa
berdebar keras karena air ludah yang terkumpul memenuhi mulutku tanpa sengaja
kutelan. Menimbulkan bunyi samar-samar yang pasti tertangkap oleh sempurnanya
pendengaran istriku. Jakun bergerak naik turun. Istriku nampaknya sadar. Ia
bangkit dari tempat tidur.
Aku lebih takut bercengkrama sebelum tidur dengan
dirinya. Maka sengaja aku tetap memejamkan mataku berpura-pura tidur.
Meski aku yakin istriku tidak bodoh, sepertinya ia sadar kalau aku hanya
pura-pura tidur, buktinya ia tiba-tiba bertanya,
“Aku akan ambil segelas air, apa kau haus?”
Aku masih pura-pura tidur dan diam membisu.
“Nggak apa-apa, aku memang agak haus. Aku sama sekali
nggak repot kok ngambil air,”
Mungkin karena saking sempurnanya pikirannya, sehingga
masih bersikeras bahwa aku belum tidur. Aku tetap diam dan melanjutkan
kepura-puraanku.
“Atau mau kubuatkan teh hangat?”
Aku diam seperti bangkai ikan.
Istriku diam. Masih berdiri di
samping ranjang tidur kami. Selama sekitar tujuh menit, ia tidak beranjak dari sana. Kemudian kudengar
suara langkah, ia pun meninggalkan kamar kami. Begitu kurasakan suara
langkahnya mulai menghilang dan jauh, aku membuka mataku, mulutku dan
megap-megap. Aku menghela napas panjang sekali. Lelah berpura-pura itu
nyata. Sampai ketika kudengar ada suara langkah yang berangsur-angsur
membesar. Kurasa itu istriku datang! Aku kembali ke posisiku semula menutup
rapat mulut.
“Aku bikin teh, kuletakkan
disamping meja ya.”
Ia kembali rebahan di sampingku. Dengan
menakutkannya ia menggeser badannya supaya lebih dekat denganku. Aku masih
menutup mataku. Satu-satunya harapanku sekarang adalah, ia jatuh tertidur. Namun belum lama
berbaring, ia bangkit dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Kudengar pintu
ditutup, keran air dinyalakan. Ia mencuci muka. Mencuci lama sekali.
Aku masih menutup mataku. Aku
pegal sekali. Keinginan untuk menggeser dan menggerakkan tubuhku urung saat
tiba-tiba ia membuka pintu kamar mandi. Air keran masih mengalir. Ia mendekat
ke tempatku berbaring. Kudengar isakan kecil. Apa ia menangis? Aku malah
semakin takut dan tak kuasa membuka mata.
“Maaf..,” ia bersuara.
Aku masih menutup mata bungkam
tigaribu bahasa.
“Maaf..,” ia mengulanginya. Ia
semakin tersedu-sedu.
Sedikitpun tak ada rasa iba dalam
diriku. Permintaan maafnya meresahkanku.
“Maaf ..,” permintaan maafnya
lambat laun justru terdengar seperti mengutuki diri sendiri.
Gila! Meminta maaf untuk apa? Apa salahmu? Apa
salahmu?
“Maaf..,” kemudian tangisannya semakin menggila.
Aku tidak tahan. Tiba-tiba justru bayang-bayang
mengenai perpisahanku dengannya terlintas di pikiranku. Suara tangisnya malah
menjadi pengantar tidurku. Meskipun aku resah, jujur, tangisannya, membuatku
berbahagia. Aku tidak sabar berpisah dengannya. Mengakhiri ancaman
kesempurnaannya. Dan semua ini harus kuakhiri. Harus kuakhiri. Harus kuakhiri
sebelum tangisnya mereda. Sebelum kesempurnaannya terus menakut-nakutiku di
hari-hari berikutnya. Sebelum kuhabisi diriku sendiri karena rasa takutku. Maka
aku bangkit, menyudahi kepura-puraan tidurku.
Harus segera kuakhiri.
Kutatap istriku dengan segenap
nyawa. Ia memalingkan wajahnya dariku. Kuremas tanganku sendiri. Mengumpulkan
keberanianku untuk berbicara. Tunggu…aku harus menyusun kata-kata. ..tapi
tidak, haruslah sekarang kunyatakan. Keinginanku, berpisah dengannya. Ya,
berpisah dengannya! Sekarang!
Kemudian, sejumlah menit berlalu,
adalah hal yang kukatakan yang justru berjuta-juta kali lebih menakutkan dari
kesempurnaan istriku. Yang justru mengagetkanku. Aku peluk ia, mengusap
punggungnya dan berkata,
“Sudah. Semua ini dibangun bukan
dalam semalam. Aku tahu. Aku ngerti. Apa kata orang nanti. Kita sudah sejauh
ini. Ayo kita teruskan, ayo kita tidur..ayo tidur..mari tidur”
Kemudian aku menuntunnya, kembali
ke tempat tidur kami. Aku mengutuk diriku sendiri. Untuk yang sudah semilyar
lebih kali. Mungkin aku terlalu sering berpura-pura, sehingga tubuhku
mengkhianati diriku sendiri. Aku dibuat
diriku sendiri takut.
Tuan ampun, aku takut
sekali.
Bogor, 14
Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar