26 Jan 2014

Takut

Tuan dan Nyonya, aku tidak berani melihat wajah istriku. Ia sekarang berbaring manis di sampingku. Dan biarlah ia di situ. Meski aroma rambutnya luar biasa mewangi dan menghujat indra penciumanku. Meski aku tahu ia membungkus tubuh rampingnya yang nampak tak terperdaya dimakan waktu dan usia dengan gaun tidur merah mudanya. Meski  kulit putih bersihnya yang mulai bertabur kerut-kerut tipis lebih indah dari corak selimut kami yang baru. Meski matanya yang besar  sedang mengerjap-erjap karena mulutnya bercengkrama dengan doa sebelum tidur.



Entah mengapa saat ini aku cuma berani berbaring terbujur kaku di sebelahnya. Tanganku bersedekap di atas perutku yang mulai bergelambir macam ibu hamil tiga bulan. Tanganku bersedekap semacam jenazah dipersiapkan ke dalam liang lahat setelah dimandikan. Tak lupa kututup mataku rapat-rapat, menyembunyikan iris, pupil dan korneaku yang masih semangat bekerja.  


Benar-benar malam itu aku kaku. Aku kaku karena pura-pura tidur. Aku tak sanggup bicara padanya. Malam ini ya tuan dan nyonya, aku takut entah mengapa.


Aku merasa, istriku mulai bergerak-gerak pelan mendekat ke arahku. Semakin dekat ia dan berusaha merapat padaku. Sisi sikut tangan kanannya menyentuh sisi kiri tangan kiriku yang bersedekap mati. Oleh sebab aku takut entah mengapa,  aku diam saja pura-pura tidur.


Aku merasa, ia sekarang menoleh ke arahku. Mungkin kalau dulu, satu sampai seratus hari pascamalam pertamaku dengannya, aku membalas tolehan kepalanya dengan senyuman. Ingat betul dulu kami suka saling bertukar senyum bersama. Saking kurasa cantik baik dan sempurnanya dirinya, setiap malam rasanya ingin kufoto wajahnya atau kubuatkan roman berjilid-jilid isinya cuma tentang betapa istimewanya istriku saat itu…


…hmm sebenarnya bukan hanya saat itu, istimewa dan sempurnanya istriku adalah sampai detik ini adanya. Hampir semua orang di lingkunganku, yang beberapa di antaranya adalah  sarjana atau cuma tamatan madrasah, bilang istriku hebat luar biasa. Rumah tanggaku sempurna. Boleh dibilang begitu sempurna dan aku mengakuinya.


Selama dua puluh lima tahun bersama, aku bisa menghitung berapa jumlah pertengkaran kami tanpa bisa menghitung berapa jumlah hadiah dan kejutan yang saling kami tukarkan. Konon lulusan KUA angkatan kami dan di daerah kami kualitasnya kurang terjamin, entah mengapa, gampang bubar jalan. Kalau di sana ada perkawinan junk food- yang enak, pula cepat saji, dan diam-diam berbahaya -  atau perkawinan pamer kemesraan lalu bubar jalan barang setahun atau lima tahun, perkawinan kami disini, katanya, empat sehat lima sempurna. Sehat sehingga badan awet tahan lama.


Tak sampai hati kulakukan. Perempuan-perempuan di sini banyak yang nekat, pintar, dan menarik. Mereka suka diam-diam menggodaku. Apalagi aku bersaku banyak dan berkantong tebal.  Untung saja aku tak kurang iman karena istriku memasok kasih tiada tara.


Luwes, wangi, penuh iman taqwa istriku itu. Tidak banyak bicara bukan pula orang yang pendiam. Dari dulu, sesemrawut apapun warna asap yang mengepul di dapur, masakan yang disajikan selalu mantap. Begitu pula penampilannya, tak pernah sekalipun aku mencium bau busuk pendap di badannya.


Selain itu,
Kau harus tahu, kami ini benar-benar orang tua yang hebat! Putri-putri kami tumbuh luar biasa mewarisi kecantikan istriku. Tak hanya cantik, banyak gelar-gelar baik panutan masyarakat diberikan kepada putri-putri kami karena budi pekertinya.  Nurut-nurut pula mereka rupanya. Bangga jumawa jadinya aku dan istriku itu.


Katanya, aku manusia beruntung. Katanya, aku dan istriku harusnya membikin buku pedoman berumah tangga menggantikan alkitab hukum-hukum pernikahan- saking teladan dan bagusnya pernikahan kami.


Sebenarnya, akhir-akhir ini aku memikirkannya, bahwa apa yang kualami ini, sangat tak wajar. Sangat ganjil dan terlalu berbeda dari kebiasaan. Ini gila dan janggal. Dan malam ini adalah puncaknya. Kejanggalan ini-kesempurnaan ini malah membuatku jadi takut. Pernahkah kau memikirkannya? Aneh bukan? Aku takut! Aku takut pada pernikahan kami. Dan ketakutanku sepertinya diawali dari beberapa malam belakangan ini dengan takutnya aku pada istriku. Sehingga aku jadi malas..ah bukan malas…tapi benar-benar tak sanggup berbicara padanya. Jangan bilang aku sakit jiwa, ini adalah jujur apa yang kurasakan. Karena pernikahan tuan dan nyonya sekalian, tak sesempurna pernikahanku, maka tentu saja kau tak mengalaminya kan? Maksudku, mengalami ketakutanku ini…betul kan?


Aku, sekali lagi, takut pada istriku sendiri.


Saat ini aku merasa, istriku menoleh ke arahku. Aku masih pura-pura tidur dan memejamkan mata dengan khidmat sambil berusaha memasang napas teratur. Pokoknya kalau kau ada di sana, kau pasti yakin aku sebenarnya sedang tidur.


Kemudian,
Istriku mendekatkan wajahnya ke samping wajahku. Aku bisa merasakan helaan napasnya, yang semakin membuatku takut. Aku masih pura-pura tidur.


Sebenarnya sih, aku ingin langsung tidur saja. Tapi aku tetap terjaga.


Tidur…tidur…tidur…kataku dalam hati.


Dan salah satu tantangannya adalah air ludah yang dengan anehnya berkumpul di mulutku yang tertutup rapat lalu membuatku semakin gelisah. Ketika aku justru semakin memikirkan untuk ‘harus tidur’, air ludah dalam mulutku ini malah semakin banyak dan minta dimuntahkan.


Meski mulut ini penuh ludah, aku berusaha tidak menelan ludah, karena kalau itu terjadi, istriku bisa tahu, bahwa aku belum tidur. Aku ngeri suara ludahku yang tertelan membuat ia sadar bahwa aku masih terjaga. Kemudian, aku benar-benar kehabisan akal, lalu kembali berdoa dalam hati.


Tuhan..izinkan aku..tidur..tidur...tidur…


Sambil menunggu doaku dikabulkan, aku mencari cara lain untuk menghilangkan ludah di mulutku. Sebuah ide sederhana terlintas, aku membuka mulutku sedikit membentuk celah kecil. Sehingga air ludah atau liur yang memenuhi mulutku keluar sedikit demi sedikit keluar dari celah kecil itu.


Sejak dua puluh lima tahun usia pernikahan ini, aku paham betul kebiasaan istriku sebelum tidur, yang tidak lain tidak bukan adalah terjaga sebelum aku tertidur! Ia kerap kali memperhatikan wajahku sebelum tertidur! Hal ini baru kusadari sungguh menakutkan! Saat udara bergerak dari desahan napas istriku, yang kemudian menyentuh pipiku, aku tahu, istriku pasti sedang menatap ke arahku..seperti biasanya. Ia mengamatiku.


Adalah perhatian yang seperti itu, bahkan sebelum tidur yang belakangan ini menjadi pertanyaanku. Wajarkah ia? Apakah bentuk kesempurnaan dan kesungguhan cinta harus seperti ini?  Kalau memang cinta harus seperti ini, bagiku sungguh menakutkan!


Dan untuk menyembunyikan ketakutan akutku yang mulai terakumulasi akhir-akhir ini, maka keputusanku adalah tidur secepatnya, tanpa harus berinteraksi dengan istriku.Tapi dasar sial malam ini, aku sama sekali kesusahan untuk tidur. Sekalipun bergumam dalam hati tidur…tidur…tidur…tapi semakin aku memohon pada tubuhku sendiri untuk segera tidur, semakin tak terkontrolah indra-indra tubuhku ini. Jantungku malah serasa berdebar keras karena air ludah yang terkumpul memenuhi mulutku tanpa sengaja kutelan. Menimbulkan bunyi samar-samar yang pasti tertangkap oleh sempurnanya pendengaran istriku. Jakun bergerak naik turun. Istriku nampaknya sadar. Ia bangkit dari tempat tidur.


Aku lebih takut bercengkrama sebelum tidur dengan dirinya. Maka sengaja aku tetap memejamkan mataku berpura-pura tidur.  Meski aku yakin istriku tidak bodoh, sepertinya ia sadar kalau aku hanya pura-pura tidur, buktinya ia tiba-tiba bertanya,


“Aku akan ambil segelas air, apa kau haus?”


Aku masih pura-pura tidur dan diam membisu.


“Nggak apa-apa, aku memang agak haus. Aku sama sekali nggak repot kok ngambil air,”


Mungkin karena saking sempurnanya pikirannya, sehingga masih bersikeras bahwa aku belum tidur. Aku tetap diam dan melanjutkan kepura-puraanku.


“Atau mau kubuatkan teh hangat?”


Aku diam seperti bangkai ikan.
Istriku diam. Masih berdiri di samping ranjang tidur kami. Selama sekitar tujuh menit, ia tidak  beranjak dari sana. Kemudian kudengar suara langkah, ia pun meninggalkan kamar kami. Begitu kurasakan suara langkahnya mulai menghilang dan jauh, aku membuka mataku, mulutku dan megap-megap. Aku menghela napas panjang sekali. Lelah berpura-pura itu nyata.  Sampai ketika kudengar ada suara langkah yang berangsur-angsur membesar. Kurasa itu istriku datang! Aku kembali ke posisiku semula menutup rapat mulut.


“Aku bikin teh, kuletakkan disamping meja ya.”


 Ia kembali rebahan di sampingku. Dengan menakutkannya ia menggeser badannya supaya lebih dekat denganku. Aku masih menutup mataku. Satu-satunya harapanku sekarang adalah, ia jatuh tertidur. Namun belum lama berbaring, ia bangkit dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Kudengar pintu ditutup, keran air dinyalakan. Ia mencuci muka. Mencuci lama sekali.


Aku masih menutup mataku. Aku pegal sekali. Keinginan untuk menggeser dan menggerakkan tubuhku urung saat tiba-tiba ia membuka pintu kamar mandi. Air keran masih mengalir. Ia mendekat ke tempatku berbaring. Kudengar isakan kecil. Apa ia menangis? Aku malah semakin takut dan tak kuasa membuka mata.


“Maaf..,” ia bersuara.
Aku masih menutup mata bungkam tigaribu bahasa.

“Maaf..,” ia mengulanginya. Ia semakin tersedu-sedu.

Sedikitpun tak ada rasa iba dalam diriku. Permintaan maafnya meresahkanku.

“Maaf ..,” permintaan maafnya lambat laun justru terdengar seperti mengutuki diri sendiri.

Gila! Meminta maaf untuk apa? Apa salahmu? Apa salahmu?

“Maaf..,” kemudian tangisannya semakin menggila.


Aku tidak tahan. Tiba-tiba justru bayang-bayang mengenai perpisahanku dengannya terlintas di pikiranku. Suara tangisnya malah menjadi pengantar tidurku. Meskipun aku resah, jujur, tangisannya, membuatku berbahagia. Aku tidak sabar berpisah dengannya. Mengakhiri ancaman kesempurnaannya. Dan semua ini harus kuakhiri. Harus kuakhiri. Harus kuakhiri sebelum tangisnya mereda. Sebelum kesempurnaannya terus menakut-nakutiku di hari-hari berikutnya. Sebelum kuhabisi diriku sendiri karena rasa takutku. Maka aku bangkit, menyudahi kepura-puraan tidurku.


Harus segera kuakhiri.


Kutatap istriku dengan segenap nyawa. Ia memalingkan wajahnya dariku. Kuremas tanganku sendiri. Mengumpulkan keberanianku untuk berbicara. Tunggu…aku harus menyusun kata-kata. ..tapi tidak, haruslah sekarang kunyatakan. Keinginanku, berpisah dengannya. Ya, berpisah dengannya! Sekarang!


Kemudian, sejumlah menit berlalu, adalah hal yang kukatakan yang justru berjuta-juta kali lebih menakutkan dari  kesempurnaan istriku. Yang justru mengagetkanku. Aku peluk ia, mengusap punggungnya dan berkata,


“Sudah. Semua ini dibangun bukan dalam semalam. Aku tahu. Aku ngerti. Apa kata orang nanti. Kita sudah sejauh ini. Ayo kita teruskan, ayo kita tidur..ayo tidur..mari tidur”


Kemudian aku menuntunnya, kembali ke tempat tidur kami. Aku mengutuk diriku sendiri. Untuk yang sudah semilyar lebih kali. Mungkin aku terlalu sering berpura-pura, sehingga tubuhku mengkhianati diriku sendiri. Aku dibuat diriku sendiri takut.

Tuan ampun, aku takut sekali. 





Bogor, 14 Mei 2012.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar