26 Jan 2014

Tasbih Rosario



Malam belum memikat. Bahkan bagi saya tidak akan pernah, memikat, lagi. 


Si perempuan berblazer abu-abu di depan saya berbisik-bisik lalu cekikikan dengan temannya yang nyaris berwujud serupa. Rok mereka pendek. Kulit betis, lutut dan kaki mereka tertutup stocking hitam. Saya tak rela bilang mereka cantik, bahkan saya curiga, dibalik stocking, mereka menutupi burik. Menyamarkan noda borok seperti kebanyakan orang di dunia saya ini, yang menimbun kejelekan diri di gudang bawah tanah rumah sendiri. 


Sebelahnya pria muda seumur saya sibuk bercinta dengan ponselnya. Tidak menghiraukan anak kecil yang sedari tadi terlihat gelisah dan tidak bisa diam disampingnya. Kereta malam itu tidak sesesak jam-jam sesudah magrib, selepas bubaran kantor. Tidak ada yang berdiri, tapi semua bangku terisi penuh. 


Di seberangnya, saya duduk menghormati diri sendiri yang seharian bekerja, dan enam hari kemarinnya bekerja. Saya waspada kalau-kalau ada ibu-ibu naik kereta, menggendong balita, atau nenek-nenek mengiba meminta duduk.


Saya benci mereka menatap saya yang muda. Yang lelaki pula. Yang rapih dengan kemeja pas dibadan. Dipadu dengan tas kulit jinjing berisi buku elektronik kecil. Yang masih mengenakan tanda pengenal. Dan dasi yang sudah sudah dilonggarkan.


Benar saja, ibu-ibu berkerudung dari stasiun persinggahan naik ke gerbong yang sedang saya hinggapi. Sengaja datang mendekat ke depan saya.


Wanita berkerudung setengah baya dengan lengan baju seperempat, datang kearah saya sengaja berdiri merapat. Wanita itu menatap saya mengiba.


Mereka, para penumpang lain sekejab menatap saya sedemikian cermat. Mengamati saya. Setiap pasang mata bergantian memaki dan melotot ke arah saya, “Sana kamu saja yang kasih dia duduk!”, “Kamu kan muda!”, “Kamu terpelajar kan!,” “Kamu beragama kan!,” “Kamu lelaki kan!”, “Lihat dasimu!”


“Kasih dia duduk!” paksa dan serang belasan pasang mata di gerbong itu.


Baiklah kalian orang-orang gila.


Maka saya pun akhirnya berdiri. Dengan sangat berat hati. Wanita berkerudung itu tersenyum menjijikkan. Saya balas dengan memerintahkan seluruh otot wajah saya, untuk tersenyum tidak ikhlas. Kaki pun langsung terasa pegal.


Tapi tak apa. Saya bakal dapat pahala. Pahala dari siapa? Heh, siapa yang tahu! Saya sudah tidak peduli hitung-hitungan pahala. Pahala yang sudah bertumpuk, menggunung, membeku, lalu mencair dan hilang di tengah samudera…dan nampaknya sia-sia. Sesia-sia saya berharap. Pada kamu dan pengertian mereka.


Mereka sudah tidak melotot lagi. Ada yang melanjutkan dengan berpura-pura tidur pula.


Berterimakasihlah kalian! 


Berkat pengorbanan saya, yang muda, lelaki dan berdasi ini, mereka masih bisa memanjakan bokong sampai stasiun tujuan. 


Saya pahlawan kalian! 


Oh ya, bagi yang duduk-duduk, tidak menyumbangkan pelototan mata, dan berpura-pura tidur, saya ucapkan terimakasih banyak. Semoga kalian tidak usah bangun lagi. Membusuk di kereta.


Saya berakhir berdiri. Bergantungan tanpa rasa. Seharusnya setelah memberi dengan cuma-cuma adalah rasa puas dan syukur meluapi diri. Menghargai diri. Tapi kenapa? Tapi kemana rasa itu? Rasa bangga setelah berpuas memberi? Saya mati rasa! Kamu tahu, saya mati rasa!


Jangan salahkan saya yang bebal dan mati rasa. Ini semua karena kamu! Dan karena mereka! 


Karena kalian!


Saya memberi sepetak tempat duduk untuk seorang anak manusia tua, dan tak merasa puas. Apa saya sudah gila? Di rapor saya waktu zaman SD, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan tidak pernah dibawah sembilan. Apa saya sudah gila?


Tidak, kalianlah yang gila.


***


Turun dari kereta, saya lihat anak-anak kecil berkejaran di lapangan dekat stasiun. Mereka tampak riang meski hari telah lanjut usia. Tawa mereka, bagi saya, bukan apa-apa lagi. Tidak semenyentuh hati seperti dulu lagi.


Saya sengaja turun di stasiun itu, dan tidak peduli lagi. Beberapa menit kemudian, datang kereta dari jurusan yang berbeda. Saya tidak tahu itu kemana, saya naik saja. 


Di dalam gerbong kereta, saya tidak lagi mencari-cari ekor mata untuk bertukar senyum seperti dulu. Sok-sok-an beramah tamah seperti kebiasaan saya dulu. Untuk ramah dengan mereka di gerbong-gerbong itu.


Keramahan kalian palsu! 


Seperti dulu, di bulan-bulan, ketika doa saya tak pernah putus dipanjatkan oleh diri.


Saya menghindari raut wajah. Atau mencari-cari cerita dibalik berbagai macam bentuk bibir. Tak lagi saya amati setiap penumpang yang diam atau bercoletah panjang. Saya tak lagi menebak-nebak usia, dan apa saja yang mereka lalui di hari tersebut. Yang saya tatap adalah tangan milik sendiri. Sambil menunduk. Menahan diri dengan dada yang semakin sesak dan penuh. Perut yang seperti ditusuk.


Ditusuk oleh kekangan kalian.


Malam semakin sendu. Tapi mereka lalu lalang tak pernah lekang. Saya berjalan sempoyongan. Kemana lagi setelah ini? Kemana, hah? 


Mereka baru pulang bekerja. Masih mengenakan tanda pengenal di dada. Lelaki dan perempuan bercampur tawa bersama. Meski udara mulai dingin, tapi suara canda mereka hangat.


Hangat seperti ketika dulu disuatu sore kamu bilang saya aneh. Aneh saat saya bilang tak pernah mudik ke kampung halaman demi merayakan lebaran bersama keluarga. Saya iyakan saat itu juga kalau saya memang aneh. Aneh karena saya suka semua koleksi kalung salib mu. Saya bertanya tentang bentuknya. Sengajakah kamu gantung di dadamu? Kamu menjawab, sengaja, untuk melindungi diri. Melindungi dari apa? Dari dosa jawabmu.


Melindungi diri dari dosa kalian. 


Kereta berhenti. Stasiun terakhir dan semua turun. Saya terbawa arus. Mereka tampak tergesa-gesa keluar dari kereta. Saya terseret masa dan turun. 


Menjejakkan kaki di peron, lantainya yang berdebu. Saya duduk di bangku malam itu. Menunggu semua hadirin stasiun menghilang di balik pintu keluar.


Apa bedanya tasbihmu dengan tasbih Rosario ku? Mengapa tidak pernah kau pakai? Tanyamu saat itu. Saya bilang, tidak, karena saya tidak mau riya. Saya punya ruas-ruas jari, jawab saya asal. Berapa jumlah butir dalam tasbihmu? Tanyamu. Tiga puluh tiga. Saya jawab. Diputar tiga kali. Supaya jadi sembilan puluh sembilan.


Untuk apa harus sembilan puluh sembilan? Tanyamu lagi. Saya jawab tidak tahu, dan tidak peduli untuk mencari tahu. Saat itu kamu tertawa. Kamu bilang baguslah tidak peduli. Jangan peduli apapun kecuali aku, katamu. Saya mengangguk, dan buru-buru mencuri bibirmu.


Sama, katamu saat itu. Satu kali putaran dan lima kali perhentian, katamu lagi. 


Apa maksudmu? Saya bertanya.


Kamu tidak akan tahu dan tidak akan peduli. Sama seperti aku yang tidak mau peduli lagi, katamu.


Itukah caramu berdoa? Saya bertanya lagi.


Kamu semula diam tidak menjawab. Mendaras senyuman sebentar dan menjawab, bukan. Itu bukan caraku berdoa, itu cara mereka.


Ya , semua itu cara kalian. Bukan cara kami.
Semua itu aturan kalian. Untuk kalian sendiri. Kami bukan kalian.


***


Saya tidak tahu berapa lama saya duduk disitu. Sepi sudah peron stasiun. Saya memutuskan berhenti mendengar rekaman percakapan kita di kepala. Semua telah lalu dan malam sudah sangat larut. Mereka sudah berpulang kerumah masing-masing. Dengan gontai saya turun menyusuri rel kereta. 


Saya duduk di samping rel, mencabuti ilalang. Dan berdoa dengan ruas jari. 

Saya lelah dengan semua yang terkenang. Saya muak dengan rekaman percakapan masa lampau yang terus berputar di ingatan. Berdoa sekali lagi dengan ruas jari. Meminta rindu ini dihabiskan dan diganti dengan mati. Saya memaki dan meminta kepadanya juru langit, dengan sepenuh hati. 


Dibutakan rindu, karena tak lagi bisa bertemu, dengan si perempuan pemanjat doa Rosario.


Selamat tinggal wahai kalian pencipta aturan bohong! Selamat tinggal!


Saya berjanji tidak akan melihat mereka lagi.


Seketika suara kereta beradu dengan bisikkan hati. Menguatkan keinginan mati. 


Tapi adzan subuh yang berkumandang mengurungkan sebuah niatan. Lagi-lagi doa saya tidak dikabulkan.




Jakarta, 12 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar