Malam
belum memikat. Bahkan bagi saya tidak akan pernah, memikat, lagi.
Si
perempuan berblazer abu-abu di depan saya berbisik-bisik lalu cekikikan dengan
temannya yang nyaris berwujud serupa. Rok mereka pendek. Kulit betis, lutut dan
kaki mereka tertutup stocking hitam. Saya tak rela bilang mereka cantik, bahkan
saya curiga, dibalik stocking, mereka menutupi burik. Menyamarkan noda borok seperti
kebanyakan orang di dunia saya ini, yang menimbun kejelekan diri di gudang
bawah tanah rumah sendiri.
Sebelahnya
pria muda seumur saya sibuk bercinta dengan ponselnya. Tidak menghiraukan anak
kecil yang sedari tadi terlihat gelisah dan tidak bisa diam disampingnya.
Kereta malam itu tidak sesesak jam-jam sesudah magrib, selepas bubaran kantor.
Tidak ada yang berdiri, tapi semua bangku terisi penuh.
Di
seberangnya, saya duduk menghormati diri sendiri yang seharian bekerja, dan
enam hari kemarinnya bekerja. Saya waspada kalau-kalau ada ibu-ibu naik kereta,
menggendong balita, atau nenek-nenek mengiba meminta duduk.
Saya
benci mereka menatap saya yang muda. Yang lelaki pula. Yang rapih dengan kemeja
pas dibadan. Dipadu dengan tas kulit jinjing berisi buku elektronik kecil. Yang
masih mengenakan tanda pengenal. Dan dasi yang sudah sudah dilonggarkan.
Benar
saja, ibu-ibu berkerudung dari stasiun persinggahan naik ke gerbong yang sedang
saya hinggapi. Sengaja datang mendekat ke depan saya.
Wanita
berkerudung setengah baya dengan lengan baju seperempat, datang kearah saya
sengaja berdiri merapat. Wanita itu menatap saya mengiba.
Mereka,
para penumpang lain sekejab menatap saya sedemikian cermat. Mengamati saya.
Setiap pasang mata bergantian memaki dan melotot ke arah saya, “Sana kamu saja
yang kasih dia duduk!”, “Kamu kan muda!”, “Kamu terpelajar kan!,” “Kamu
beragama kan!,” “Kamu lelaki kan!”, “Lihat dasimu!”
“Kasih
dia duduk!” paksa dan serang belasan pasang mata di gerbong itu.
Baiklah
kalian orang-orang gila.
Maka
saya pun akhirnya berdiri. Dengan sangat berat hati. Wanita berkerudung itu
tersenyum menjijikkan. Saya balas dengan memerintahkan seluruh otot wajah saya,
untuk tersenyum tidak ikhlas. Kaki pun langsung terasa pegal.
Tapi
tak apa. Saya bakal dapat pahala. Pahala dari siapa? Heh, siapa yang tahu! Saya
sudah tidak peduli hitung-hitungan pahala. Pahala yang sudah bertumpuk,
menggunung, membeku, lalu mencair dan hilang di tengah samudera…dan nampaknya
sia-sia. Sesia-sia saya berharap. Pada kamu dan pengertian mereka.
Mereka
sudah tidak melotot lagi. Ada yang melanjutkan dengan berpura-pura tidur pula.
Berterimakasihlah
kalian!
Berkat
pengorbanan saya, yang muda, lelaki dan berdasi ini, mereka masih bisa
memanjakan bokong sampai stasiun tujuan.
Saya
pahlawan kalian!
Oh
ya, bagi yang duduk-duduk, tidak menyumbangkan pelototan mata, dan berpura-pura
tidur, saya ucapkan terimakasih banyak. Semoga kalian tidak usah bangun lagi.
Membusuk di kereta.
Saya
berakhir berdiri. Bergantungan tanpa rasa. Seharusnya setelah memberi dengan
cuma-cuma adalah rasa puas dan syukur meluapi diri. Menghargai diri. Tapi
kenapa? Tapi kemana rasa itu? Rasa bangga setelah berpuas memberi? Saya mati
rasa! Kamu tahu, saya mati rasa!
Jangan
salahkan saya yang bebal dan mati rasa. Ini semua karena kamu! Dan karena
mereka!
Karena
kalian!
Saya
memberi sepetak tempat duduk untuk seorang anak manusia tua, dan tak merasa
puas. Apa saya sudah gila? Di rapor saya waktu zaman SD, pendidikan pancasila
dan kewarganegaraan tidak pernah dibawah sembilan. Apa saya sudah gila?
Tidak,
kalianlah yang gila.
***
Turun dari kereta, saya lihat anak-anak kecil berkejaran di lapangan dekat stasiun. Mereka tampak riang meski hari telah lanjut usia. Tawa mereka, bagi saya, bukan apa-apa lagi. Tidak semenyentuh hati seperti dulu lagi.
Saya
sengaja turun di stasiun itu, dan tidak peduli lagi. Beberapa menit kemudian,
datang kereta dari jurusan yang berbeda. Saya tidak tahu itu kemana, saya naik
saja.
Di
dalam gerbong kereta, saya tidak lagi mencari-cari ekor mata untuk bertukar
senyum seperti dulu. Sok-sok-an beramah tamah seperti kebiasaan saya dulu.
Untuk ramah dengan mereka di gerbong-gerbong itu.
Keramahan
kalian palsu!
Seperti
dulu, di bulan-bulan, ketika doa saya tak pernah putus dipanjatkan oleh diri.
Saya
menghindari raut wajah. Atau mencari-cari cerita dibalik berbagai macam bentuk
bibir. Tak lagi saya amati setiap penumpang yang diam atau bercoletah panjang.
Saya tak lagi menebak-nebak usia, dan apa saja yang mereka lalui di hari
tersebut. Yang saya tatap adalah tangan milik sendiri. Sambil menunduk. Menahan
diri dengan dada yang semakin sesak dan penuh. Perut yang seperti ditusuk.
Ditusuk
oleh kekangan kalian.
Malam
semakin sendu. Tapi mereka lalu lalang tak pernah lekang. Saya berjalan
sempoyongan. Kemana lagi setelah ini? Kemana, hah?
Mereka
baru pulang bekerja. Masih mengenakan tanda pengenal di dada. Lelaki dan
perempuan bercampur tawa bersama. Meski udara mulai dingin, tapi suara canda
mereka hangat.
Hangat
seperti ketika dulu disuatu sore kamu bilang saya aneh. Aneh saat saya bilang
tak pernah mudik ke kampung halaman demi merayakan lebaran bersama keluarga.
Saya iyakan saat itu juga kalau saya memang aneh. Aneh karena saya suka semua
koleksi kalung salib mu. Saya bertanya tentang bentuknya. Sengajakah kamu
gantung di dadamu? Kamu menjawab, sengaja, untuk melindungi diri. Melindungi
dari apa? Dari dosa jawabmu.
Melindungi
diri dari dosa kalian.
Kereta
berhenti. Stasiun terakhir dan semua turun. Saya terbawa arus. Mereka tampak
tergesa-gesa keluar dari kereta. Saya terseret masa dan turun.
Menjejakkan
kaki di peron, lantainya yang berdebu. Saya duduk di bangku malam itu. Menunggu
semua hadirin stasiun menghilang di balik pintu keluar.
Apa
bedanya tasbihmu dengan tasbih Rosario ku? Mengapa tidak pernah kau pakai?
Tanyamu saat itu. Saya bilang, tidak, karena saya tidak mau riya. Saya punya
ruas-ruas jari, jawab saya asal. Berapa jumlah butir dalam tasbihmu? Tanyamu. Tiga
puluh tiga. Saya jawab. Diputar tiga kali. Supaya jadi sembilan puluh sembilan.
Untuk
apa harus sembilan puluh sembilan? Tanyamu lagi. Saya jawab tidak tahu, dan
tidak peduli untuk mencari tahu. Saat itu kamu tertawa. Kamu bilang baguslah
tidak peduli. Jangan peduli apapun kecuali aku, katamu. Saya mengangguk, dan
buru-buru mencuri bibirmu.
Sama,
katamu saat itu. Satu kali putaran dan lima kali perhentian, katamu lagi.
Apa
maksudmu? Saya bertanya.
Kamu
tidak akan tahu dan tidak akan peduli. Sama seperti aku yang tidak mau peduli
lagi, katamu.
Itukah
caramu berdoa? Saya bertanya lagi.
Kamu
semula diam tidak menjawab. Mendaras senyuman sebentar dan menjawab, bukan. Itu
bukan caraku berdoa, itu cara mereka.
Ya
, semua itu cara kalian. Bukan cara kami.
Semua itu aturan kalian. Untuk kalian sendiri. Kami bukan kalian.
Semua itu aturan kalian. Untuk kalian sendiri. Kami bukan kalian.
***
Saya
tidak tahu berapa lama saya duduk disitu. Sepi sudah peron stasiun. Saya
memutuskan berhenti mendengar rekaman percakapan kita di kepala. Semua telah
lalu dan malam sudah sangat larut. Mereka sudah berpulang kerumah
masing-masing. Dengan gontai saya turun menyusuri rel kereta.
Saya
duduk di samping rel, mencabuti ilalang. Dan berdoa dengan ruas jari.
Saya lelah dengan semua yang terkenang. Saya muak dengan rekaman percakapan masa lampau yang terus berputar di ingatan. Berdoa sekali lagi dengan ruas jari. Meminta rindu ini dihabiskan dan diganti dengan mati. Saya memaki dan meminta kepadanya juru langit, dengan sepenuh hati.
Saya lelah dengan semua yang terkenang. Saya muak dengan rekaman percakapan masa lampau yang terus berputar di ingatan. Berdoa sekali lagi dengan ruas jari. Meminta rindu ini dihabiskan dan diganti dengan mati. Saya memaki dan meminta kepadanya juru langit, dengan sepenuh hati.
Dibutakan
rindu, karena tak lagi bisa bertemu, dengan si perempuan pemanjat doa Rosario.
Selamat
tinggal wahai kalian pencipta aturan bohong! Selamat tinggal!
Saya
berjanji tidak akan melihat mereka lagi.
Seketika
suara kereta beradu dengan bisikkan hati. Menguatkan keinginan mati.
Tapi
adzan subuh yang berkumandang mengurungkan sebuah niatan. Lagi-lagi doa saya
tidak dikabulkan.
Jakarta,
12 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar