21 Okt 2014

Malu

Begitulah Yang Mulia, ia berpakaian tak senonoh dan dengan sengaja membangkitkan hasrat anak-anak adam lainnya. Coba lihat satu lagi nih, Yang Mulia:

“Mas, aku giniin ya, Mas?” kata Siska manja.

“Mmm.. iya enak, Sis,” jawab seorang lelaki, “Mmm.”

“Tapi nanti tambah ya, Mas?”

“Tambah apa sih, Sis? Kan sudah...” jawab lelaki itu.

“Cobain nih, Mas, enak. Pasti nanti ketagihan.”

Ceban aja ya, Sis?”

“Hahaha... Mas bercanda ah! ‘Dikit amaaat, Mas. Udah ah ‘ndak jadi.”

Goban deh!”

“Hmmm”

“Enak, Sis…”

“Hmmm”

“Sis… nah gitu iya, heu euh… mmm… tapi goban, Sis…”

“Kalau goban aku giniin ya...”

“Aduh ngiluuu!” teriak sang lelaki, “Siiiiiiiiiis!?”

Stop! Stop! Duh aku jadi merasa salah pasang video. Keterlaluan. Tapi, ini juga barang bukti.

Bagaimana Yang Mulia?

***

Siska memang mati bukan karena dilempari batu atau didera seratus kali seperti para penzina lazimnya di zaman dulu. Ada yang bilang ia mati tertabrak truk saat menyebrang jalan. Ada yang bilang ia mati ketika menumpang mobil salah satu pelanggannya yang sedang mabuk-mabukan. Sesungguhnya, aku tidak peduli. Masalah matinya Siska bukan jadi fokusku kali ini. Yang jadi masalah buatku adalah, reputasiku yang serasa diujung tanduk. Usiaku memang belum genap lima juta tahun cahaya seperti beberapa rekanku yang lainnya. Tapi pengalamanku cukup banyak soal hitung menghitung. Barangkali justru Yang Mulia-lah yang salah bikin perhitungan. Ya, barangkali begitu. Barangkali dengan meninjau kembali  putusan itu, kebenaran dan keadilan bisa kembali ditegakkan. Aku tidak sanggup menanggung malu! Mau dikemanakan mukaku?

***

“Nggateli kamu Sis! Kamu bilang aku enggak ada. Padahal aku lagi ke warung sebentar,” hardik seorang perempuan, salah satu rekan kerja Siska.

“Cangkemmu Rin! Lah ‘kan kamu halangan juga kemarin!” balas Siska, “Wajarlah Mas Amin bobok sama aku!”

“Ya seenggaknya ‘kan ada servis lain, Sis. Pikir dong!”

Siska memasang wajah acuh. Ia terlihat lelah dan tak mau ambil pusing. Ia meninggalkan ruangan sambil menggerutu pelan, “Asu.”

“Heh, mau kemana kamu, Sis? Ngomong apa kamu tadi, Sis? Kamu pikir nggak kedengeran?! Setan!”

Siska membalikkan badan. Mungkin karena lelah dan kebetulan udara sedang luar biasa gerah, ia langsung naik pitam. Lalu ia menjambak rekan kerjanya itu tanpa ragu. Adegan selanjutnya adalah dua perempuan itu beradu di ruang tamu.

Bagaimana Yang Mulia? Jelas perempuan ini tak tahu adat kan? Diajak adu mulut, dengan gampangnya tersulut. Langsung main hajar, memang dasar perempuan barbar!


Yang Mulia menyuruh ajudan-ajudannya menampilkan video rekaman lain. Video ini sengaja kubawa sebagai bukti untuk memberatkan terdakwa Siska.

Terlihat Siska yang baru selesai berbenah diri. Lengan atas bajunya diturunkan. Tali kutang sengaja diperlihatkan. Ia berjalan di antara gang sempit menuju tempat para pekerja seks komersial lainnya tinggal.  Dari ujung gang datang tiga lelaki yang ingin segera melepaskan libido seksual. Mereka melirik Siska yang baru datang dan salah satu orang di antaranya memanggil namanya. Siska memasang sebuah senyum di wajahnya yang memang ayu itu. Pinggulnya digoyang-goyang, sepatu tingginya dihentak-hentakkan. Lelaki-lelaki itu langsung menganggap Siska berhala.

Aku hapal betul sebuah pasal yang bilang bahwa setiap lelaki yang memandang perempuan lalu menginginkannya, sudah berzina dengan ia di dalam hatinya. Maka, jika sepasang mata menyesatkan karena itu, cungkillah dan buanglah itu. Sungguh lebih baik membinasakan salah satu anggota tubuh, daripada dicampakkan ke neraka.

Bayangkan Siska yang suka memakai pakaian ketat dan berusaha memamerkan tubuhnya yang padat. Dasar biang mudarat. Sengaja menggiring banyak lelaki masuk neraka, sudah pasti dosanya berpuluh ribu kali lipat!

Aku kembali memperlihatkan barang bukti lainnya. Terlihat Siska, dirangkul dua lelaki. Beberapa lelaki duduk di kursi lainnya. Siska mengangkat tubuhnya. Satu gelas alkohol di tangan kanannya. Ia sempoyongan, ia meninggalkan tempat duduknya dan naik ke atas meja. Satu rekan kerjanya ikut naik dan mereka menari. Ah mereka bukan menari, lebih tepatnya joget! Ya, dangdut koplo. Joget-joget koplo.

“Teler kamu, Sis!”

“Puter terus, Sis!!”

“Godek-godek, Sis!!”

“Oaaaalah, Sis!!!”

 “Sek asek, Sis!!!!”

“Tumpaaaah, Sis!!!!!”

“Siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis!!!!!!”

Seperti jangkrik berisik di tengah hutan, para lelaki di ruangan itu bersahut-sahutan. Seperti ular berbisa menggelepar di rawa-rawa, para perempuan lain tertawa-tawa.

Yang Mulia mengizinkan saksi pembela mengajukan kesaksiannya. Setelah selesai berkata-kata, sang saksi memberikan barang bukti. Diputarkannya langsung video itu di depan khalayak banyak. Video yang membuatku bingung, yang membuat semua dosa Siska yang tertulis di catatanku luntur seketika dan tidak lagi diperhitungkan.

“Mas Manto lagi, Sis?” kata perempuan dalam video itu, ia juga salah satu rekan kerja Siska.
Siska mengangguk pelan. Ia tersenyum. Diambilnya sebatang rokok dan dihisapnya dalam-dalam. Ia menawari rekannya namun sang rekan dengan resah menolak, “Kenapa Mbak?”

“Sis, aku ini bingung, ‘ponakanku itu loh, minta beli baju lebaran. Padahal aku udah stop ngudud tiga bulan. Serius Sis. Sepi. Apa karena aku jarang maskeran? Apa karena lonte-lonte impor dari Banyuwangi kemarin aku jadi nggak laku, Sis?” cerocos rekan kerja Siska. “Belum lagi Mpit masuk tahun ajaran baru. Bosen aku kasih alasan sama gurunya,”

“Besok Mas Manto janji ke sini,” jawab Siska sambil senyum-senyum saja. Diambilnya uang seratus ribuan tiga lembar dari kutang totol macan kesayangannya.

“Hah? Lagi, Sis? Yang kemarin aja aku enggak pernah lunas. Nggak mau ah! Ogah!”

Siska meraih tangan rekan kerjanya dan menyisipkan uang ke jemarinya.

“Ah nggak mau, Sis!”

Siska berkeras tanpa sepatah katapun.

Perempuan rekan kerja Siska itu merasa ragu. Ditatapnya lekat-lekat uang di tangannya. Penuh nelangsa, malu dan rasa mengiba.

“Waduh si Mbak ini!  Jangan kuatir Mbak. Mas Manto kalau ngamar suka kasih uang banyak. Apalagi jaman pilpres gini, Mbak!” jawab Siska sambil tergelak.

“Edan kamu, Sis...” si rekan kerja akhirnya menerima, "bosen aku."

"Bosen kenapa, Mbak?"

"Ngutang sama kamu, aku bosen." Selanjutnya, perempuan itu memanjatkan ucapan terima kasih  kepada Siska bertubi-tubi.

***

Beberapa rekan seprofesiku, yang tergolong senior-senior kawakan, menepuk-nepuk pundakku setelah sidang usai. Mereka berkata-kata dan mencoba membesarkan hatiku.

“Sudahlah sobat, hanya Yang Mulia yang tahu benar dan salah. Sungguh hanya Yang Mulia.”

“Hmm… kamu sudah dengar kisah Magdalena yang diampuni berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu ‘kan?”

“Oh dulu ada juga yang dibebaskan hanya karena memberi minum seekor anjing di gurun pasir.”

“Mereka saja yang terbuat dari tanah tidak bisa sembarangan menentukan benar salah, apalagi kita yang muasalnya dari cahaya?”

“Ya, padahal mereka yang terbuat dari tanah lebih tinggi derajatnya daripada kita.”

“Sudah nurut saja, terima saja. Tidak mungkin Yang Mulia salah hitung.”

“Iya. Tidak mungkin. Hanya Yang Mulia.”

“Ya, hanya Yang Mulia yang punya kalkulator paling akurat.”

“Ya, hanya Yang Mulia.”

Semua bersahut-sahutan menambahkan.

Huh. Kalau sudah senior-seniorku yang bilang begitu apaboleh buat. Melawannya aku pasti tidak akan kuat. Aku membaca seluruh buku catatanku. Membacanya berulang-ulang. Aku masih bingung. Bagaimana bisa Yang Mulia membuat perhitungan semacam itu? Sungguh aku bingung. Putusan Yang Mulia membuatku bingung. Benarkah bisa panas setahun terhapus hujan satu hari?

Dan benar saja, Siska akhirnya digadang-gadang ke arah surga. Perempuan itu dinyatakan bebas tanpa syarat. Keputusan sudah dibuat dan semua sepakat. Huh. Ya sudahlah. Yang Mulia sudah terlanjur mengetuk palu, dan aku… biar sajalah aku sendiri yang menanggung bingung dan malu!




Bogor, Agustus 2014

28 Jul 2014

Mar

Sewaktu masih SMA, Mar adalah temanku yang paling perhatian. Tidak pernah aku diperlakukan sebegitu spesial oleh teman-teman lainnya, apalagi setiap kali aku berulang tahun. Karena setiap aku berulang tahun, Mar selalu bersusah payah meneleponku subuh-subuh. Atau membelikanku sesuatu. Padahal aku tahu uangnya tidak seberapa. Untuk beli pulsa pun ia mengaku sering lupa atau malas. Aku bahkan diam-diam tahu ia sering pergi ke sekolah tidak naik kendaraan umum. Jalan kaki empat puluh lima menit atau nyaris satu jam. Demi menghemat seribu dua ribu rupiah. Karena itu, urusan ‘belum beli pulsa’ bagiku cuma dalihnya belaka. Ditelepon Mar adalah sesuatu yang langka.

Aku ingat sekali Mar sering berbohong. Demam, flu berat, sakit datang bulan adalah beberapa di antara dalih yang dipakainya untuk berbohong. Terutama berbohong demi tidak ikut karya wisata sekolah. Atau berbohong demi tidak ikut acara nongkrong, jalan-jalan dan nonton bioskop di hari Sabtu Minggu. Kebiasaan bohongnya pun berlanjut untuk urusan perut. Ia selalu menolak kukasih jajan. Atau menolak kutraktir kalau tidak ada apapun gerangan. Katanya ia tidak lapar, ia lagi sakit perut, ia lagi diet, ia tidak suka masakan kantin sekolah.

Kadang-kadang aku mengajak Mar dan teman-temanku yang lainnya ke restoran yang cukup mahal. Biasanya, sengaja kutraktir mereka dalam rangka merayakan ulang tahunku. Dan saat itu, Mar adalah satu-satunya temanku yang paling lama memilih makanan. Kalau melihat daftar menu, Mar seperti sedang menghapalkan tabel periodik unsur kimia. Lamaaa sekali. Ia menimang-nimang makanan atau minuman apa yang sebaiknya ia pesan. Aku dan teman-teman lainnya sampai harus adu pendapat demi meyakinkan pilihan yang pas untuk Mar. Setelah hidangan disajikan pun, Mar adalah satu-satunya di antara kami yang paling cepat menghabiskan makanan. Sampai habis tak bersisa. Dan setelahnya, sering kudapati Mar menawarkan diri menghabiskan makanan teman-teman lain yang merasa sudah kekenyangan.

Ada kebiasaan lucu  lainnya yang sulit aku lupa. Adalah Mar sering membeli pisang kecil-kecil di sebuah persimpangan jalan dekat sekolah kami. Pisang-pisang itu kecil-kecil dan beberapa di antaranya sudah lepas dari batang sisirnya. Ada yang sudah menghitam, seperti hangus terbakar. Ada yang kulitnya terkoyak memperlihatkan dagingnya yang cacat. Ada yang terlanjur berlendir-lendir.

Tapi anehnya, Mar tetap membelinya dengan suka ria. Dengan uang-uangnya yang telah lama dihemat-hemat. Dan memakannya diam-diam di kantin sekolah atau di dalam kelas. Aku sering diberinya walaupun sebenarnya aku enggan memakannya. Tentu saja ia memberiku beberapa bagian yang masih bagus. Yang tanpa noda hangus. “Biar pencernaan lancar, biar langsing, biar seksi!” kata Mar suatu hari sambil tertawa.

Dan di balik sikap-sikapnya yang kadang bagiku lucu, Mar adalah temanku yang tidak pernah main-main soal belajar. Ia memang bukan siswa terpandai, tapi ia selalu patuh dan tidak pernah membangkang. Ia belajar dengan keras. Menjelang ujian tengah semester atau kenaikan kelas, kami semua mengandalkan buku catatan Mar. Ia selalu mencatat dengan rapi semua yang terpampang di papan tulis dan semua yang diucapkan guru-guru. Ia seperti kanebo kering atau spons penyerap air. Semua dicatatnya habis. “Bayar sekolah mahal-mahal, kalau enggak dicatat semua… hmm, rugi,” begitu katanya.

Seperti teman-temanku yang lainnya, kadang-kadang aku sering absen salat lima waktu. Tapi begitu menjelang ujian akhir SMA, semua menjadi sangat giat beribadah.  Mar pun begitu (tapi memang sedari dulu Mar termasuk temanku yang paling tekun beribadah), ia tidak pernah absen salat lima waktu. Malah semakin sering tepat waktu. Luar biasa. Pernah kutanya mengapa rajin sekali salatnya? Mar menjawab ringan, “Gua sayang bokap, Ta.”

Suatu siang pernah ia membawa buku pedoman salat-salat sunah, “Lo mau masuk ITB ‘kan? Mau masuk UGM ‘kan? Ha-ha-ha. Biar lancar, biar maksimal!”  Aku cuma tertawa saja melihatnya membaca buku itu. Bagiku perilakunya sungguh lucu. Tapi saat itu, sungguh aku kagum dengan usaha kerasnya.

Mar memang bukan anak yang selalu juara kelas, tapi kegigihannya membuatnya berhasil diterima di universitas terkemuka yang punya reputasi bagus. Aku dan Mar mendaftar di perguruan tinggi yang sama. Sayangnya kami harus berpisah. Mar diterima di sana, aku tidak. Meski berkuliah di tempat dan kota yang berbeda, kami kadang masih berhubungan lewat telepon atau dunia maya. Hanya satu atau dua kali dalam setahun biasanya kami berjumpa. Itu pun saat menjelang lebaran atau libur semesteran. Dan meski lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi karena sama-sama sibuk, aku selalu senang mendapat kabar darinya bahwa ia menikmati kehidupan perkuliahannya.

Lalu di tahun yang sama, kami sama-sama menapaki dunia kerja. Dan alangkah senangnya begitu kutahu bahwa kantor baru Mar berlokasi tidak jauh dari kantorku. Karena itu meski berbeda kantor, kami indekos di kawasan yang sama. Jadi, seperti dulu sewaktu SMA, kami kembali sering berhubungan, minimal seminggu sekali kami berjumpa.

Hidup Mar memang jauh lebih baik setelah ia bekerja. Usaha kerasnya berbuah manis. Ia mendapatkan jabatan yang lumayan tinggi di salah satu perusahaan ritel ibu kota. Meski begitu, sama seperti saat kami masih sekolah, Mar masih suka bercanda, taat beribadah dan tetap rendah hati. Memang ada sedikit perubahan dari penampilannya. Ia jauh lebih modis, jauh lebih terawat dan cantik. Tuntutan pekerjaan, katanya. Dan itu membuat Mar menjadi perempuan yang lebih percaya diri. Ia bergerak dengan cepat dan efisien. Bahkan dengan Manolo Blahnik (atau bahkan Louboutin!), ia bisa berjalan dengan sangat—sangat cepat! Mengalahkan aku yang seorang wartawan, yang saat itu pelanggan setia sepasang Converse kemana-mana.

Meski begitu kadang kudapati ia, sama seperti dulu, tetap rajin nonton Kick Andy dan membaca Kompas. Meski ia sekarang tidak pernah absen dari acara nongkrong selepas kerja, ia tetap sesengukan nonton Titanic, film favoritnya, untuk kesekian kalinya. Meski sekarang ia tidak pernah lama memilih menu makanan (bahkan kadang Mar-lah yang merekomendasikan tempat nongkrong dan makanan apa yang sebaiknya kami pesan), ia tetap rajin membawa mukenah (yang ia selipkan di tas Hermes atau Birkin-nya!) kemana-mana. Lucu sekali.

Mungkin karena aku dan Mar memang begitu dekat sewaktu SMA, kalau tidak sengaja aku bertemu dengan teman-teman SMA-ku, mereka selalu tidak lupa menanyakan kabar Mar. Mar selalu dipuji dan dikagumi karena kesuksesannya sekarang. “Kemarin gue lihat di Path, Mar ke Milan ya?” “Ya ampun senang dengernya, deh! Keren banget tuh anak, dulu ‘kan dia susah banget!” “Untung dia emang anak baik, jadi gue rela dia sukses. Salam yah buat Mar!” “Dari dulu emang doi rajin banget. Sepadanlah sama apa yang didapatnya sekarang. Salut buat Mar!” begitu kata teman-temanku.

Suatu hari kudapati Mar tidak masuk kerja selama tiga hari. Aku pun tahu kabar itu dari salah satu temanku yang kebetulan satu kantor dengan Mar. Temanku bilang, Mar sakit. Bingung, kutelepon Mar saat itu juga. Sayangnya Mar tidak angkat. Di malam hari kudapati pesan singkat dari Mar. Yang cukup bikin aku kaget setengah mati adalah, ia memintaku menemaninya menggugurkan kandungannya. Aku benar-benar kaget. Reaksiku adalah langsung meneleponnya lagi, tapi sayang ia tidak angkat. Aku kirim pesan singkat supaya Mar mengurungkan niatnya. Balasan cepat kilat datang, ia bilang kalau ia akan tetap melakukannya meskipun tanpa aku. Saat itu aku benar-benar tidak habis pikir. Aku panik. Sayangnya, aku memang tidak terlalu kenal dengan pacar Mar saat itu (kebetulan Mar juga tidak pernah memperkenalkannya padaku). Untungnya aku masih memiliki nomor telepon genggam si pacar. 

Aku telepon pacar Mar yang bernama Oka itu. Oka bilang ia sendiri tidak mau melakukannya. Ia sayang pada Mar dan bersedia bertanggung jawab. Aku bilang tolong bujuk Mar. Oka bilang ia akan mencobanya. Tapi, aku memang benar-benar tidak akan tenang sebelum mendengar sendiri dari mulut Mar kalau ia akan mengurungkan niatnya.

Maka, keesokan paginya, aku membolos kerja (selama satu tahun kerja aku tidak pernah bolos!). Aku datang ke kosan Mar, pintu kamarnya tidak dikunci. Kudapati Mar di dalam kegelapan meringkuk sendirian di atas tempat tidurnya. “Mar,” kataku. “Ta,” Mar membalasku lemah sambil tidak bergerak.

Aku nyalakan lampu dan kudapati wajah Mar memerah. Matanya bengkak. Kamarnya berantakan. Ia seperti habis menangis selama seribu satu malam. Kudapati di sebelah mejanya satu strip tablet putih masih terbungkus sempurna. Kubaca labelnya tertera Misoprostol. Aku tidak tahu apa-apa tapi aku curiga. Aku bilang pada Mar jangan seperti itu. Jangan begitu. Aku bahkan bilang bahwa aku berjanji akan memelihara si jabang bayi selepas ia dilahirkan. Tapi mulutku yang berbusa-busa itu selekasnya Mar bungkam. Ia memberiku dua pilihan, menemaninya melakukan itu semua atau keluar dari kamarnya. Aku juga memberinya dua pilihan, tidak melakukannya atau putus hubungan. Kami sama-sama memilih nomor dua.

Aku merasa ditipu habis-habisan. Aku merasa dikhianati. Kudapati pesan singkat dari Oka keesokan harinya bahwa Mar telah menggugurkan kandungannya. Meski Mar mengalami pendarahan hebat, Oka bilang semua akan baik-baik saja. Mar terus menghubungiku setelah itu. Tapi aku tidak sanggup membalasnya. Dan ia terus menghubungiku lewat pesan singkat maupun telepon. Aku acuh. Mar bilang semua akan baik-baik saja.

Aku tidak tahu siapa yang baik-baik saja. Mar yang solat hadjat dan tahajud supaya lulus ujian masuk dan diterima di universitas idaman. Mar yang memandang buku menu makanan terlalu lama. Mar yang membeli pisang-pisang busuk. Mar yang menelepon ayahnya hampir setiap hari. Mar yang tidak selalu juara kelas tapi selalu punya catatan lengkap. Mar yang membawa mukenah di tas Birkin-nya. Mar yang hapal jadwal Kick Andy. Mar yang tidak pernah absen meneleponku subuh-subuh setiap aku berulang tahun. Siapa yang mereka pikir baik-baik saja?

Dua hari setelah kejadian itu aku mendapat pesan dari Oka, begini kira-kira isinya, eh ternyata lo kenal Eliza? Oh dia teman kantor lo yah? Kok bisa kebetulan gitu sih? Ha-ha-ha. Salam yah!

Aku tidak membalasnya.

Aku tidak tahu siapa yang baik-baik saja. Seketika semuanya dingin. Aku menggigil. Aku gemetaran. Aku memeluk tas dan baju hangatku yang ada di pangkuanku. Apa aku harus menepati janji yang ini? Aku memeluk diriku sendiri malam itu. Aku tahu aku tidak mau ingkar janji. Aku sudah berjanji. Aku benci ingkar janji. Aku tidak pernah ingkar janji. Aku memeluk diriku sendiri. Lalu menangis. Dan kedinginan. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Telapak tanganku kemudian basah. Dan dingin sekali. Dingin. Dingin sekali. Padahal AC kereta komuter tidak menyala malam itu.



Bogor, 9 - 28 Mei 2014
 Mar! Mar! Mar!

it hurts but it maybe the only way.

4 Mei 2014

Kertas Basah

Kemarau sudah lewat. Maka kukembali supaya bisa membuat tanah lekas basah, daun-daun berbisik berisik, ibu burung gereja pulang ke sarangnya dan matahari beristirahat sebentar.

Di sepanjang musim itu, aku sering melihatmu duduk di bangku itu, menatap lekat-lekat sebuah pohon besar, yang kayunya nampak tanpa pembuluh, daun-daunnya seperti bersorak-sorak ketika tertiup angin dan akarnya menyebar di beberapa lapis tanah.

Aku sesungguhnya ingin bertanya, apa yang kau lakukan disana? Kenapa kau tak jemu-jemu duduk disitu? Apa yang kau tunggu? Apa kau tidak bosan? Atau pegal? Atau kesemutan? Mengapa kau menatap lekat-lekat pohon tua itu?

Ada cerita apa disana?

Hmm… namun sayang sepertinya kau tidak pernah mau cerita. Sayang sepertinya kau lebih suka menghimpun rahasia.

Atau mungkin aku memang tidak pernah masuk hitungan.

Ya, ya, bagimu, aku memang tidak patut diperhitungkan. Dan aku pikir mungkin begitu. Aku pikir pasti begitu. Pasti begitu.

Tapi herannya, tidak seperti yang lainnya, tiap kali aku jatuh, kau selalu tidak berusaha menghindar. Kau tahu maksudku berupaya jatuh tanpa mengagetkan. Dan lucunya, kadangkala kau berhitung pelan-pelan: satu, dua, tiga, empat, tujuh, dua puluh, empat puluh, empat puluh sembilan…  Dan kau tetap, nampak tidak berusaha menghindar.

Dan bahkan setelah genap hitunganmu mencapai seratus atau seribu, kau selalu tidak mengenyahkan diri dari situ. Kau selalu disitu. Kau seperti suka berada di situ. Kau seperti suka aku ada di situ. Kau tidak menghindari setiap tetesku.

Apa kau benar-benar mendengarku? Benarkah begitu?

Hmm, ya, ya, aku mengerti sekarang. Kau lebih suka mendengarkan. Kau jadikan cerita-ceritaku sebagai temanmu untuk menunggu. Untuk menunggu sesuatu yang aku tidak tahu.
Dan karena itu sekali lagi, aku ingin langsung bertanya padamu: sesungguhnya apa yang kau tunggu? Apa yang kau tunggu sehingga kau nampak terlalu dirundung pilu dan aku yang melihatnya ikut-ikutan ngilu?

Apa kau terlampau rindu?

Loh, lalu itu, itu kertas sketsa yang kau bawa-bawa mengapa terlihat basah? Padahal ‘kan kau belum menorehkan segaris apapun? Dan padahal, aku belum jatuh dan aku masih bersembunyi di segumpal awan mendung.

Maukah kau ceritakan, ceritakan padaku? Semua yang kau simpan. Semua yang kau kenang. Aku berjanji aku akan semakin pandai berjatuhan pelan-pelan dan aku akan bersikap lebih sopan.  Lagipula itu kan gunanya teman!

Mengapa, mengapa kau selalu begitu?

Mengapa kau selalu kembali, kembali kesitu. Duduk sepanjang hari sambil bertatapan dengan pohon tua itu. Membasahi kertas-kertas dalam buku sketsamu. Tenggelam dalam kenangan. Terlalu larut di dalam rindu.  Dan selalu, selalu begitu.

Padahal tahukah kau? Sesungguhnya pada hari-hari ketika kau tidak ada di situ, rasanya aku selalu ingin jatuh berkali-kali. Bertubi-tubi. Sambil membawa anak-anak angin dan juga kawanan petir. Meredam semua suara-suara yang ada di bumi. Membuat beberapa di antara mereka bergidik ngeri.

Tahukah kau bahwa semuanya sekedar demi menumpas sepi—demi menuntaskan duka hati—dan membasmi lelah karena selalu sendiri. Tahukah kau bahwa aku mulai bosan pada awan dan matahari, yang sering bertanya padaku: sesungguhnya siapa yang jauh lebih merindu?

Ya, ya, mereka benar juga, sesungguhnya siapa yang jauh lebih rindu?

Jauh. Lebih. Rindu.

Lebih.

Rindu.

Maka dari itu, izinkan aku mengadu. Mengadu pada kau yang pula terlampau rindu: Bahwa aku pun rindu. Rindu menjadi pendengar untuk kau yang hatinya memar.

Baiklah, kalau kau tidak mau bercerita. Setidaknya kabulkan satu permohonanku yang ini:
Aku ingin kau menengadahkan kepalamu. Melihatku sekali saja. Aku ingin kau tahu, bahwa aku tidak hanya pintar membawa petir berkali-kali dan aku tidak hanya pandai membuat langit satu rona lebih gelap. Dan hey, lihat, lihat aku ternyata bisa muncul beriringan dengan sinar matahari! Dan aku juga bisa menghapus debu-debu jalanan yang berterbangan, membuat udara setelahnya lebih bersahabat, menjadikan tanah lebih harum dari biasanya…

Oh! Ada satu lagi:

Aku ingin kau menadahkan sketsamu di bawahku. Aku ingin melihat, melihat gambar apa yang kau coba lukis disana. Dan kalau pun memang tidak ada aku disana, kalau pun memang tidak pernah ada aku di buku sketsamu, sesungguhnya—ya sesungguhnya—aku hanya ingin kertasmu basah. Aku hanya ingin kertasmu basah.

Aku ingin kertasmu basah. Kali ini bukan karena air matamu sendiri. Kali ini bukan karena air matamu lagi.


Bogor, 20 - 27 April 2014
dari dan untuk Teman Hujan


Bohong

Masih ada jejak rasa manis sisa puntung rokok di bibirnya. Para perokok memang benar-benar punya bibir yang manis. Manis sekali. Saya mengecupnya perlahan. Manis sekali.  Rasanya manis sekali. Dan mungkin ini adalah yang paling manis. Terlalu manis. Sampai saya kepayahan.

Di sana saya menemukan selembar lidah yang sedemikian legit. Saya tergenang di dalamnya. Lalu hanyut. Lalu semuanya halus. Lalu gelap, tinggi, jatuh, jauh dan perlahan. Mengambang kemudian tenggelam. Lalu terlalu tenggelam.

Sesungguhnya saya tidak berani bilang ini lembut. Lebih jauh dari itu, ini berperasaan. Hanya perempuan di depan saya ini yang punya lidah berperasaan. Lidah paling berperasaan. Berperasaan. Siapa sangka lidah bisa punya perasaan? Darimana datangnya perasaan?

Perasaan. Pe-ra-sa-an.

Jadi, siapa pencipta perasaan?*

Kemudian mata saya gelap. Dan sebagian diri saya meledak malam itu. Seperti bom waktu. Seperti kembang api di malam tahun baru. Menjadi serbuk-serbuk besi yang tertiup angin, terhirup para pejalan kaki Pantai Sanur, masuk ke rongga dada orang-orang itu, terbawa ke negeri seberang.

Sebagian diri saya yang lainnya terkubur hidup-hidup di bawah cahaya lampu remang. Di antara bulan perak yang mengambang dan ombak-ombak yang berpulang. Pasir putih di sela-sela jari kaki. Angin malam yang menghangat. Dan kami saling mencuri nafas.

Ini Titis.

Bersama Titis. Bersama bibirnya yang manis. Saya disapunya sampai habis.




***



Meski saya bilang jujur bahwa saya bertemu Titis–kawan lama saya—dan bermalam bersamanya, sebenarnya saya telah berbohong. Dan juga saya sebenarnya takut. Jadi, saya banyak menghindari mata Dana. Untung Laras rewel minta disuapi. Semuanya teralihkan. Berpusat pada Laras, saya berpura-pura sedang konsentrasi menyendok lauk pauk dan nasi. Padahal pikiran saya entah kemana. Ada rasa kecut dan takut menyelinap siang itu. Bukan pada Dana, bukan juga pada Laras. Saya tidak mau jadi pengecut. Tapi saya ini benar-benar takut.

Jauh dari Titis membuat saya sadar bahwa saya takut.

Tapi mau bagaimana?

Saya harus bagaimana?

Jadi… bagaimana?

Ba-ga-i-ma-na?

Kalau sudah kalap begini, saya harus bicara dengan seseorang. Masalahnya saya tidak punya sepeser pun keberanian untuk bicara. Masalahnya siapa di sini yang bisa diajak berbicara? Masalahnya siapa di sini yang benar-benar tahu?

Jadi bagaimana?

Saya kalap. Saya kalut dan takut. Hati saya kesemutan, pikiran saya keram. Lalu selepas menyuapi Laras, saya buru-buru mengambil air wudhu. Membasuh wajah, membasahi ubun-ubun. Lalu bersujud, lalu memohon ampun. Memanjatkan doa-doa. Masih pantaskah saya berdoa?  Dan kenapa saya harus minta ampun?

Bertanya pada diri sendiri terlalu susah. Saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Dan saya yakin tidak ada satu orang pun yang tahu jawabannya. Makanya, saya kembali, dan kembali, dan kembali dan selalu bertanya, kepada siapa yang maha tahu jawabanya: jadi bagaimana? 



***



Titis  melihat galeri foto di ponsel saya. Ia mengamati takjub. Binar matanya seperti biasa, penuh.
“Sebentar lagi lima tahun. September nanti ulang tahun,” kata saya.

Udah bisa apa dia? Hmm… cantik kayak kamu,”

Saya cuma tersenyum. Kemudian saya kembali melipat gaun pantai dan beberapa kemeja putih kesayangan saya. Menumpuknya ke dalam kopor saya. Saya beranjak, menyeruput kopi pahit yang sudah saya buat satu jam sebelumnya. Sudah dingin dan pahit. Tapi untungnya lidah saya masih manis. Sisa tadi malam.

“La-ras Nas-ti-ti,” Titis mengeja. “Namanya bagus. Jawa banget deh! Siapa yang kasih nama?”

“Dana,” jawab saya.

“Umurnya berapa tadi? Lima tahun?”

Saya mendekati Titis. Titis yang bersandar di kepala tempat tidur, ditopang tiga bantal. Saya menyandarkan kepala di bahunya. Lalu bersamanya, saya melihat puluhan gambar di ponsel saya. Ada Laras di ponsel saya. Banyak Laras di sana. Saya lalu bercerita. Bercerita tentang Laras yang sudah masuk taman kanak-kanak—yang suka menyanyi dan menggambar. Titis mendengarkan.  

Habis bahan cerita, Titis mengajak saya bersepeda menyusuri area pedesaan, persawahan, perkebunan kelapa sampai akhirnya jembatan Campuhan Ubud yang kaya akan ilalang. Kemudian kami mengamati orang-orang membuat berbagai canang sampai mencoba sendiri membuat layang-layang.

Sementara langit terlihat bersih dan angin berhembus cukup kuat dan matahari menggantung sempurna, kami bersepakat menguji layang-layang. Karena itu, kami kembali melewati pematang sawah-sawah yang kebetulan berpadi  menguning.

Saya berjalan di belakang Titis. Bayangannya jatuh tepat di belakangnya. Bayangannya mengikuti setiap langkahnya. Dan seketika itu membuat saya cemburu. Ya, saya iri pada bayangannya. Pada bayangan Titis yang senantiasa selalu bersamanya.

Saat itu juga, adakalanya saya harus urung iri pada bayangannya. Adakalanya saya merasa jauh lebih iri pada matahari. Matahari yang sinarnya melimpah. Matahari yang menyengat dan membakar kulitnya. Dan adakalanya saya juga iri pada kemeja, anting, cincin, dan sandal jepit yang dipakainya. Atau kadang perona mata dan bibir yang melekat di wajahnya. Apa rasanya… apa rasanya sering bersama manusia secantik ia?

Kemudian, puas menguji layang-layang, kami pergi duduk-duduk di wantilan, di dekat semacam balai tempat Titis biasa melukis. Balai itu dekat dengan pura yang dikelilingi tembok bata merah lumutan dan pohon-pohon kamboja yang ranting dan cabangnya menantang langit. Tidak banyak suara selain bunyi angin atau kayuhan sepeda, atau sayup-sayup gamelan pengiring gadis-gadis kecil berlatih tari.

Sementara kami duduk berhadapan sambil makan nasi campur kedawetan, saya menatap wajahnya. Ia mengecap-ngecap penuh nikmat. Saya pun menikmati wajahnya. Semua terlihat biasa saja. Tapi sebenarnya ada yang lebih dari biasa. Yaitu ia.

Memang betul, tidak ada yang seperti ia. Dari empat puluh milyar manusia di muka bumi, sungguh mengherankan, tidak ada yang memiliki garis-garis bibir sepertinya. Yang kalau basah akan menimbulkan resah. Dan matanya. Matanya yang tersusun dari himpunan sinar-sinar. Sinar yang sejuk, yang membuat seluruh semesta takluk. Atau jemarinya yang ramping, yang bisa merontokkan semua rasa gelisah dan rasa takut, tiap kali ia menyisir rambut saya.

Gawat.

Titis, kamu harus tahu. Satu detik kamu ada disini—mewujud di hadapan saya. Ratusan detik berikutnya kamu mungkin hanya sebentuk bayangan di kepala, sebuah persona yang mewujud di ruang berbeda—yang tidak tertangkap mata, hidung dan telinga. Dan ketika itu—ketika kamu telah hilang dari hadapan, seketika semua indera terasa bekerja sia-sia. Saya merasa sia-sia.



***



Malam terakhir kami habiskan di tepi Sanur. Titis bilang bulan purnama di pantai itu bisa bikin keranjingan. Bulan perak purnamasidhi—begitu orang Bali menyebutnya—memang begitu cantik. Juga terasa angin bulan April yang tidak terlalu kencang, pasir putih dan bau laut yang saling berdampingan. Begitu menyamankan. Saya dan Titis duduk-duduk di tepi pantai. Ia memegang bir dingin dan saya air jeruk kalengan impor Cina.

Dari kejauhan terlihat pondok-pondok—bukan bangunan permanen yang dipenuhi perempuan-perempuan berselop tinggi, berpakaian ketat dengan warna cukup mentereng. Para perempuan—yang Titis bilang sundal itu—berkerumun di depan pondok yang ada tepat di bawah pohon-pohon kelapa.

Mereka muncul satu persatu dari gang-gang remang di sekitar Sanur yang saya curigai sebagai lokalisasi kelas teri. Beberapa di antaranya hanya duduk-duduk di sana sambil diam. Beberapa di antaranya berdiri berkacak pinggang sambil tertawa-tawa. Mereka bertubuh cukup padat, dempul di mana-mana. Kata Titis barangkali mereka bukan Kadek, Made, atau Eka. Kata Titis kebanyakan dari mereka berasal dari Banyuwangi, tidak mampu indekos di Denpasar, bermata besar dan kadang berbicara Jawa kasar.

Titis menyalakan rokoknya, “Apa salahnya melacur? Tubuh ‘kan diciptakan untuk dipergunakan seutuhnya. Dipergunakan sebaik-baiknya—dinikmati sebaik-baiknya. Itu butuh tangan, kaki, bibir, perut, mata, selangkangan, jari jemari, jari kaki, betis, lengan semua-semuanya. ‘Kan anugrah!”

“Untuk cari uang?”

“Loh bukannya tugas kita, manusia, untuk memanfaatkan semua potensi, semua yang kita miliki untuk menafkahi diri sendiri? Tahu mubazir ‘kan?

Saya tertawa. Titis, kamu menarik, “Kamu ngaco, Tis.”

“Eh apa salahnya? Serius! Bagus dong itu namanya berjuang. Daripada berpangku tangan,” Titis tertawa.
Saya menyeruput es jeruk saya. Masam, kurang gula, tapi ini yang saya suka. Seperti semua pendapat-pendapat Titis yang selalu ia lontarkan. Kacau semua, tapi, saya suka.

“Justru pahalanya banyak. Itu ‘kan berarti memanfaatkan semaksimal mungkin semua potensi diri?”

“Beda dong,  kalau melacur enggak pakai perasaan,” kata saya.

Saya tidak mau bicara dosa. Apalagi pahala. Siapa yang tahu? Jadi perasaan adalah dalih utamanya.
“Jadi kamu, selama enam tahun ini?”

Saya kaget dengan pertanyaannya. Seketika saya sadar, kemudian teringat Dana. Dan enam tahun belakangan ini. Saya tidak tahu harus bilang apa. 

“Yah, itu tadi sebabnya aku bilang…” seperti merasa bersalah, Titis mengapit dan mengusap kepala saya, dan menyenderkannya di pundaknya, berusaha menentramkan saya, “kamu bakal dapat banyak pahala.”

Saya diam. Saya tahu Titis merasa bersalah atas kata-katanya tadi. Tapi… mungkin ia berhak marah atas segala ulah saya selama ini. Mungkin ia benar, saya sama dengan perempuan-perempuan Sanur itu.

 “Kamu bakal banyak dapat pahala,” ulang Titis malam itu.



***



Saya kembali ke Jakarta. Meninggalkan Titis dan segala sesuatunya yang manis di belakang sana. Banyak semoga dipanjatkan dalam hati setibanya saya di rumah. Semoga bisa pergi ke Bali lagi, semoga bisa bertemu Titis lagi.

Semoga-semoga saya itu ternyata langsung dikabulkan. Satu bulan berikutnya, Titis mengabari saya bahwa ia akan ke Jakarta. Ada urusan pekerjaan katanya. Saya seketika bersemangat sekali. Jantung saya berdegup lima kali lipat lebih cepat dari biasanya. Saya seperti ban sepeda tua yang dipompa. Saya seperti anak sekolah menengah dalam suatu kencan pertama. Saya bolak-balik mengganti baju, memadupadankan tas dan sepatu. Saya pergi ke salon dan rajin datang ke studio yoga. Saya membeli blus dan perona bibir baru. Saya mengecat kuku. Saya luluran. Saya memasak gila-gilaan.

“Kamu masak opor, rendang, sambal goreng ati, lontong,” seloroh Dana di suatu hari seminggu sebelum saya berjumpa dengan Titis. “Duh, kayak lebaran aja.”

Ya, bagi saya hari itu adalah hari besar. Hari yang perlu dirayakan.

“Kenapa?” tanya Dana. Saat itu kami sedang berbaring di ruang tengah sambil menonton berita pagi. Ia mengecup kening saya. Saya lalu memeluknya dan saya tersenyum. Yang jelas saya sedang senang, dan saya ingin berbagi kebahagiaan ini dengan semua orang. Termasuk Dana.


Alih-alih menjawab, saya mencium pipi Dana, lalu bibirnya. Saya berusaha membungkamnya dari ribuan pertanyaan. Seperti biasa. Dan saya pikir lebih baik begitu daripada ia menemukan mata saya. Daripada matanya menemukan mata saya. Saya takut mata saya terlalu jujur dan enggan menyimpan semua bohong yang saya himpun terlalu lama, selama ini.



***


“Ini buat Laras,” kata Titis sambil menyerahkan bingkisan besar berwarna merah muda berpita marun begitu bertemu dengan saya malam itu.

Saya tebak, isinya pasti boneka.

“He-he-he standar banget ya?”  Titis cengengesan.

Saya tersenyum lalu mengucap terima kasih.

Dan yang ini mukena kamu—,” kata Titis sambil menyerahkan satu tas kain kecil  bersulam benang emas, “—yang ketinggalan di Bali kemarin.”





Bogor, 4 - 25 April 2014

24 Apr 2014

Bunga Tidur

Aku paling tidak suka orang sembarangan soal tidur. Aku tidak suka mereka yang tidak berdoa. Dan yang tidak mencuci badan. Atau yang tidak gosok gigi. Semacam tertidur karena memang sebenarnya tidak punya niat tidur. Atau—dengan alasan apapun—yang sengaja dan berniat untuk tidak tidur, tapi malah tidur. Dan yang tidur dengan perut kekenyangan. Dan yang tidur untuk lari dari kenyataan. Atau yang sengaja minum obat tidur. Atau yang tidur terburu-buru demi mempercepat hari esok. Dan yang tidur karena tidak tahu harus berbuat apa. Atau yang tidur setelah kebanyakan tidur. Atau yang tidur untuk mencari jawaban atas segala persoalan. Dan terutama, yang tidur sambil menyesali diri, sambil menangis, sambil mengumpulkan marah.

Aku tidak suka dengan orang-orang macam begitu. Tidak sopan soal tidur.

Karena itu, terpaksa aku kasih mereka mimpi yang buruk-buruk. Biar mereka kapok. Biar mereka sadar kalau tidur adalah sama pentingnya dengan membaca Al Kitab, belajar di sekolah, menghormati orangtua, menyantuni anak yatim, mandi dua kali sehari, dan lain sebagainya.

Tidur itu perlu diperlakukan dengan martabat.

Jika bisa berperilaku hormat pada tidur, aku tidak akan pelit membagi-bagi mimpi indah. Mimpi yang bisa disyukuri setelah bangun. Mimpi yang bisa diingat dan disimpan dalam hati. Mimpi yang niscaya bisa bikin hidup jadi lebih nyata, lebih jelas dan berdaya.

Dan bagi mereka yang tidak menaruh hormat pada hidup dan tidur, mimpi-mimpi yang tersedia adalah yang buruk sampai yang sama sekali tidak waras—sebut saja: dibuang ke neraka, diamuk masa, dikejar hutang piutang, dikalahkan musuh, dipermalukan anak sendiri, dilucuti buaya, dikencingi monyet, diludahi babi, dirajam ular, dikhianati kekasih.

Begitu pula sebaliknya. Bagi mereka yang menghargai tidur, aku bisa memberi apapun yang mereka inginkan. Bahkan, demi membuat orang-orang itu bahagia sebentar, aku bisa memutarbalikkan fakta. Aku bisa bikin yang miskin jadi kaya, yang bodoh jadi juara olimpiade, yang jelek jadi cantik atau tampan rupawan, yang sakit jadi sehat sentausa, yang sedih jadi bahagia jumawa, yang gila jadi waras.

Aku bisa berbuat apapun.

Ingatkah kisah Biksu Tong yang mengembara ke Barat demi mencari kitab suci? Alkisah, Kera Sakti—salah satu murid Sang Biksu—bisa mengalahkan dewa-dewi langit, termasuk diantaranya Dewa Bumi dan segala angkatan bersenjatanya dengan mudah. Hanya Buddha, Dewi Kwan Im dan aku yang bisa mengalahkan Sang Kera. Aku bisa bikin Kera Sakti kalang kabut dan bertekuk lutut. Sungguh!

Artinya, aku sehebat Buddha. Percaya? Ha!

Harus.

Harus percaya.

Nah, tapi…

…adalah seorang perempuan—seorang anak manusia.

Anak manusia yang seorang perempuan.

Perempuan ini entah punya kekuatan apa, ia bisa mengatur mimpinya sendiri. Di dalam mimpinya, ia bisa membelah lautan, persis seperti Nabi Nuh. Ia bisa mengatur panas matahari dan menyembunyikan awan. Ia bisa mengunci petir dan mengendalikan arah angin. Ia memasak seribu jenis makanan enak. Ia berbicara puluhan bahasa dunia. Ia berjalan di permukaan air. Ia menari di udara. Ia  mengirim ratusan pemusik dari segala penjuru negeri. Ia mengganti musim, memekarkan bunga dan menggugurkan daun dalam sekali detik.

Sungguh gila!

Gila.

Baru kali ini aku bertemu makhluk seperti ini. Sampai-sampai tidak sedikitpun ada andilku dalam mimpi-mimpi indahnya.

Ah, enak saja dia mengatur-ngatur mimpinya sendiri!

Ah, perempuan sialan ini, benar-benar menjatuhkan reputasi dan harga diriku.

Dan demi langit dan bumi—surga dan neraka, aku tidak boleh kalah.

Aku tidak boleh kehilangan wibawa!

Karena itu, mau tak mau, di suatu malam yang lumayan kelam, aku menyelinap masuk ke mimpinya. Malam itu, rencananya, akan kuobrak-abrik mimpinya. Aku akan menggertak perempuan semena-mena ini. Aku akan menunjukkan rupa. Aku akan menunaikan murka.

Lalu, saat itu, tibalah aku di dalam mimpinya. Kudapati perempuan jalang itu tertidur santai di bawah pohon rindang.  Di atas ayunan kain yang membungkus tubuh sintalnya. Sejauh mata memandang adalah hamparan air dalam sebuah telaga yang jernih. Di pesisir telaga, pohon-pohon berdaun hijau, bercabang dan beranting merah muda berjajar apik. Bunga-bunga berwarna keemasan. Semuanya mekar. Ada angin semilir. Langit bersih dari awan.
Aku mendekat perlahan. Dari dekat, kuperhatikan, ternyata wajahnya biasa saja. Tidak cantik-cantik amat. Rambutnya ikal diikat kebelakang. Kutaksir usia perempuan ini baru seperempat abad.  Ia memakai kacamata hitam, baju terusan, dan kelihatan sangat nyaman, ia sedang menikmati dirinya sendiri. Kulitnya sedikit terbakar matahari.

Mimpinya terlalu cantik buatnya.

Siapa kamu? Tanya perempuan itu begitu sadar akan kehadiranku. Ia membuka kacamata hitamnya. Meletakkan telepon genggam, lalu jus apel dari genggaman ke meja di sampingnya. Ia merenggangkan tubuhnya, dan tersenyum entah apa maksudnya.

Justru aku yang harusnya bertanya, siapa sebenarnya kamu! Aku berseru, marah.

Perempuan itu tidak menjawab. Perempuan itu terlihat kaget sekaligus heran. Ia memandangiku dari atas sampai bawah. Ia kemudian mengenyahkan senyumnya, lalu mengulangi pertanyaannya, siapa kamu?

Aku Siluman Mimpi, jawabku singkat.

Perempuan itu terdiam, masih dalam posisi berbaring. Ia kelihatan berpikir. Wajahnya menunjukkan raut tidak percaya dan curiga, Lho… kamu… siluman?

Aku memasang wajah penuh sengketa.

Perempuan itu terdiam. Seperti mencari-cari kata yang hilang.

 Kenapa kamu seenak-enaknya bermimpi? Tanyaku.

Seenak-enaknya bermimpi? Kamu ngomong apa sih? Perempuan itu balik bertanya.
Aku tidak bisa mengendalikan mimpimu! Nada suaraku meninggi.

Perempuan itu terdiam. Wajahnya merumuskan ribuan tanda tanya. Tapi kemudian ia berbicara,  Lho? Ini ‘kan mimpiku…

Aku menatapnya tajam.

…kenapa kamu yang harus repot-repot ngatur? Jawabnya, sedikit ikut meninggi, ini mimpiku!

Aku berkonsentrasi untuk menggerakkan angin, tapi angin menolak bereaksi. Aku minta air di telaga supaya meluap, tapi percuma. Aku minta daun-daun seketika meranggas, tapi percuma. Aku minta matahari berubah jadi petir, tapi  percuma. Apapun yang kuminta untuk menggertak perempuan itu, percuma. Aku ingin membuktikan bahwa aku punya kekuatan. Tapi, sungguh aneh! Aku tak berdaya di dalam mimpi perempuan itu. Aku tidak bisa menunjukkan kuasaku!

Perempuan itu menatapku tajam. Aku hanya diam terpaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Seketika lemah di hadapannya.

Kemudian perempuan itu tersenyum sebentar, dan menghilang dalam sekejap. Ia berubah menjadi kabut yang bercampur angin. Lalu daun-daun jatuh berguguran. Aku ditinggalkannya sambil menanggung malu.

Hah?

Apa-apaan ini?  

Apa-apaan ini? Marahku.

Aku harus mencari cara. Tidak boleh makhluk lain, apalagi manusia biasa, sembarangan mengatur-atur mimpinya sendiri. Aku harus mencari tahu apa sebab perempuan ini begitu berdaya.

Karena itu aku mengintip ke dunia nyata, melihat kegiatan perempuan ini sehari-harinya. Jangan-jangan ia pakai ilmu hitam atau memang ia sebenarnya siluman juga.

Kuintip dunianya sebentar.

Tapi ternyata ia cuma manusia biasa. Punya seorang adik, punya dua orang kakak dan punya orang tua yang belum terlalu tua. Di dunianya, ia bahkan bukan selebriti, bukan orang terkemuka. Ia tidak tinggal di apartemen mewah atau punya banyak kondominium.  Ia hidup sederhana. Ia pegawai biasa. Ia naik kopaja ke kantornya. Ia bahkan sering dipotong gajinya karena terlambat sampai ke kantornya. Ia juga tidak pergi ke dukun—bayar taksi saja kelihatan susah, apalagi dukun?

Lalu apa perkaranya? Apa yang jadi musabab ia begitu berdaya di alam mimpi?

Hmm…

Kutilik-tilik lagi memang ia tidak pernah sembarangan soal tidur.

Ia memang sungguh serius soal tidur. Bahkan terlalu serius. Dari mulai memilih bantal, guling, seprai, selimut, piyama, sampai memilih teman tidur pun ia tidak pernah main-main. Seprainya harus yang berbahan katun dan ia menggantinya tiga atau dua hari sekali. Mencuci selimut seminggu sekali. Sebelum tidur, ia tidak pernah lupa urusan cuci kaki, cuci badan dan gosok gigi. Ia memanjatkan banyak doa. Rambutnya selalu wangi, tubuhnya wangi. Ia melumuri kulitnya dengan minyak zaitun. Ia memastikan kuku-kukunya terpotong rapi berbaris sempurna. Kulitnya bercahaya dan wangi. Semuanya bersih dan wangi. Ia kadang menyalakan aroma terapi atau mengganti pewangi kamar tidurnya. Padahal kamar tidurnya sempit dan cuma dinafkahi kipas angin untuk menangkal panasnya udara ibu kota.

Yang benar saja?

Tidak mungkin hanya itu penyebabnya.

Maka aku menyusup ke mimpinya lagi di suatu malam.

Lalu aku tiba dalam mimpinya basah kuyup. Saat itu hujan lebat. Banyak petir dan kilat. Sepanjang jalan, kiri dan kanan, pohon-pohon bersusun cukup rapat. Aku jadi kesusahan berjalan. Kemudian tibalah aku di sebuah savanah. Hujan masih menhujam.

Dimana ini? Apa aku salah masuk mimpi? Aku bertanya-tanya.

Mana perempuan itu?

Baru terlintas dipikiran pertanyaan itu, tiba-tiba disampingku perempuan itu muncul. Ia memayungiku. Ia seperti membaca pikiranku. Aku seperti anak kecil yang kebingungan belum menyelesaikan pekerjaan rumah dan siap dimarahi ibu guru. Ia kemudian menarik tanganku, menyusuri ilalang yang basah. Herannya, aku rela saja. Aku berjalan bersamanya.
Kemudian kami sampai di sebuah rumah kayu. Aku dipersilahkannya masuk, lalu dijamunya dengan teh hangat beraroma mint sementara aku duduk sambil menggigil. Aku sengaja diam saja. Aku pikir dengan diam, aku bisa mencari-cari titik lemahnya.

Di mimpinya yang lain, perempuan itu menari, diiringi musik samba lalu bossa. Ia menarikku ke tengah keramaian, ia mengajakku berdansa. Ia menari sambil tertawa. Dengan rok flaminggo bunga-bunga yang dipakainya. Ia kelihatan senang. Ia terlihat senang dan ia menggenggam tanganku.

Kali lain, kudapati ia berada di atas sebuah tebing terjal yang dikelilingi lembah-lembah curam. Ia melukis. Ia duduk berhadapan dengan selembar kanvas putih. Lalu di kanvas itu, ia menyisakan jejak putih sedikit untuk awan, biru untuk langit, titik-titik hitam untuk burung-burung terbang, kuning kecokelatan untuk kumpulan tebing yang hangus, hijau untuk setitik daun, dan merah, dan oranye, merah muda untuk bunga-bunga di setitik daun tadi.

Pada kesempatan selanjutnya, ia berjalan di keramaian sebuah pusat kota. Berjalan dengan mantap dan berani menerobos kemacetan dan orang lalu lalang. Menggenggam tanganku sambil bersenandung. Ia berjalan cepat, tidak menoleh ke belakang sedikitpun.

Dan di suatu mimpinya yang lain, aku mendapati diriku duduk di hadapannya. Di atas sebuah teratai yang mengambang di telaga jernih dan tenang. Saat itu ia bilang aku Buddha. Ia bilang aku dewa, aku kesatria, aku raja,

Dan katanya aku bukan siluman.

Aku semakin rajin masuk ke mimpinya. Mimpi-mimpinya yang selalu cantik dan apik.
Aku sebenarnya hanya dan selalu mencari celah. Mencari titik lemah.

Meski begitu, sayang tidak setiap hari perempuan itu bermimpi. Kadang ia tertidur tanpa mimpi. Dan sayang sekali aku hanya bisa berjumpa dengannya dalam mimpi.
Sialan, kenapa aku merindukannya?

Tapi pikirku saat itu: tidak, tidak. Aku hanya merindukan mencari celah dan titik lemah. Bukan merindukan sosoknya.

Aku tidak benar-benar merindukannya.

Aku hanya mencari titik lemah.

Mungkin karena itu, aku jadi selalu mendambakan hadir di mimpinya. Aku selalu ingin tahu apa yang terjadi di mimpinya selanjutnya. Aku selalu mencari titik lemah. Maka, aku ingin dilibatkan dalam mimpinya.

Dilibatkan dalam mimpinya?

Tidak, tidak. Aku hanya mencari celah dan titik lemah.

Atau…

Atau mungkin aku sudah gila?

Gila.

Aku dengar di dunia manusia, salah satu yang bisa bikin gila adalah cinta. Dan urusan cinta itu adalah disaat dua kali dua bukan lagi empat. Tapi bisa seratus atau nol. Tidak masuk akal.

Tapi tidak.

Tentu saja tidak.

Tidak mungkin aku jatuh cinta. Aku bukan manusia. 

Aku bukan manusia.

 Aku siluman yang kemudian mulai hadir di ratusan mimpinya. Sampai suatu ketika, dalam satu mimpinya, aku tidak lagi mencari celah dan titik lemah. Aku lelah. Aku berhenti berusaha mengalahkannya.

Dan…

Entah mengapa aku merasa lebih baik. Setelah berhenti mencari titik lemah aku merasa lebih nyaman. Menjadi bagian dari mimpinya ternyata menyenangkan. Dan bermimpi berdampingan dengannya jauh lebih menyenangkan.

Padahal aku tahu rahasia besar soal mimpi: tidak semua mimpi jadi kenyataan. Aku ingin, mimpi hidup di dalam dunia nyata bersama perempuan itu—jadi kenyataan. Dan mimpiku, sepertinya tidak akan pernah jadi kenyataan. Dan mimpiku untuk hidup tidak hanya sekedar di dalam mimpi perempuan bunga—tidak akan pernah jadi kenyataan.

Kenyataannya, aku memang tidak nyata. Tidak berwujud di dunia nyata.

Tapi sudahlah, aku tidak mau ambil pusing. Biar bagaimanapun, aku bahagia seperti ini. Aku bahagia walau cuma seperti ini. Ya sudah. Ya sudahlah. Sudah. Telan saja kenyataan bulat-bulat.

Menjadi bagian dari mimpinya adalah kenyataan terbaikku saat ini.

Lagipula, tidak ada salahnya ‘kan terus hidup di dalam mimpi?




Bogor, 6 Maret – 2 April 2014