Jam
lima pagi. Perempuan tua itu bangun. Begitu pula suaminya. Hampir setiap hari
begitu. Sedangkan si cucu perempuan satu-satunya, kalau tidak ada kuliah pagi,
ia selalu bangun jam sebelas nyaris siang.
Perempuan
tua gelisah perihal jam bangun si cucu. Kadang disela-sela doa dalam solatnya,
perempuan tua merangkai kata, Gusti, semoga Neng bangun lebih pagi. Tetapi,
meski hati kecilnya kerap membujuknya, kadang ia merasa malu meminta hal itu.
Maka akhirnya ia berdoa seperti biasa, beri yang terbaik. Berilah kesehatan dan
ilmu yang bermanfaat untuk keluargaku. Amin.
Sebelum
membuka mukena, ia bertanya lagi dalam hati, bolehkah aku meminta supaya Neng
bangun pagi?
Matahari
seperti biasa menyongsong ufuk timur pagi itu. Cahayanya malu-malu membelah
langit dan dingin Bandung bukan penghalang siapa saja yang memelihara niat
menghidupi harinya saat itu.
Air
teh selalu sedia panas di teko kuning. Asap dan wanginya mengepul keluar
sebelum lelaki tua itu menuutup tutupnya rapat. Menjaga hangatnya hingga pukul
9 atau 10 pagi. Ada wangi daun teh kecoklatan seharga kurang dari dua ribu
rupiah yang terpanggang air mendidih.
Pagi
mulai menguap, lelaki tua itu selesai solat sudah sejak tadi. Nasi sudah
ditanak. Beras cianjurnya bibitnya. Panas dan pulen. Tempat minum besar
dipenuhi air hangat.
Sama
seperti lelakinya, setelah solat, perempuan berusia 70 tahunan itu menjamu raja
di hatinya dan hidupnya itu dengan kopi hitam. Sudah lebih dari setengah abad
ia selalu begitu.
Kembali
ke dapur merajang bawang dan daun bawang. Tangannya yang cekatan sudah hapal
dan sudah berani mendahului perintah otaknya.
Karena
telah terbiasa. Sudah terekam dikepalanya pagi ini ia akan menggoreng apa,
mencacah apa dan merebus apa. Sambil mengingat-ingat setelah ini ada
jadwal senam pagi dengan ibu-ibu darmawanita tetangga dari gang sebelah.
Terbayang-bayang
teman sesama wanita lanjut usia yang sudah siap dengan training seragam,
mengajak senam jantung sehat di gedung serba guna kelurahan.
Setelah
selesai masak, perempuan tua itu menjamu lelaki tua dengan mantau dan pisang
goreng kesukaan, yang dihidangkan sebentar berpasangan dengan kopi buatannya.
Lelaki
dan perempuan tua itu, mereka telah bersama hampir lebih dari setengah abad.
Sudah seperti makan nasi. Yang hampir seluruh hidup mereka, selalu
bersama-sama.
Padahal
sudah jam sembilan pagi.
Tak
lama perempuan tua datang, membawa seikat kangkung yang dibelinya seperjalanan
pulang berolahraga. Sudah bangun? Tanyanya.
Lelaki
tua cuma mengangkat alisnya. Tanpa bersuara matanya dan mulutnya menunjuk ke
ruangan tempat si cucu perempuan yang masih saja tidur.
Perempuan
tua menangkap isyarat itu. Belum bangun, ya... Gumamnya dalam hati. Ada rasa
pilu sedikit di dadanya. Jam sembilan, anak gadis masih tidur. Kalau kelak
punya anak, siapa yang menyediakan makanan? Anak gadis seharusnya bangun
sebelum atau tepat adzan subuh berkumandang.
Pilunya perempuan tua membesar menjadi khawatir. Salahkah caraku membesarkan anak-anakku? Perempuan tua itu diam-diam berpikir keras, kemudian menyanggah pertanyaannya sendiri. Tidak, aku tidak salah. Cucuku pergi kuliah, belajar sampai malam. Memang begitulah anak jaman sekarang. Beda zaman, jangan disalahkan. Katanya dalam hati membela tabiat cucu perempuannya yang masih berselimut mimpi.
Pilunya perempuan tua membesar menjadi khawatir. Salahkah caraku membesarkan anak-anakku? Perempuan tua itu diam-diam berpikir keras, kemudian menyanggah pertanyaannya sendiri. Tidak, aku tidak salah. Cucuku pergi kuliah, belajar sampai malam. Memang begitulah anak jaman sekarang. Beda zaman, jangan disalahkan. Katanya dalam hati membela tabiat cucu perempuannya yang masih berselimut mimpi.
Segera
lelaki tua mengajak sarapan, bermaksud hati menanyakan perihal kekhawatiran
yang terlihat di wajah istrinya.
Perempuan
tua beranjak ke dapur, menaruh kangkung hasil belanjaannya. Ia mengambil dua
piring, menuang teh tawar hangat dan menyentong nasi secukupnya. Saat itu pukul
setengah sepuluh pagi. Lelaki tua menghampiri meja makan, duduk di samping
perempuan tua itu. Berdoa, dan mereka makan bersama.
Kebetulan
ruang makan menyatu dengan ruang dimana televisi masih menyala. Sambil makan,
pasangan lanjut usia itu kadang saling mengomentari berbagai hal yang disiarkan
di telivisi. Kadang perempuan tua bertanya hal-hal yang tidak dimengertinya.
Suaminya mengurai menjelaskan tentang apa saja. Perempuan tua itu mendengar
dengan seksama atau menimpali dengan rendah hati. Ia masih bertanya tentang apa
saja.
Tapi
ada satu pertanyaan yang entah kenapa belum berani ditanyakan. Kenapa Neng
susah bangun pagi?
Pasangan
tua itu masih berbincang, sampai suatu waktu menunjuk pukul sebelas, cucu
mereka keluar dari kamar. Ia baru bangun. Rambutnya yang panjang kusut
berantakan, ia bergegas ke kamar mandi, mencuci muka, lalu mengambil segelas
air putih. Lapar, ia pun mengambil piring, dan menggiring nasi beserta lauk
pauk ke dalam perutnya. Ia makan dengan cepat. Minum dengan cepat. Lupa membaca
doa. Ia bergegas ke kamar mandi. Setelah itu bersiap diri, dan pamitan pergi
kuliah.
Setelah
mengucap doa, atas keberangkatan si cucu ke tempat ia berkuliah, perempuan tua
itu kembali bertanya-tanya. Apakah ada yang salah dengan caraku membesarkannya?
Ia memang pintar di sekolah, tapi kalau tidak biasa bangun pagi… nanti siapa
yang menyiapkan makanan untuk keluarganya? Perempuan kalau tidak bangun pagi,
nanti suami dan anak-anaknya makan apa? Seperti apa rumah tangganya?
Sudah
hampir dua tahun ini, lantaran kuliah, cucunya yang dari kota seberang
menumpang tinggal di rumahnya, tidak pernah bangun pagi.
Apa
aku salah memanjatkan doa ya? Duh, Gusti, harusnya bagaimana yah? Tanya
perempuan tua itu dalam hati. Apa caraku salah, Gusti?
Matahari
bergegas terbit dari timur. Saat itu pukul enam pagi. Perempuan tua tetap
bangun pagi. Tapi hari itu perempuan tua tidak bisa beranjak dari tempat tidur.
Terpikir
olehnya urusan dapur, menyiapkan makan dan senam pagi. Tapi badan lemas, perut
sakit dan hilang tenaga. Mengangkat tangan pun tak kuasa. Perempuan tua
bertanya dalam hati, sejak kapan begini?
Sang
lelaki tua duduk di samping tempat tidurnya. Tak rela sedetik pun jauh darinya.
Tidak
mau membiarkan dapur lumpuh, diam-diam si cucu mengambil alih. Ia datang
membawa semangkuk bubur hangat.
Rupanya
hari ini kamu bangun pagi Neng? Kata perempuan tua dalam hati.
Meski
berat menggerakkan setiap anggota badan, susah menggetarkan kerongkongan dan
membunyikan suara, tapi hari itu perasaannya ringan melayang serasa terbang.
Ada kelegaan di ufuk hatinya.
Kata
perempuan itu dalam hati. Doaku terkabul, Bahkan sebelum benar-benar
kupanjatkan. Terimakasih Gusti.
Jakarta,
30 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar