26 Jan 2014

Doa yang Mujarab



Jam lima pagi. Perempuan tua itu bangun. Begitu pula suaminya. Hampir setiap hari begitu. Sedangkan si cucu perempuan satu-satunya, kalau tidak ada kuliah pagi, ia selalu bangun jam sebelas nyaris siang.
Perempuan tua gelisah perihal jam bangun si cucu. Kadang disela-sela doa dalam solatnya, perempuan tua merangkai kata, Gusti, semoga Neng bangun lebih pagi. Tetapi, meski hati kecilnya kerap membujuknya, kadang ia merasa malu meminta hal itu. Maka akhirnya ia berdoa seperti biasa, beri yang terbaik. Berilah kesehatan dan ilmu yang bermanfaat untuk keluargaku. Amin.
Sebelum membuka mukena, ia bertanya lagi dalam hati, bolehkah aku meminta supaya Neng bangun pagi?

Matahari seperti biasa menyongsong ufuk timur pagi itu. Cahayanya malu-malu membelah langit dan dingin Bandung bukan penghalang siapa saja yang memelihara niat menghidupi harinya  saat itu.
Air teh selalu sedia panas di teko kuning. Asap dan wanginya mengepul keluar sebelum lelaki tua itu menuutup tutupnya rapat. Menjaga hangatnya hingga pukul 9 atau 10 pagi. Ada wangi daun teh kecoklatan seharga kurang dari dua ribu rupiah yang terpanggang air mendidih.
Pagi mulai menguap, lelaki tua itu selesai solat sudah sejak tadi. Nasi sudah ditanak. Beras cianjurnya bibitnya. Panas dan pulen. Tempat minum besar dipenuhi air hangat.
Sama seperti lelakinya, setelah solat, perempuan berusia 70 tahunan itu menjamu raja di hatinya dan hidupnya itu dengan kopi hitam. Sudah lebih dari setengah abad ia selalu begitu.
Kembali ke dapur merajang bawang dan daun bawang. Tangannya yang cekatan sudah hapal dan sudah berani mendahului perintah otaknya.
Karena telah terbiasa. Sudah terekam dikepalanya pagi ini ia akan menggoreng apa, mencacah apa dan merebus apa.  Sambil mengingat-ingat setelah ini ada jadwal senam pagi dengan ibu-ibu darmawanita tetangga dari gang sebelah.
Terbayang-bayang teman sesama wanita lanjut usia yang sudah siap dengan training seragam, mengajak senam jantung sehat di gedung serba guna kelurahan.
Setelah selesai masak, perempuan tua itu menjamu lelaki tua dengan mantau dan pisang goreng kesukaan, yang dihidangkan sebentar berpasangan dengan kopi buatannya.
Lelaki dan perempuan tua itu, mereka telah bersama hampir lebih dari setengah abad. Sudah seperti makan nasi. Yang hampir seluruh hidup mereka, selalu bersama-sama.
Padahal sudah jam sembilan pagi.
Tak lama perempuan tua datang, membawa seikat kangkung yang dibelinya seperjalanan pulang berolahraga. Sudah bangun? Tanyanya.
Lelaki tua cuma mengangkat alisnya. Tanpa bersuara matanya dan mulutnya menunjuk ke ruangan tempat si cucu perempuan yang masih saja tidur.
Perempuan tua menangkap isyarat itu. Belum bangun, ya... Gumamnya dalam hati. Ada rasa pilu sedikit di dadanya. Jam sembilan, anak gadis masih tidur. Kalau kelak punya anak, siapa yang menyediakan makanan? Anak gadis seharusnya bangun sebelum atau tepat adzan subuh berkumandang. 


Pilunya perempuan tua membesar menjadi khawatir. Salahkah caraku membesarkan anak-anakku? Perempuan tua itu diam-diam berpikir keras, kemudian menyanggah pertanyaannya sendiri. Tidak, aku tidak salah. Cucuku pergi kuliah, belajar sampai malam. Memang begitulah anak jaman sekarang. Beda zaman, jangan disalahkan. Katanya dalam hati membela tabiat cucu perempuannya yang masih berselimut mimpi.

Segera lelaki tua mengajak sarapan, bermaksud hati menanyakan perihal kekhawatiran yang terlihat di wajah istrinya.
Perempuan tua beranjak ke dapur, menaruh kangkung hasil belanjaannya. Ia mengambil dua piring, menuang teh tawar hangat dan menyentong nasi secukupnya. Saat itu pukul setengah sepuluh pagi. Lelaki tua menghampiri meja makan, duduk di samping perempuan tua itu. Berdoa, dan mereka makan bersama.

Kebetulan ruang makan menyatu dengan ruang dimana televisi masih menyala. Sambil makan, pasangan lanjut usia itu kadang saling mengomentari berbagai hal yang disiarkan di telivisi. Kadang perempuan tua bertanya hal-hal yang tidak dimengertinya. Suaminya mengurai menjelaskan tentang apa saja. Perempuan tua itu mendengar dengan seksama atau menimpali dengan rendah hati. Ia masih bertanya tentang apa saja.
Tapi ada satu pertanyaan yang entah kenapa belum berani ditanyakan. Kenapa Neng susah bangun pagi?

Pasangan tua itu masih berbincang, sampai suatu waktu menunjuk pukul sebelas, cucu mereka keluar dari kamar. Ia baru bangun. Rambutnya yang panjang kusut berantakan, ia bergegas ke kamar mandi, mencuci muka, lalu mengambil segelas air putih. Lapar, ia pun mengambil piring, dan menggiring nasi beserta lauk pauk ke dalam perutnya. Ia makan dengan cepat. Minum dengan cepat. Lupa membaca doa. Ia bergegas ke kamar mandi. Setelah itu bersiap diri, dan pamitan pergi kuliah.

Setelah mengucap doa, atas keberangkatan si cucu ke tempat ia berkuliah, perempuan tua itu kembali bertanya-tanya. Apakah ada yang salah dengan caraku membesarkannya? Ia memang pintar di sekolah, tapi kalau tidak biasa bangun pagi… nanti siapa yang menyiapkan makanan untuk keluarganya? Perempuan kalau tidak bangun pagi, nanti suami dan anak-anaknya makan apa? Seperti apa rumah tangganya?
Sudah hampir dua tahun ini, lantaran kuliah, cucunya yang dari kota seberang menumpang tinggal di rumahnya, tidak pernah bangun pagi.
Apa aku salah memanjatkan doa ya? Duh, Gusti, harusnya bagaimana yah? Tanya perempuan tua itu dalam hati. Apa caraku salah, Gusti?

Matahari bergegas terbit dari timur. Saat itu pukul enam pagi. Perempuan tua tetap bangun pagi. Tapi hari itu perempuan tua tidak bisa beranjak dari tempat tidur.
Terpikir olehnya urusan dapur, menyiapkan makan dan senam pagi. Tapi badan lemas, perut sakit dan hilang tenaga. Mengangkat tangan pun tak kuasa. Perempuan tua bertanya dalam hati, sejak kapan begini?
Sang lelaki tua duduk di samping tempat tidurnya. Tak rela sedetik pun jauh darinya.
Tidak mau membiarkan dapur lumpuh, diam-diam si cucu mengambil alih. Ia datang membawa semangkuk bubur hangat.
Rupanya hari ini kamu bangun pagi Neng? Kata perempuan tua dalam hati.
 Meski berat menggerakkan setiap anggota badan, susah menggetarkan kerongkongan dan membunyikan suara, tapi hari itu perasaannya ringan melayang serasa terbang. Ada kelegaan di ufuk hatinya.
Kata perempuan itu dalam hati. Doaku terkabul, Bahkan sebelum benar-benar kupanjatkan. Terimakasih Gusti. 




Jakarta, 30 Agustus 2012
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar