Saya mengenalnya sudah
lima tahun belakangan ini. Tubuhnya langsing, kulitnya sawo matang dan bentuk
wajahnya serupa daun waru. Semua sepakat kalau dia se-ayu perempuan jawa
lainnya. Semua bakat dunia ada di tangannya. Tidak perlu dijelaskan juga pasti
kamu paham. Tapi yang paling bikin semua perempuan bisa jadi iri padanya dan
kaum adam ingin mengawininya, menurut hemat saya, adalah sepasang matanya yang
lapang dan penuh binar.
***
Lima tahun yang lalu
saya baru lulus kuliah, dan bekerja di satu perusahaan swasta di ibu kota. Saya
bertemu Titis disitu. Dan kami cepat akrab. Satu tahun bekerja
bersamanya, Titis mengundurkan diri. Dapat beasiswa sekolah di luar negeri
katanya.
Yang jelas dua tahun
berkuliah di negeri orang, Titis kembali. Sikap dan perilakunya tidak banyak
berubah. Meski tidak lagi bekerja di perusahaan yang sama, sama seperti dulu,
Titis suka mendadak mengajak saya makan malam atau menemani dia minum di suatu
tempat. Saya tidak pernah menolak. Saya tidak pernah mau menolak.
***
Kalau hatinya riang,
Titis duduk di depan saya. Obrolan yang terlalu banyak macamnya itu tidak
pernah bisa dihabiskan dalam satu malam. Dan kalau suasana hatinya (sepertinya)
buruk, Titis duduk di samping saya. Biasanya, dia tetap sama banyak bicaranya,
tapi justru tidak pernah tentang perasaannya.
Jam sembilan atau jam
sepuluh, seperti biasa kami berjumpa. Titis bekerja di agensi periklanan. Dia
tidak pernah pakai seragam. Tiap bertemu dengannya, tampilannya seperti habis
jalan-jalan di sebuah mal besar. Dan entah kenapa dia satu-satunya teman saya
yang selalu terlihat berbinar-binar.
“Sejelek-jeleknya
orang, menurut gua adalah, yang ngaku membela rakyat, membela alam semesta, tapi enggak
ngapa-ngapain, selain sibuk menjelek-jelekkan
kaum lain. Bilang orang lain fasis, millenial dan sebagainya. Bikin bikin acara-acara musik underground, ngumpul, bilang ‘gua anti miras, gak ngerokok, gak
nge-seks’, ” Titis menyalakan rokoknya.
Saya tertawa
mendengarnya.
“Sepeser pun enggak pernah
mereka keluarin buat
bikin anak melarat muara angke bisa baca tulis atau seenggaknya kepengin cuci
tangan abis berak,”
Saya masih tertawa.
Titis tahu apa yang dia bicarakan, wajar, mengundang saya tertawa.
“Musikalisasi puisi
atau mengutip kata-kata filsuf-filsuf.
Lalu ngaku-ngaku seniman. Tapijudgemental,”
Tawa saya berubah jadi
senyum-senyum saja.
“Atau bilang enggak
butuh pemerintah, agama, negara. Padahal dia lagi bikin negara, pemerintah dan
agama sendiri,”
Bir dituangkan ke
gelas besar. Itu untuk Titis. Bukan untuk saya. Selain takut dosa. Saya tidak
suka baunya.
“Lembaga dicela-cela.
Aturan dan perbuatannya, enggak,”
“Enggak ada bedanya
sama gua, atau yang doyan ‘mangga muda’ di tempat karaoke,"
"Atau yang
joget-joget keliyengan di
pinggir pantai,”
“Atau majalah
kesehatan dengan jurnalis perokok,”
“Protes tapi enggak
praktis,” katanya lagi, “percuma”
Saya menyeruput lemon squash.
Pasang wajah pura pura ngerti. Mendengarkan
Titis yang sok tahu. Tapi saya suka.
Titis tertawa.
“Ha-ha-ha. Idih ngapain sih gue ngomong ginian. Sok iyeh, ye? Ya biarin aja gue fasis atau millennial. Yang
penting gue masih bayar zakat infaq, ha-ha-ha.”
Tidak sepenuhnya paham
tapi saya suka mendengarnya berbicara. Saya bertanya, “Jadi bayar zakat infaq itu, bagus?”
“Sebenarnya musik
mereka enggak enak sih, itu aja,” kata Titis lagi. Lalu dia tertawa.
Titis tidak pernah menjawab pertanyaan saya secara langsung, “Emang paling enak
jelek-jelekin orang. Lega!”
Saya biasanya
hanya mendengar Titis berceloteh. Mau tentang bir, kumpul keluarga, teman
kantornya, pacarnya yang sibuk melamarnya, dvd bajakan yang lecet atau betapa
bagusnya sepatu di toko sebelah.
“Gue sendiri protes
tapi enggak praktis,” bir ditenggaknya. Sekilas, wajahnya terlihat pahit, lalu
beberapa detik kemudian ada ketenangan di matanya. Dan saya menangkapnya.
Menangkap apa-apa yang dikatakannya lewat mata yang tidak bersuara.
***
Dalam seminggu. Saya
bisa bertemu Titis dua atau tiga kali. Tapi kadang Titis juga menghilang,
seperti keluar kota atau benar-benar menghilang tanpa kabar. Tidak ada banyak
aturan dalam pertemanan kami. Yang jelas, saya selalu bersemangat kalau dia
mengajak saya berjumpa.
Kalau Titis tidak mengajak saya. Sebisa
mungkin -kalau tidak lembur- saya sengaja pulang jam delapan malam. Saat itu
biasanya Jalan Sudirman sedang macet-macetnya. Dan semua busway dari
segala penjuru yang lewat di jalan itu sedang penuh-penuhnya. Mobil-mobil di
jalanan protokol berjajar nyaris tidak bergerak.
Saat itu saya
mengganti sepatu heels saya
dengan sepatu kanvas. Berjalan kaki di sepanjang trotoar sambil mendengarkan
kira-kira satu lusin lagu dari earphone saya, sampai saya merasa cukup bosan, dan naik kopaja
atau busway terdekat.
Saat berjalan itulah-berjalan melewati mobil-mobil yang tersangkut mobil-mobil
lain di kiri-kanan-depan dan belakangnya, saya tahu, miliyaran karbon monoksida
malam itu saya hirup cuma-cuma. Tapi setidaknya, saya merasa menang dan lebih bebas dari
mobil-mobil yang terjebak itu. Dan yang lebih aneh, cahaya lampu-lampu mobil
yang berjajar tak berdaya itu, berbinar-binar cantik. Persis seperti mata
Titis.
Satu malam Titis
berkata pada saya,
“Dari jaman gua
remaja, gua suka joget-joget sendiri di rumah. Minimal sepuluh menit. Enggak
pakai musik”
“Lo gila ya?” saya
sambil tertawa.
“Lo masih muda.
Tangan, kaki, kepala, pinggul, semuanya. Semuanya bisa bebas digerakkan,” kata
Titis, “Saat lo masih muda.”
“Ada yang lihat
enggak?”
“Selalu enggak ada.
Kayaknya sih,”
kata Titis.
Saya bisa bertanya
padanya saat itu, lantas kenapa? Kenapa tidak pergi ke gym atau ikut
kelompok tari? Tapi tidak. Entah kenapa, saya tidak perlu bertanya ‘kenapa’
terhadap apa-apa yang diceritakan Titis. Kalau bertanya pun percuma, Titis
pasti tidak benar-benar menjawabnya. Justru kalau tidak ditanya, Titis akan
memberi tahu jawabannya. Aneh
ya? Memberi tahu jawaban dari pertanyaan yang bahkan tidak
pernah dilontarkan. Tapi itulah Titis. Dia selalu bisa membaca pikiran saya.
“Waktu SD, kakek gue
yang lumpuh tinggal di rumah. Bersihin bekas hajatnya sendiri aja enggak bisa,” kata Titis,
“Mungkin kalau tua, manusia begitu. Enggak bisa apa-apa. “
***
Ada satu malam dimana
Titis memilih duduk di depan saya.
Malam itu saya memberi
dia sepucuk kartu undangan. Di atasnya tertera nama saya dan calon suami saya.
Reaksi Titis sebenarnya… terasa agak sedikit berlebihan.
Sebenarnya dia
mengucapkan selamat kepada saya seperti teman-teman yang lainnya.
“Kali ini lo enggak
boleh pesen lemon squash doang. Sekali kali, tenggaklah alkohol. Lo kan mau
jadi istri orang,” kata Titis.
Saya tertawa, antara
bingung dan sedikit takut, tapi kali ini saya mengiyakan.
“Enggak pernah
minum alkohol, solat lima waktu, puasa, sampai nanti jadi istri orang, lagi
perawan” Titis berpindah duduk ke samping saya, “Lo emang satu-satunya temen
gue yang out of the box! Lo tuh martir! Heran gue bisa temenan sama lo! Tapi
selamat deh! Ha-ha-ha”
“Gila lo,” saya
tertawa, “gue juga heran”
Malam itu saya dan
Titis ngobrol seperti biasanya. Saya mencoba satu gelas alkohol. Meski kikuk
sekali rasanya. Titis ketawa-ketawa saja, sambil duduk di samping saya.
Berceloteh panjang lebar.
Lalu ada satu waktu,
di malam itu, saya menoleh ke arahnya, menatapnya. Terutama bagian matanya.
Ternyata binarnya hilang. Meski dia terus berbicara, tapi saya yakin,
benar-benar yakin, binarnya hilang.
Dan ada yang aneh
juga. Semakin Titis saya perhatikan, entah kenapa… saya ingin menciumnya. Tepat di bibir, dan…. matanya.
Malam itu saya kaget
sama diri saya sendiri.
Tapi mungkin…
karena satu gelas alkohol. Pasti karena… alkohol. Ya pasti! Karena alkohol!
Makanya Tuhan mengutukinya haram. Alkohol sialan!
***
Sejak malam itu, Titis
semakin jarang mengajak saya pergi keluar. Dua bulan setelahnya, sama sekali
Titis tidak pernah mengontak saya. Di pernikahan saya pun, dia tidak datang.
Sampai setahun kemudian, dia memutuskan pindah ke luar kota. Saya tidak pernah
benar-benar tahu kepindahannya kenapa dan kemana. Saya pun tidak pernah bertanya langsung padanya. Tidak mau, dan
karena pasti, Titis tidak pernah benar-benar akan menjawabnya.
Karena tidak pernah
diajak Titis lagi, saya semakin sering pulang pukul delapan. Masih suka
berjalan kaki di tengah kemacetan, berdampingan dengan deretan mobil yang
terjebak. Kali ini bukan untuk merasa lebih menang atau bebas. Tapi karena,
diam-diam saya seperti mencari, mencari binar mata Titis diantara kelap kelip
lampu ratusan mobil itu.
Bogor,
23 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar