26 Jan 2014

Kangen Mata Titis



Saya mengenalnya sudah lima tahun belakangan ini. Tubuhnya langsing, kulitnya sawo matang dan bentuk wajahnya serupa daun waru. Semua sepakat kalau dia se-ayu perempuan jawa lainnya. Semua bakat dunia ada di tangannya. Tidak perlu dijelaskan juga pasti kamu paham. Tapi yang paling bikin semua perempuan bisa jadi iri padanya dan kaum adam ingin mengawininya, menurut hemat saya, adalah sepasang matanya yang lapang dan penuh binar.


***


Lima tahun yang lalu saya baru lulus kuliah, dan bekerja di satu perusahaan swasta di ibu kota. Saya bertemu  Titis disitu. Dan kami cepat akrab. Satu tahun bekerja bersamanya, Titis mengundurkan diri. Dapat beasiswa sekolah di luar negeri katanya.


Yang jelas dua tahun berkuliah di negeri orang, Titis kembali. Sikap dan perilakunya tidak banyak berubah. Meski tidak lagi bekerja di perusahaan yang sama, sama seperti dulu, Titis suka mendadak mengajak saya makan malam atau menemani dia minum di suatu tempat. Saya tidak pernah menolak. Saya tidak pernah mau menolak.


***

Kalau hatinya riang, Titis duduk di depan saya. Obrolan yang terlalu banyak macamnya itu tidak pernah bisa dihabiskan dalam satu malam. Dan kalau suasana hatinya (sepertinya) buruk, Titis duduk di samping saya. Biasanya, dia tetap sama banyak bicaranya, tapi justru tidak pernah tentang perasaannya.


Jam sembilan atau jam sepuluh, seperti biasa kami berjumpa. Titis bekerja di agensi periklanan. Dia tidak pernah pakai seragam. Tiap bertemu dengannya, tampilannya seperti habis jalan-jalan di sebuah mal besar. Dan entah kenapa dia satu-satunya teman saya yang selalu terlihat berbinar-binar.


“Sejelek-jeleknya orang, menurut gua adalah, yang ngaku membela rakyat, membela alam semesta, tapi enggak ngapa-ngapain, selain sibuk menjelek-jelekkan kaum lain. Bilang orang lain fasis, millenial dan sebagainya. Bikin bikin acara-acara musik underground, ngumpul, bilang ‘gua anti miras, gak ngerokok, gak nge-seks’, ” Titis menyalakan rokoknya.


Saya tertawa mendengarnya.


“Sepeser pun enggak pernah mereka keluarin buat bikin anak melarat muara angke bisa baca tulis atau seenggaknya kepengin cuci tangan abis berak,”


Saya masih tertawa. Titis tahu apa yang dia bicarakan, wajar, mengundang saya tertawa.


“Musikalisasi puisi atau mengutip kata-kata filsuf-filsuf. Lalu ngaku-ngaku seniman. Tapijudgemental,”


Tawa saya berubah jadi senyum-senyum saja.


“Atau bilang enggak butuh pemerintah, agama, negara. Padahal dia lagi bikin negara, pemerintah dan agama sendiri,”


Bir dituangkan ke gelas besar. Itu untuk Titis. Bukan untuk saya. Selain takut dosa. Saya tidak suka baunya.


“Lembaga dicela-cela. Aturan dan perbuatannya, enggak,”



“Enggak ada bedanya sama gua, atau yang doyan ‘mangga muda’ di tempat karaoke,"


"Atau yang joget-joget keliyengan di pinggir pantai,”


“Atau majalah kesehatan dengan  jurnalis perokok,”


“Protes tapi enggak praktis,” katanya lagi, “percuma”


Saya menyeruput lemon squash. Pasang wajah pura pura ngerti. Mendengarkan Titis yang sok tahu. Tapi saya suka.


Titis tertawa. “Ha-ha-ha. Idih ngapain sih gue ngomong ginian. Sok iyeh, ye? Ya biarin aja gue fasis atau millennial. Yang penting gue masih bayar zakat infaq, ha-ha-ha.”


Tidak sepenuhnya paham tapi saya suka mendengarnya berbicara. Saya bertanya, “Jadi bayar zakat infaq itu, bagus?”


“Sebenarnya musik mereka enggak enak sih, itu aja,”  kata Titis lagi. Lalu dia tertawa. Titis tidak pernah menjawab pertanyaan saya secara langsung, “Emang paling enak jelek-jelekin orang. Lega!”


 Saya biasanya hanya mendengar Titis berceloteh. Mau tentang bir, kumpul keluarga, teman kantornya, pacarnya yang sibuk melamarnya, dvd bajakan yang lecet atau betapa bagusnya sepatu di toko sebelah.


“Gue sendiri protes tapi enggak praktis,” bir ditenggaknya. Sekilas, wajahnya terlihat pahit, lalu beberapa detik kemudian ada ketenangan di matanya. Dan saya menangkapnya. Menangkap apa-apa yang dikatakannya lewat mata yang tidak bersuara.


***



Dalam seminggu. Saya bisa bertemu Titis dua atau tiga kali. Tapi kadang Titis juga menghilang, seperti keluar kota atau benar-benar menghilang tanpa kabar. Tidak ada banyak aturan dalam pertemanan kami. Yang jelas, saya selalu bersemangat kalau dia mengajak saya berjumpa.


Kalau Titis tidak mengajak saya. Sebisa mungkin -kalau tidak lembur- saya sengaja pulang jam delapan malam. Saat itu biasanya Jalan Sudirman sedang macet-macetnya. Dan semua busway dari segala penjuru yang lewat di jalan itu sedang penuh-penuhnya. Mobil-mobil di jalanan protokol berjajar nyaris tidak bergerak. 

Saat itu saya mengganti sepatu heels saya dengan sepatu kanvas. Berjalan kaki di sepanjang trotoar sambil mendengarkan kira-kira satu lusin lagu dari earphone saya, sampai saya merasa cukup bosan, dan naik kopaja atau busway terdekat. Saat berjalan itulah-berjalan melewati mobil-mobil yang tersangkut mobil-mobil lain di kiri-kanan-depan dan belakangnya, saya tahu, miliyaran karbon monoksida malam itu saya hirup cuma-cuma. Tapi setidaknya, saya merasa menang dan lebih bebas dari mobil-mobil yang terjebak itu. Dan yang lebih aneh, cahaya lampu-lampu mobil yang berjajar tak berdaya itu, berbinar-binar cantik. Persis seperti mata Titis.


Satu malam Titis berkata pada saya,


“Dari jaman gua remaja, gua suka joget-joget sendiri di rumah. Minimal sepuluh menit. Enggak pakai musik”


“Lo gila ya?” saya sambil tertawa.


 “Lo masih muda. Tangan, kaki, kepala, pinggul, semuanya. Semuanya bisa bebas digerakkan,” kata Titis, “Saat lo masih muda.”


“Ada yang lihat enggak?”


“Selalu enggak ada. Kayaknya sih,” kata Titis.


Saya bisa bertanya padanya saat itu, lantas kenapa? Kenapa tidak pergi ke gym atau ikut kelompok tari? Tapi tidak. Entah kenapa, saya tidak perlu bertanya ‘kenapa’ terhadap apa-apa yang diceritakan Titis. Kalau bertanya pun percuma, Titis pasti tidak benar-benar menjawabnya. Justru kalau tidak ditanya, Titis akan memberi tahu jawabannya. Aneh ya? Memberi tahu jawaban dari pertanyaan yang bahkan tidak pernah dilontarkan. Tapi itulah Titis. Dia selalu bisa membaca pikiran saya.


“Waktu SD, kakek gue yang lumpuh tinggal di rumah. Bersihin bekas hajatnya sendiri aja enggak bisa,” kata Titis, “Mungkin kalau tua, manusia begitu. Enggak bisa apa-apa. “


***


Ada satu malam dimana Titis memilih duduk di depan saya.


Malam itu saya memberi dia sepucuk kartu undangan. Di atasnya tertera nama saya dan calon suami saya. Reaksi Titis sebenarnya… terasa agak sedikit berlebihan.


Sebenarnya dia mengucapkan selamat kepada saya seperti teman-teman yang lainnya.


“Kali ini lo enggak boleh pesen lemon squash doang. Sekali kali, tenggaklah alkohol. Lo kan mau jadi istri orang,” kata Titis.


Saya tertawa, antara bingung dan sedikit takut, tapi kali ini saya mengiyakan.


 “Enggak pernah minum alkohol, solat lima waktu, puasa, sampai nanti jadi istri orang, lagi perawan” Titis berpindah duduk ke samping saya, “Lo emang satu-satunya temen gue yang out of the box! Lo tuh martir! Heran gue bisa temenan sama lo! Tapi selamat deh! Ha-ha-ha


“Gila lo,” saya tertawa, “gue juga heran”


Malam itu saya dan Titis ngobrol seperti biasanya. Saya mencoba satu gelas alkohol. Meski kikuk sekali rasanya. Titis ketawa-ketawa saja, sambil duduk di samping saya. Berceloteh panjang lebar.


Lalu ada satu waktu, di malam itu, saya menoleh ke arahnya, menatapnya. Terutama bagian matanya. Ternyata binarnya hilang. Meski dia terus berbicara, tapi saya yakin, benar-benar yakin, binarnya hilang.


Dan ada yang aneh juga. Semakin Titis saya perhatikan, entah kenapa… saya ingin menciumnya. Tepat di bibir, dan…. matanya.


Malam itu saya kaget sama diri saya sendiri.


 Tapi mungkin… karena satu gelas alkohol. Pasti karena… alkohol. Ya pasti! Karena alkohol! Makanya Tuhan mengutukinya haram. Alkohol sialan!


***


Sejak malam itu, Titis semakin jarang mengajak saya pergi keluar. Dua bulan setelahnya, sama sekali Titis tidak pernah mengontak saya. Di pernikahan saya pun, dia tidak datang. Sampai setahun kemudian, dia memutuskan pindah ke luar kota. Saya tidak pernah benar-benar tahu kepindahannya kenapa dan kemana. Saya pun tidak pernah bertanya langsung padanya. Tidak mau, dan karena pasti, Titis tidak pernah benar-benar akan menjawabnya.



Karena tidak pernah diajak Titis lagi, saya semakin sering pulang pukul delapan. Masih suka berjalan kaki di tengah kemacetan, berdampingan dengan deretan mobil yang terjebak. Kali ini bukan untuk merasa lebih menang atau bebas. Tapi karena, diam-diam saya seperti mencari, mencari binar mata Titis diantara kelap kelip lampu ratusan mobil itu.





Bogor, 23 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar