Kemarau
sudah lewat. Maka kukembali supaya bisa membuat tanah lekas basah, daun-daun
berbisik berisik, ibu burung gereja pulang ke sarangnya dan matahari
beristirahat sebentar.
Di
sepanjang musim itu, aku sering melihatmu duduk di bangku itu, menatap lekat-lekat
sebuah pohon besar, yang kayunya nampak tanpa pembuluh, daun-daunnya seperti
bersorak-sorak ketika tertiup angin dan akarnya menyebar di beberapa lapis
tanah.
Aku
sesungguhnya ingin bertanya, apa yang kau lakukan disana? Kenapa kau tak
jemu-jemu duduk disitu? Apa yang kau tunggu? Apa kau tidak bosan? Atau pegal?
Atau kesemutan? Mengapa kau menatap lekat-lekat pohon tua itu?
Ada
cerita apa disana?
Hmm…
namun sayang sepertinya kau tidak pernah mau cerita. Sayang sepertinya kau
lebih suka menghimpun rahasia.
Atau
mungkin aku memang tidak pernah masuk hitungan.
Ya,
ya, bagimu, aku memang tidak patut diperhitungkan. Dan aku pikir mungkin
begitu. Aku pikir pasti begitu. Pasti begitu.
Tapi
herannya, tidak seperti yang lainnya, tiap kali aku jatuh, kau selalu tidak
berusaha menghindar. Kau tahu maksudku berupaya jatuh tanpa mengagetkan. Dan
lucunya, kadangkala kau berhitung pelan-pelan: satu, dua, tiga, empat, tujuh,
dua puluh, empat puluh, empat puluh sembilan… Dan kau tetap, nampak tidak berusaha
menghindar.
Dan
bahkan setelah genap hitunganmu mencapai seratus atau seribu, kau selalu tidak mengenyahkan
diri dari situ. Kau selalu disitu. Kau seperti suka berada di situ. Kau seperti
suka aku ada di situ. Kau tidak menghindari setiap tetesku.
Apa
kau benar-benar mendengarku? Benarkah begitu?
Hmm,
ya, ya, aku mengerti sekarang. Kau lebih suka mendengarkan. Kau jadikan
cerita-ceritaku sebagai temanmu untuk menunggu. Untuk menunggu sesuatu yang aku
tidak tahu.
Dan
karena itu sekali lagi, aku ingin langsung bertanya padamu: sesungguhnya apa
yang kau tunggu? Apa yang kau tunggu sehingga kau nampak terlalu dirundung pilu
dan aku yang melihatnya ikut-ikutan ngilu?
Apa
kau terlampau rindu?
Loh,
lalu itu, itu kertas sketsa yang kau bawa-bawa mengapa terlihat basah? Padahal ‘kan
kau belum menorehkan segaris apapun? Dan padahal, aku belum jatuh dan aku masih
bersembunyi di segumpal awan mendung.
Maukah
kau ceritakan, ceritakan padaku? Semua yang kau simpan. Semua yang kau kenang. Aku
berjanji aku akan semakin pandai berjatuhan pelan-pelan dan aku akan bersikap
lebih sopan. Lagipula itu kan gunanya
teman!
Mengapa,
mengapa kau selalu begitu?
Mengapa
kau selalu kembali, kembali kesitu. Duduk sepanjang hari sambil bertatapan
dengan pohon tua itu. Membasahi kertas-kertas dalam buku sketsamu. Tenggelam
dalam kenangan. Terlalu larut di dalam rindu. Dan selalu, selalu begitu.
Padahal
tahukah kau? Sesungguhnya pada hari-hari ketika kau tidak ada di situ, rasanya aku
selalu ingin jatuh berkali-kali. Bertubi-tubi. Sambil membawa anak-anak angin
dan juga kawanan petir. Meredam semua suara-suara yang ada di bumi. Membuat beberapa
di antara mereka bergidik ngeri.
Tahukah
kau bahwa semuanya sekedar demi menumpas sepi—demi menuntaskan duka hati—dan
membasmi lelah karena selalu sendiri. Tahukah kau bahwa aku mulai bosan pada
awan dan matahari, yang sering bertanya padaku: sesungguhnya siapa yang jauh
lebih merindu?
Ya,
ya, mereka benar juga, sesungguhnya siapa yang jauh lebih rindu?
Jauh.
Lebih. Rindu.
Lebih.
Rindu.
Maka
dari itu, izinkan aku mengadu. Mengadu pada kau yang pula terlampau rindu: Bahwa
aku pun rindu. Rindu menjadi pendengar untuk kau yang hatinya memar.
Baiklah,
kalau kau tidak mau bercerita. Setidaknya kabulkan satu permohonanku yang ini:
Aku
ingin kau menengadahkan kepalamu. Melihatku sekali saja. Aku ingin kau tahu,
bahwa aku tidak hanya pintar membawa petir berkali-kali dan aku tidak hanya
pandai membuat langit satu rona lebih gelap. Dan hey, lihat, lihat aku ternyata
bisa muncul beriringan dengan sinar matahari! Dan aku juga bisa menghapus
debu-debu jalanan yang berterbangan, membuat udara setelahnya lebih bersahabat,
menjadikan tanah lebih harum dari biasanya…
Oh!
Ada satu lagi:
Aku
ingin kau menadahkan sketsamu di bawahku. Aku ingin melihat, melihat gambar apa
yang kau coba lukis disana. Dan kalau pun memang tidak ada aku disana, kalau pun
memang tidak pernah ada aku di buku sketsamu, sesungguhnya—ya sesungguhnya—aku
hanya ingin kertasmu basah. Aku hanya ingin kertasmu basah.
Aku
ingin kertasmu basah. Kali ini bukan karena air matamu sendiri. Kali ini bukan
karena air matamu lagi.
Bogor, 20 - 27 April 2014
dari dan untuk Teman Hujan
Ini juga bagus car. Gw suka bgt sm hujan. Jd smua yg berhubungan sama hujan gw suka. haha. Oiya saran, keliatannya klo font size nya di gedein jd tambah oke deh.
BalasHapusTerima kasih Agung atas komentarnya. Hihi iya oke sudah digedein font-nya kok :D
Hapus