Masih ada jejak rasa manis sisa
puntung rokok di bibirnya. Para perokok memang benar-benar punya bibir yang
manis. Manis sekali. Saya mengecupnya perlahan. Manis sekali. Rasanya manis sekali. Dan mungkin ini adalah yang
paling manis. Terlalu manis. Sampai saya kepayahan.
Di sana saya menemukan selembar
lidah yang sedemikian legit. Saya tergenang di dalamnya. Lalu hanyut. Lalu
semuanya halus. Lalu gelap, tinggi, jatuh, jauh dan perlahan. Mengambang
kemudian tenggelam. Lalu terlalu tenggelam.
Sesungguhnya saya tidak berani
bilang ini lembut. Lebih jauh dari itu, ini berperasaan. Hanya perempuan di
depan saya ini yang punya lidah berperasaan. Lidah paling berperasaan.
Berperasaan. Siapa sangka lidah bisa punya perasaan? Darimana datangnya
perasaan?
Perasaan. Pe-ra-sa-an.
Jadi, siapa pencipta perasaan?*
Kemudian mata saya gelap. Dan sebagian
diri saya meledak malam itu. Seperti bom waktu. Seperti kembang api di malam
tahun baru. Menjadi serbuk-serbuk besi yang tertiup angin, terhirup para
pejalan kaki Pantai Sanur, masuk ke rongga dada orang-orang itu, terbawa ke
negeri seberang.
Sebagian diri saya yang lainnya
terkubur hidup-hidup di bawah cahaya lampu remang. Di antara bulan perak yang
mengambang dan ombak-ombak yang berpulang. Pasir putih di sela-sela jari kaki. Angin
malam yang menghangat. Dan kami saling mencuri nafas.
Ini Titis.
Bersama Titis. Bersama bibirnya
yang manis. Saya disapunya sampai habis.
***
Meski saya bilang jujur bahwa saya bertemu Titis–kawan lama saya—dan bermalam bersamanya, sebenarnya saya telah berbohong. Dan juga saya sebenarnya takut. Jadi, saya banyak menghindari mata Dana. Untung Laras rewel minta disuapi. Semuanya teralihkan. Berpusat pada Laras, saya berpura-pura sedang konsentrasi menyendok lauk pauk dan nasi. Padahal pikiran saya entah kemana. Ada rasa kecut dan takut menyelinap siang itu. Bukan pada Dana, bukan juga pada Laras. Saya tidak mau jadi pengecut. Tapi saya ini benar-benar takut.
Jauh dari Titis membuat saya
sadar bahwa saya takut.
Tapi mau bagaimana?
Saya
harus bagaimana?
Jadi…
bagaimana?
Ba-ga-i-ma-na?
Kalau sudah kalap begini, saya
harus bicara dengan seseorang. Masalahnya saya tidak punya sepeser pun
keberanian untuk bicara. Masalahnya siapa di sini yang bisa diajak berbicara?
Masalahnya siapa di sini yang benar-benar tahu?
Jadi
bagaimana?
Saya kalap. Saya kalut dan
takut. Hati saya kesemutan, pikiran saya keram. Lalu selepas menyuapi Laras,
saya buru-buru mengambil air wudhu. Membasuh wajah, membasahi ubun-ubun. Lalu
bersujud, lalu memohon ampun. Memanjatkan doa-doa. Masih pantaskah saya berdoa? Dan
kenapa saya harus minta ampun?
Bertanya pada diri sendiri
terlalu susah. Saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Dan saya yakin
tidak ada satu orang pun yang tahu jawabannya. Makanya, saya kembali, dan kembali,
dan kembali dan selalu bertanya, kepada siapa yang maha tahu jawabanya: jadi bagaimana?
***
Titis melihat galeri foto di ponsel saya. Ia
mengamati takjub. Binar matanya seperti biasa, penuh.
“Sebentar lagi lima tahun.
September nanti ulang tahun,” kata saya.
“Udah bisa apa dia? Hmm… cantik kayak kamu,”
Saya cuma tersenyum. Kemudian saya kembali melipat gaun
pantai dan beberapa kemeja putih kesayangan saya. Menumpuknya ke dalam kopor
saya. Saya beranjak, menyeruput kopi pahit yang sudah saya buat satu jam
sebelumnya. Sudah dingin dan pahit. Tapi untungnya lidah saya masih manis. Sisa
tadi malam.
“La-ras Nas-ti-ti,” Titis
mengeja. “Namanya bagus. Jawa banget deh!
Siapa yang kasih nama?”
“Dana,” jawab saya.
“Umurnya berapa tadi? Lima
tahun?”
Saya mendekati Titis. Titis
yang bersandar di kepala tempat tidur, ditopang tiga bantal. Saya menyandarkan
kepala di bahunya. Lalu bersamanya, saya melihat puluhan gambar di ponsel saya.
Ada Laras di ponsel saya. Banyak Laras di sana. Saya lalu bercerita. Bercerita
tentang Laras yang sudah masuk taman kanak-kanak—yang suka menyanyi dan
menggambar. Titis mendengarkan.
Habis bahan cerita, Titis mengajak
saya bersepeda menyusuri area pedesaan, persawahan, perkebunan kelapa sampai
akhirnya jembatan Campuhan Ubud yang kaya akan ilalang. Kemudian kami mengamati
orang-orang membuat berbagai canang sampai mencoba sendiri membuat
layang-layang.
Sementara langit terlihat
bersih dan angin berhembus cukup kuat dan matahari menggantung sempurna, kami
bersepakat menguji layang-layang. Karena itu, kami kembali melewati pematang sawah-sawah
yang kebetulan berpadi menguning.
Saya berjalan di belakang
Titis. Bayangannya jatuh tepat di belakangnya. Bayangannya mengikuti setiap
langkahnya. Dan seketika itu membuat saya cemburu. Ya, saya iri pada
bayangannya. Pada bayangan Titis yang senantiasa selalu bersamanya.
Saat itu juga, adakalanya saya
harus urung iri pada bayangannya. Adakalanya saya merasa jauh lebih iri pada
matahari. Matahari yang sinarnya melimpah. Matahari yang menyengat dan membakar
kulitnya. Dan adakalanya saya juga iri pada kemeja, anting, cincin, dan sandal
jepit yang dipakainya. Atau kadang perona mata dan bibir yang melekat di
wajahnya. Apa rasanya… apa rasanya sering
bersama manusia secantik ia?
Kemudian, puas menguji
layang-layang, kami pergi duduk-duduk di wantilan,
di dekat semacam balai tempat Titis biasa melukis. Balai itu dekat dengan
pura yang dikelilingi tembok bata merah lumutan dan pohon-pohon kamboja yang
ranting dan cabangnya menantang langit. Tidak banyak suara selain bunyi angin
atau kayuhan sepeda, atau sayup-sayup gamelan pengiring gadis-gadis kecil
berlatih tari.
Sementara kami duduk berhadapan
sambil makan nasi campur kedawetan, saya menatap wajahnya. Ia mengecap-ngecap
penuh nikmat. Saya pun menikmati wajahnya. Semua terlihat biasa saja. Tapi
sebenarnya ada yang lebih dari biasa. Yaitu ia.
Memang betul, tidak ada yang
seperti ia. Dari empat puluh milyar manusia di muka bumi, sungguh mengherankan,
tidak ada yang memiliki garis-garis bibir sepertinya. Yang kalau basah akan
menimbulkan resah. Dan matanya. Matanya yang tersusun dari himpunan
sinar-sinar. Sinar yang sejuk, yang membuat seluruh semesta takluk. Atau
jemarinya yang ramping, yang bisa merontokkan semua rasa gelisah dan rasa
takut, tiap kali ia menyisir rambut saya.
Gawat.
Titis, kamu harus tahu. Satu detik kamu ada disini—mewujud di
hadapan saya. Ratusan detik berikutnya kamu mungkin hanya sebentuk bayangan di
kepala, sebuah persona yang mewujud di ruang berbeda—yang tidak tertangkap
mata, hidung dan telinga. Dan ketika itu—ketika kamu telah hilang dari hadapan,
seketika semua indera terasa bekerja sia-sia. Saya merasa sia-sia.
***
Malam terakhir kami habiskan di
tepi Sanur. Titis bilang bulan purnama di pantai itu bisa bikin keranjingan. Bulan
perak purnamasidhi—begitu orang Bali menyebutnya—memang
begitu cantik. Juga terasa angin bulan April yang tidak terlalu kencang, pasir
putih dan bau laut yang saling berdampingan. Begitu menyamankan. Saya dan Titis
duduk-duduk di tepi pantai. Ia memegang bir dingin dan saya air jeruk kalengan
impor Cina.
Dari kejauhan terlihat
pondok-pondok—bukan bangunan permanen yang dipenuhi perempuan-perempuan berselop
tinggi, berpakaian ketat dengan warna cukup mentereng. Para perempuan—yang
Titis bilang sundal itu—berkerumun di depan pondok yang ada tepat di bawah
pohon-pohon kelapa.
Mereka muncul satu persatu dari
gang-gang remang di sekitar Sanur yang saya curigai sebagai lokalisasi kelas
teri. Beberapa di antaranya hanya duduk-duduk di sana sambil diam. Beberapa di
antaranya berdiri berkacak pinggang sambil tertawa-tawa. Mereka bertubuh cukup
padat, dempul di mana-mana. Kata Titis barangkali mereka bukan Kadek, Made,
atau Eka. Kata Titis kebanyakan dari mereka berasal dari Banyuwangi, tidak
mampu indekos di Denpasar, bermata besar dan kadang berbicara Jawa kasar.
Titis menyalakan rokoknya, “Apa
salahnya melacur? Tubuh ‘kan diciptakan
untuk dipergunakan seutuhnya. Dipergunakan sebaik-baiknya—dinikmati
sebaik-baiknya. Itu butuh tangan, kaki, bibir, perut, mata, selangkangan, jari
jemari, jari kaki, betis, lengan semua-semuanya. ‘Kan anugrah!”
“Untuk cari uang?”
“Loh bukannya tugas kita,
manusia, untuk memanfaatkan semua potensi, semua yang kita miliki untuk
menafkahi diri sendiri? Tahu mubazir
‘kan?”
Saya tertawa. Titis, kamu
menarik, “Kamu ngaco, Tis.”
“Eh apa salahnya? Serius! Bagus
dong itu namanya berjuang. Daripada berpangku tangan,” Titis tertawa.
Saya menyeruput es jeruk saya.
Masam, kurang gula, tapi ini yang saya suka. Seperti semua pendapat-pendapat
Titis yang selalu ia lontarkan. Kacau semua, tapi, saya suka.
“Justru pahalanya banyak. Itu ‘kan berarti memanfaatkan semaksimal
mungkin semua potensi diri?”
“Beda dong, kalau
melacur enggak pakai perasaan,” kata
saya.
Saya tidak mau bicara dosa. Apalagi
pahala. Siapa yang tahu? Jadi perasaan adalah dalih utamanya.
“Jadi
kamu, selama enam tahun ini?”
Saya kaget dengan
pertanyaannya. Seketika saya sadar, kemudian teringat Dana. Dan enam tahun
belakangan ini. Saya tidak tahu harus bilang apa.
“Yah, itu tadi sebabnya aku
bilang…” seperti merasa bersalah, Titis mengapit dan mengusap kepala saya, dan
menyenderkannya di pundaknya, berusaha menentramkan saya, “kamu bakal dapat banyak
pahala.”
Saya diam. Saya tahu Titis
merasa bersalah atas kata-katanya tadi. Tapi… mungkin ia berhak marah atas
segala ulah saya selama ini. Mungkin ia benar, saya sama dengan
perempuan-perempuan Sanur itu.
“Kamu bakal banyak dapat pahala,” ulang Titis
malam itu.
***
Saya kembali ke Jakarta.
Meninggalkan Titis dan segala sesuatunya yang manis di belakang sana. Banyak
semoga dipanjatkan dalam hati setibanya saya di rumah. Semoga bisa pergi ke
Bali lagi, semoga bisa bertemu Titis lagi.
Semoga-semoga saya itu ternyata langsung dikabulkan. Satu bulan berikutnya, Titis mengabari saya bahwa ia akan ke Jakarta. Ada urusan pekerjaan katanya. Saya seketika bersemangat sekali. Jantung saya berdegup lima kali lipat lebih cepat dari biasanya. Saya seperti ban sepeda tua yang dipompa. Saya seperti anak sekolah menengah dalam suatu kencan pertama. Saya bolak-balik mengganti baju, memadupadankan tas dan sepatu. Saya pergi ke salon dan rajin datang ke studio yoga. Saya membeli blus dan perona bibir baru. Saya mengecat kuku. Saya luluran. Saya memasak gila-gilaan.
Semoga-semoga saya itu ternyata langsung dikabulkan. Satu bulan berikutnya, Titis mengabari saya bahwa ia akan ke Jakarta. Ada urusan pekerjaan katanya. Saya seketika bersemangat sekali. Jantung saya berdegup lima kali lipat lebih cepat dari biasanya. Saya seperti ban sepeda tua yang dipompa. Saya seperti anak sekolah menengah dalam suatu kencan pertama. Saya bolak-balik mengganti baju, memadupadankan tas dan sepatu. Saya pergi ke salon dan rajin datang ke studio yoga. Saya membeli blus dan perona bibir baru. Saya mengecat kuku. Saya luluran. Saya memasak gila-gilaan.
“Kamu masak opor, rendang,
sambal goreng ati, lontong,” seloroh Dana di suatu hari seminggu sebelum saya
berjumpa dengan Titis. “Duh, kayak
lebaran aja.”
Ya, bagi saya hari itu adalah
hari besar. Hari yang perlu dirayakan.
“Kenapa?” tanya Dana. Saat itu
kami sedang berbaring di ruang tengah sambil menonton berita pagi. Ia mengecup
kening saya. Saya lalu memeluknya dan saya tersenyum. Yang jelas saya sedang
senang, dan saya ingin berbagi kebahagiaan ini dengan semua orang. Termasuk Dana.
Alih-alih menjawab, saya
mencium pipi Dana, lalu bibirnya. Saya berusaha membungkamnya dari ribuan
pertanyaan. Seperti biasa. Dan saya pikir lebih baik begitu daripada ia
menemukan mata saya. Daripada matanya menemukan mata saya. Saya takut mata saya
terlalu jujur dan enggan menyimpan semua bohong yang saya himpun terlalu lama,
selama ini.
***
“Ini buat Laras,” kata Titis
sambil menyerahkan bingkisan besar berwarna merah muda berpita marun begitu
bertemu dengan saya malam itu.
Saya tebak, isinya pasti
boneka.
“He-he-he standar banget ya?” Titis
cengengesan.
Saya tersenyum lalu mengucap
terima kasih.
“Dan
yang ini mukena kamu—,” kata Titis sambil menyerahkan satu tas kain kecil bersulam benang emas, “—yang ketinggalan di Bali
kemarin.”
Bogor, 4 - 25 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar