28 Jul 2014

Mar

Sewaktu masih SMA, Mar adalah temanku yang paling perhatian. Tidak pernah aku diperlakukan sebegitu spesial oleh teman-teman lainnya, apalagi setiap kali aku berulang tahun. Karena setiap aku berulang tahun, Mar selalu bersusah payah meneleponku subuh-subuh. Atau membelikanku sesuatu. Padahal aku tahu uangnya tidak seberapa. Untuk beli pulsa pun ia mengaku sering lupa atau malas. Aku bahkan diam-diam tahu ia sering pergi ke sekolah tidak naik kendaraan umum. Jalan kaki empat puluh lima menit atau nyaris satu jam. Demi menghemat seribu dua ribu rupiah. Karena itu, urusan ‘belum beli pulsa’ bagiku cuma dalihnya belaka. Ditelepon Mar adalah sesuatu yang langka.

Aku ingat sekali Mar sering berbohong. Demam, flu berat, sakit datang bulan adalah beberapa di antara dalih yang dipakainya untuk berbohong. Terutama berbohong demi tidak ikut karya wisata sekolah. Atau berbohong demi tidak ikut acara nongkrong, jalan-jalan dan nonton bioskop di hari Sabtu Minggu. Kebiasaan bohongnya pun berlanjut untuk urusan perut. Ia selalu menolak kukasih jajan. Atau menolak kutraktir kalau tidak ada apapun gerangan. Katanya ia tidak lapar, ia lagi sakit perut, ia lagi diet, ia tidak suka masakan kantin sekolah.

Kadang-kadang aku mengajak Mar dan teman-temanku yang lainnya ke restoran yang cukup mahal. Biasanya, sengaja kutraktir mereka dalam rangka merayakan ulang tahunku. Dan saat itu, Mar adalah satu-satunya temanku yang paling lama memilih makanan. Kalau melihat daftar menu, Mar seperti sedang menghapalkan tabel periodik unsur kimia. Lamaaa sekali. Ia menimang-nimang makanan atau minuman apa yang sebaiknya ia pesan. Aku dan teman-teman lainnya sampai harus adu pendapat demi meyakinkan pilihan yang pas untuk Mar. Setelah hidangan disajikan pun, Mar adalah satu-satunya di antara kami yang paling cepat menghabiskan makanan. Sampai habis tak bersisa. Dan setelahnya, sering kudapati Mar menawarkan diri menghabiskan makanan teman-teman lain yang merasa sudah kekenyangan.

Ada kebiasaan lucu  lainnya yang sulit aku lupa. Adalah Mar sering membeli pisang kecil-kecil di sebuah persimpangan jalan dekat sekolah kami. Pisang-pisang itu kecil-kecil dan beberapa di antaranya sudah lepas dari batang sisirnya. Ada yang sudah menghitam, seperti hangus terbakar. Ada yang kulitnya terkoyak memperlihatkan dagingnya yang cacat. Ada yang terlanjur berlendir-lendir.

Tapi anehnya, Mar tetap membelinya dengan suka ria. Dengan uang-uangnya yang telah lama dihemat-hemat. Dan memakannya diam-diam di kantin sekolah atau di dalam kelas. Aku sering diberinya walaupun sebenarnya aku enggan memakannya. Tentu saja ia memberiku beberapa bagian yang masih bagus. Yang tanpa noda hangus. “Biar pencernaan lancar, biar langsing, biar seksi!” kata Mar suatu hari sambil tertawa.

Dan di balik sikap-sikapnya yang kadang bagiku lucu, Mar adalah temanku yang tidak pernah main-main soal belajar. Ia memang bukan siswa terpandai, tapi ia selalu patuh dan tidak pernah membangkang. Ia belajar dengan keras. Menjelang ujian tengah semester atau kenaikan kelas, kami semua mengandalkan buku catatan Mar. Ia selalu mencatat dengan rapi semua yang terpampang di papan tulis dan semua yang diucapkan guru-guru. Ia seperti kanebo kering atau spons penyerap air. Semua dicatatnya habis. “Bayar sekolah mahal-mahal, kalau enggak dicatat semua… hmm, rugi,” begitu katanya.

Seperti teman-temanku yang lainnya, kadang-kadang aku sering absen salat lima waktu. Tapi begitu menjelang ujian akhir SMA, semua menjadi sangat giat beribadah.  Mar pun begitu (tapi memang sedari dulu Mar termasuk temanku yang paling tekun beribadah), ia tidak pernah absen salat lima waktu. Malah semakin sering tepat waktu. Luar biasa. Pernah kutanya mengapa rajin sekali salatnya? Mar menjawab ringan, “Gua sayang bokap, Ta.”

Suatu siang pernah ia membawa buku pedoman salat-salat sunah, “Lo mau masuk ITB ‘kan? Mau masuk UGM ‘kan? Ha-ha-ha. Biar lancar, biar maksimal!”  Aku cuma tertawa saja melihatnya membaca buku itu. Bagiku perilakunya sungguh lucu. Tapi saat itu, sungguh aku kagum dengan usaha kerasnya.

Mar memang bukan anak yang selalu juara kelas, tapi kegigihannya membuatnya berhasil diterima di universitas terkemuka yang punya reputasi bagus. Aku dan Mar mendaftar di perguruan tinggi yang sama. Sayangnya kami harus berpisah. Mar diterima di sana, aku tidak. Meski berkuliah di tempat dan kota yang berbeda, kami kadang masih berhubungan lewat telepon atau dunia maya. Hanya satu atau dua kali dalam setahun biasanya kami berjumpa. Itu pun saat menjelang lebaran atau libur semesteran. Dan meski lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi karena sama-sama sibuk, aku selalu senang mendapat kabar darinya bahwa ia menikmati kehidupan perkuliahannya.

Lalu di tahun yang sama, kami sama-sama menapaki dunia kerja. Dan alangkah senangnya begitu kutahu bahwa kantor baru Mar berlokasi tidak jauh dari kantorku. Karena itu meski berbeda kantor, kami indekos di kawasan yang sama. Jadi, seperti dulu sewaktu SMA, kami kembali sering berhubungan, minimal seminggu sekali kami berjumpa.

Hidup Mar memang jauh lebih baik setelah ia bekerja. Usaha kerasnya berbuah manis. Ia mendapatkan jabatan yang lumayan tinggi di salah satu perusahaan ritel ibu kota. Meski begitu, sama seperti saat kami masih sekolah, Mar masih suka bercanda, taat beribadah dan tetap rendah hati. Memang ada sedikit perubahan dari penampilannya. Ia jauh lebih modis, jauh lebih terawat dan cantik. Tuntutan pekerjaan, katanya. Dan itu membuat Mar menjadi perempuan yang lebih percaya diri. Ia bergerak dengan cepat dan efisien. Bahkan dengan Manolo Blahnik (atau bahkan Louboutin!), ia bisa berjalan dengan sangat—sangat cepat! Mengalahkan aku yang seorang wartawan, yang saat itu pelanggan setia sepasang Converse kemana-mana.

Meski begitu kadang kudapati ia, sama seperti dulu, tetap rajin nonton Kick Andy dan membaca Kompas. Meski ia sekarang tidak pernah absen dari acara nongkrong selepas kerja, ia tetap sesengukan nonton Titanic, film favoritnya, untuk kesekian kalinya. Meski sekarang ia tidak pernah lama memilih menu makanan (bahkan kadang Mar-lah yang merekomendasikan tempat nongkrong dan makanan apa yang sebaiknya kami pesan), ia tetap rajin membawa mukenah (yang ia selipkan di tas Hermes atau Birkin-nya!) kemana-mana. Lucu sekali.

Mungkin karena aku dan Mar memang begitu dekat sewaktu SMA, kalau tidak sengaja aku bertemu dengan teman-teman SMA-ku, mereka selalu tidak lupa menanyakan kabar Mar. Mar selalu dipuji dan dikagumi karena kesuksesannya sekarang. “Kemarin gue lihat di Path, Mar ke Milan ya?” “Ya ampun senang dengernya, deh! Keren banget tuh anak, dulu ‘kan dia susah banget!” “Untung dia emang anak baik, jadi gue rela dia sukses. Salam yah buat Mar!” “Dari dulu emang doi rajin banget. Sepadanlah sama apa yang didapatnya sekarang. Salut buat Mar!” begitu kata teman-temanku.

Suatu hari kudapati Mar tidak masuk kerja selama tiga hari. Aku pun tahu kabar itu dari salah satu temanku yang kebetulan satu kantor dengan Mar. Temanku bilang, Mar sakit. Bingung, kutelepon Mar saat itu juga. Sayangnya Mar tidak angkat. Di malam hari kudapati pesan singkat dari Mar. Yang cukup bikin aku kaget setengah mati adalah, ia memintaku menemaninya menggugurkan kandungannya. Aku benar-benar kaget. Reaksiku adalah langsung meneleponnya lagi, tapi sayang ia tidak angkat. Aku kirim pesan singkat supaya Mar mengurungkan niatnya. Balasan cepat kilat datang, ia bilang kalau ia akan tetap melakukannya meskipun tanpa aku. Saat itu aku benar-benar tidak habis pikir. Aku panik. Sayangnya, aku memang tidak terlalu kenal dengan pacar Mar saat itu (kebetulan Mar juga tidak pernah memperkenalkannya padaku). Untungnya aku masih memiliki nomor telepon genggam si pacar. 

Aku telepon pacar Mar yang bernama Oka itu. Oka bilang ia sendiri tidak mau melakukannya. Ia sayang pada Mar dan bersedia bertanggung jawab. Aku bilang tolong bujuk Mar. Oka bilang ia akan mencobanya. Tapi, aku memang benar-benar tidak akan tenang sebelum mendengar sendiri dari mulut Mar kalau ia akan mengurungkan niatnya.

Maka, keesokan paginya, aku membolos kerja (selama satu tahun kerja aku tidak pernah bolos!). Aku datang ke kosan Mar, pintu kamarnya tidak dikunci. Kudapati Mar di dalam kegelapan meringkuk sendirian di atas tempat tidurnya. “Mar,” kataku. “Ta,” Mar membalasku lemah sambil tidak bergerak.

Aku nyalakan lampu dan kudapati wajah Mar memerah. Matanya bengkak. Kamarnya berantakan. Ia seperti habis menangis selama seribu satu malam. Kudapati di sebelah mejanya satu strip tablet putih masih terbungkus sempurna. Kubaca labelnya tertera Misoprostol. Aku tidak tahu apa-apa tapi aku curiga. Aku bilang pada Mar jangan seperti itu. Jangan begitu. Aku bahkan bilang bahwa aku berjanji akan memelihara si jabang bayi selepas ia dilahirkan. Tapi mulutku yang berbusa-busa itu selekasnya Mar bungkam. Ia memberiku dua pilihan, menemaninya melakukan itu semua atau keluar dari kamarnya. Aku juga memberinya dua pilihan, tidak melakukannya atau putus hubungan. Kami sama-sama memilih nomor dua.

Aku merasa ditipu habis-habisan. Aku merasa dikhianati. Kudapati pesan singkat dari Oka keesokan harinya bahwa Mar telah menggugurkan kandungannya. Meski Mar mengalami pendarahan hebat, Oka bilang semua akan baik-baik saja. Mar terus menghubungiku setelah itu. Tapi aku tidak sanggup membalasnya. Dan ia terus menghubungiku lewat pesan singkat maupun telepon. Aku acuh. Mar bilang semua akan baik-baik saja.

Aku tidak tahu siapa yang baik-baik saja. Mar yang solat hadjat dan tahajud supaya lulus ujian masuk dan diterima di universitas idaman. Mar yang memandang buku menu makanan terlalu lama. Mar yang membeli pisang-pisang busuk. Mar yang menelepon ayahnya hampir setiap hari. Mar yang tidak selalu juara kelas tapi selalu punya catatan lengkap. Mar yang membawa mukenah di tas Birkin-nya. Mar yang hapal jadwal Kick Andy. Mar yang tidak pernah absen meneleponku subuh-subuh setiap aku berulang tahun. Siapa yang mereka pikir baik-baik saja?

Dua hari setelah kejadian itu aku mendapat pesan dari Oka, begini kira-kira isinya, eh ternyata lo kenal Eliza? Oh dia teman kantor lo yah? Kok bisa kebetulan gitu sih? Ha-ha-ha. Salam yah!

Aku tidak membalasnya.

Aku tidak tahu siapa yang baik-baik saja. Seketika semuanya dingin. Aku menggigil. Aku gemetaran. Aku memeluk tas dan baju hangatku yang ada di pangkuanku. Apa aku harus menepati janji yang ini? Aku memeluk diriku sendiri malam itu. Aku tahu aku tidak mau ingkar janji. Aku sudah berjanji. Aku benci ingkar janji. Aku tidak pernah ingkar janji. Aku memeluk diriku sendiri. Lalu menangis. Dan kedinginan. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Telapak tanganku kemudian basah. Dan dingin sekali. Dingin. Dingin sekali. Padahal AC kereta komuter tidak menyala malam itu.



Bogor, 9 - 28 Mei 2014
 Mar! Mar! Mar!

it hurts but it maybe the only way.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar