4 Mei 2014

Kertas Basah

Kemarau sudah lewat. Maka kukembali supaya bisa membuat tanah lekas basah, daun-daun berbisik berisik, ibu burung gereja pulang ke sarangnya dan matahari beristirahat sebentar.

Di sepanjang musim itu, aku sering melihatmu duduk di bangku itu, menatap lekat-lekat sebuah pohon besar, yang kayunya nampak tanpa pembuluh, daun-daunnya seperti bersorak-sorak ketika tertiup angin dan akarnya menyebar di beberapa lapis tanah.

Aku sesungguhnya ingin bertanya, apa yang kau lakukan disana? Kenapa kau tak jemu-jemu duduk disitu? Apa yang kau tunggu? Apa kau tidak bosan? Atau pegal? Atau kesemutan? Mengapa kau menatap lekat-lekat pohon tua itu?

Ada cerita apa disana?

Hmm… namun sayang sepertinya kau tidak pernah mau cerita. Sayang sepertinya kau lebih suka menghimpun rahasia.

Atau mungkin aku memang tidak pernah masuk hitungan.

Ya, ya, bagimu, aku memang tidak patut diperhitungkan. Dan aku pikir mungkin begitu. Aku pikir pasti begitu. Pasti begitu.

Tapi herannya, tidak seperti yang lainnya, tiap kali aku jatuh, kau selalu tidak berusaha menghindar. Kau tahu maksudku berupaya jatuh tanpa mengagetkan. Dan lucunya, kadangkala kau berhitung pelan-pelan: satu, dua, tiga, empat, tujuh, dua puluh, empat puluh, empat puluh sembilan…  Dan kau tetap, nampak tidak berusaha menghindar.

Dan bahkan setelah genap hitunganmu mencapai seratus atau seribu, kau selalu tidak mengenyahkan diri dari situ. Kau selalu disitu. Kau seperti suka berada di situ. Kau seperti suka aku ada di situ. Kau tidak menghindari setiap tetesku.

Apa kau benar-benar mendengarku? Benarkah begitu?

Hmm, ya, ya, aku mengerti sekarang. Kau lebih suka mendengarkan. Kau jadikan cerita-ceritaku sebagai temanmu untuk menunggu. Untuk menunggu sesuatu yang aku tidak tahu.
Dan karena itu sekali lagi, aku ingin langsung bertanya padamu: sesungguhnya apa yang kau tunggu? Apa yang kau tunggu sehingga kau nampak terlalu dirundung pilu dan aku yang melihatnya ikut-ikutan ngilu?

Apa kau terlampau rindu?

Loh, lalu itu, itu kertas sketsa yang kau bawa-bawa mengapa terlihat basah? Padahal ‘kan kau belum menorehkan segaris apapun? Dan padahal, aku belum jatuh dan aku masih bersembunyi di segumpal awan mendung.

Maukah kau ceritakan, ceritakan padaku? Semua yang kau simpan. Semua yang kau kenang. Aku berjanji aku akan semakin pandai berjatuhan pelan-pelan dan aku akan bersikap lebih sopan.  Lagipula itu kan gunanya teman!

Mengapa, mengapa kau selalu begitu?

Mengapa kau selalu kembali, kembali kesitu. Duduk sepanjang hari sambil bertatapan dengan pohon tua itu. Membasahi kertas-kertas dalam buku sketsamu. Tenggelam dalam kenangan. Terlalu larut di dalam rindu.  Dan selalu, selalu begitu.

Padahal tahukah kau? Sesungguhnya pada hari-hari ketika kau tidak ada di situ, rasanya aku selalu ingin jatuh berkali-kali. Bertubi-tubi. Sambil membawa anak-anak angin dan juga kawanan petir. Meredam semua suara-suara yang ada di bumi. Membuat beberapa di antara mereka bergidik ngeri.

Tahukah kau bahwa semuanya sekedar demi menumpas sepi—demi menuntaskan duka hati—dan membasmi lelah karena selalu sendiri. Tahukah kau bahwa aku mulai bosan pada awan dan matahari, yang sering bertanya padaku: sesungguhnya siapa yang jauh lebih merindu?

Ya, ya, mereka benar juga, sesungguhnya siapa yang jauh lebih rindu?

Jauh. Lebih. Rindu.

Lebih.

Rindu.

Maka dari itu, izinkan aku mengadu. Mengadu pada kau yang pula terlampau rindu: Bahwa aku pun rindu. Rindu menjadi pendengar untuk kau yang hatinya memar.

Baiklah, kalau kau tidak mau bercerita. Setidaknya kabulkan satu permohonanku yang ini:
Aku ingin kau menengadahkan kepalamu. Melihatku sekali saja. Aku ingin kau tahu, bahwa aku tidak hanya pintar membawa petir berkali-kali dan aku tidak hanya pandai membuat langit satu rona lebih gelap. Dan hey, lihat, lihat aku ternyata bisa muncul beriringan dengan sinar matahari! Dan aku juga bisa menghapus debu-debu jalanan yang berterbangan, membuat udara setelahnya lebih bersahabat, menjadikan tanah lebih harum dari biasanya…

Oh! Ada satu lagi:

Aku ingin kau menadahkan sketsamu di bawahku. Aku ingin melihat, melihat gambar apa yang kau coba lukis disana. Dan kalau pun memang tidak ada aku disana, kalau pun memang tidak pernah ada aku di buku sketsamu, sesungguhnya—ya sesungguhnya—aku hanya ingin kertasmu basah. Aku hanya ingin kertasmu basah.

Aku ingin kertasmu basah. Kali ini bukan karena air matamu sendiri. Kali ini bukan karena air matamu lagi.


Bogor, 20 - 27 April 2014
dari dan untuk Teman Hujan


2 komentar:

  1. Ini juga bagus car. Gw suka bgt sm hujan. Jd smua yg berhubungan sama hujan gw suka. haha. Oiya saran, keliatannya klo font size nya di gedein jd tambah oke deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Agung atas komentarnya. Hihi iya oke sudah digedein font-nya kok :D

      Hapus