Aku paling tidak suka orang sembarangan
soal tidur. Aku tidak suka mereka yang tidak berdoa. Dan yang tidak mencuci
badan. Atau yang tidak gosok gigi. Semacam tertidur karena memang sebenarnya
tidak punya niat tidur. Atau—dengan alasan apapun—yang sengaja dan berniat
untuk tidak tidur, tapi malah tidur. Dan yang tidur dengan perut kekenyangan. Dan
yang tidur untuk lari dari kenyataan. Atau yang sengaja minum obat tidur. Atau
yang tidur terburu-buru demi mempercepat hari esok. Dan yang tidur karena tidak
tahu harus berbuat apa. Atau yang tidur setelah kebanyakan tidur. Atau yang
tidur untuk mencari jawaban atas segala persoalan. Dan terutama, yang tidur
sambil menyesali diri, sambil menangis, sambil mengumpulkan marah.
Aku
tidak suka dengan orang-orang macam begitu. Tidak sopan soal tidur.
Karena itu, terpaksa aku kasih
mereka mimpi yang buruk-buruk. Biar mereka kapok. Biar mereka sadar kalau tidur
adalah sama pentingnya dengan membaca Al Kitab, belajar di sekolah, menghormati
orangtua, menyantuni anak yatim, mandi dua kali sehari, dan lain sebagainya.
Tidur
itu perlu diperlakukan dengan martabat.
Jika bisa berperilaku hormat
pada tidur, aku tidak akan pelit membagi-bagi mimpi indah. Mimpi yang bisa disyukuri
setelah bangun. Mimpi yang bisa diingat dan disimpan dalam hati. Mimpi yang
niscaya bisa bikin hidup jadi lebih nyata, lebih jelas dan berdaya.
Dan bagi mereka yang tidak
menaruh hormat pada hidup dan tidur, mimpi-mimpi yang tersedia adalah yang
buruk sampai yang sama sekali tidak waras—sebut saja: dibuang ke neraka, diamuk
masa, dikejar hutang piutang, dikalahkan musuh, dipermalukan anak sendiri, dilucuti
buaya, dikencingi monyet, diludahi babi, dirajam ular, dikhianati kekasih.
Begitu pula sebaliknya. Bagi
mereka yang menghargai tidur, aku bisa memberi apapun yang mereka inginkan. Bahkan,
demi membuat orang-orang itu bahagia sebentar, aku bisa memutarbalikkan fakta.
Aku bisa bikin yang miskin jadi kaya, yang bodoh jadi juara olimpiade, yang
jelek jadi cantik atau tampan rupawan, yang sakit jadi sehat sentausa, yang
sedih jadi bahagia jumawa, yang gila jadi waras.
Aku
bisa berbuat apapun.
Ingatkah kisah Biksu Tong yang
mengembara ke Barat demi mencari kitab suci? Alkisah, Kera Sakti—salah satu
murid Sang Biksu—bisa mengalahkan dewa-dewi langit, termasuk diantaranya Dewa Bumi
dan segala angkatan bersenjatanya dengan mudah. Hanya Buddha, Dewi Kwan Im dan
aku yang bisa mengalahkan Sang Kera. Aku bisa bikin Kera Sakti kalang kabut dan
bertekuk lutut. Sungguh!
Artinya,
aku sehebat Buddha. Percaya? Ha!
Harus.
Harus
percaya.
Nah, tapi…
…adalah seorang perempuan—seorang
anak manusia.
Anak manusia yang seorang
perempuan.
Perempuan ini entah punya
kekuatan apa, ia bisa mengatur mimpinya sendiri. Di dalam mimpinya, ia bisa membelah
lautan, persis seperti Nabi Nuh. Ia bisa mengatur panas matahari dan
menyembunyikan awan. Ia bisa mengunci petir dan mengendalikan arah angin. Ia
memasak seribu jenis makanan enak. Ia berbicara puluhan bahasa dunia. Ia
berjalan di permukaan air. Ia menari di udara. Ia mengirim ratusan pemusik dari segala penjuru
negeri. Ia mengganti musim, memekarkan bunga dan menggugurkan daun dalam sekali
detik.
Sungguh
gila!
Gila.
Baru kali ini aku bertemu
makhluk seperti ini. Sampai-sampai tidak sedikitpun ada andilku dalam
mimpi-mimpi indahnya.
Ah,
enak saja dia mengatur-ngatur mimpinya sendiri!
Ah,
perempuan
sialan ini, benar-benar menjatuhkan reputasi dan harga diriku.
Dan demi langit dan bumi—surga
dan neraka, aku tidak boleh kalah.
Aku
tidak boleh kehilangan wibawa!
Karena itu, mau tak mau, di
suatu malam yang lumayan kelam, aku menyelinap masuk ke mimpinya. Malam itu,
rencananya, akan kuobrak-abrik mimpinya. Aku akan menggertak perempuan
semena-mena ini. Aku akan menunjukkan rupa. Aku akan menunaikan murka.
Lalu, saat itu, tibalah aku di
dalam mimpinya. Kudapati perempuan jalang itu tertidur santai di bawah pohon
rindang. Di atas ayunan kain yang membungkus
tubuh sintalnya. Sejauh mata memandang adalah hamparan air dalam sebuah telaga
yang jernih. Di pesisir telaga, pohon-pohon berdaun hijau, bercabang dan
beranting merah muda berjajar apik. Bunga-bunga berwarna keemasan. Semuanya
mekar. Ada angin semilir. Langit bersih dari awan.
Aku mendekat perlahan. Dari
dekat, kuperhatikan, ternyata wajahnya biasa saja. Tidak cantik-cantik amat. Rambutnya
ikal diikat kebelakang. Kutaksir usia perempuan ini baru seperempat abad. Ia memakai kacamata hitam, baju terusan, dan
kelihatan sangat nyaman, ia sedang menikmati dirinya sendiri. Kulitnya sedikit
terbakar matahari.
Mimpinya
terlalu cantik buatnya.
Siapa
kamu? Tanya perempuan itu begitu sadar akan kehadiranku. Ia
membuka kacamata hitamnya. Meletakkan telepon genggam, lalu jus apel dari
genggaman ke meja di sampingnya. Ia merenggangkan tubuhnya, dan tersenyum entah
apa maksudnya.
Justru
aku yang harusnya bertanya, siapa sebenarnya kamu! Aku
berseru, marah.
Perempuan itu tidak menjawab. Perempuan
itu terlihat kaget sekaligus heran. Ia memandangiku dari atas sampai bawah. Ia
kemudian mengenyahkan senyumnya, lalu mengulangi pertanyaannya, siapa kamu?
Aku
Siluman Mimpi, jawabku singkat.
Perempuan itu terdiam, masih
dalam posisi berbaring. Ia kelihatan berpikir. Wajahnya menunjukkan raut tidak
percaya dan curiga, Lho… kamu… siluman?
Aku memasang wajah penuh
sengketa.
Perempuan itu terdiam. Seperti
mencari-cari kata yang hilang.
Kenapa kamu seenak-enaknya bermimpi? Tanyaku.
Seenak-enaknya
bermimpi? Kamu ngomong apa sih? Perempuan itu balik bertanya.
Aku
tidak bisa mengendalikan mimpimu! Nada suaraku meninggi.
Perempuan itu terdiam. Wajahnya
merumuskan ribuan tanda tanya. Tapi kemudian ia berbicara, Lho? Ini
‘kan mimpiku…
Aku menatapnya tajam.
…kenapa
kamu yang harus repot-repot ngatur? Jawabnya, sedikit ikut
meninggi, ini mimpiku!
Aku berkonsentrasi untuk
menggerakkan angin, tapi angin menolak bereaksi. Aku minta air di telaga supaya
meluap, tapi percuma. Aku minta daun-daun seketika meranggas, tapi percuma. Aku
minta matahari berubah jadi petir, tapi percuma. Apapun yang kuminta untuk menggertak
perempuan itu, percuma. Aku ingin membuktikan bahwa aku punya kekuatan. Tapi,
sungguh aneh! Aku tak berdaya di dalam mimpi perempuan itu. Aku tidak bisa
menunjukkan kuasaku!
Perempuan itu menatapku tajam.
Aku hanya diam terpaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Seketika lemah di
hadapannya.
Kemudian perempuan itu
tersenyum sebentar, dan menghilang dalam sekejap. Ia berubah menjadi kabut yang
bercampur angin. Lalu daun-daun jatuh berguguran. Aku ditinggalkannya sambil
menanggung malu.
Hah?
Apa-apaan
ini?
Apa-apaan
ini?
Marahku.
Aku harus mencari cara. Tidak
boleh makhluk lain, apalagi manusia biasa, sembarangan mengatur-atur mimpinya
sendiri. Aku harus mencari tahu apa sebab perempuan ini begitu berdaya.
Karena itu aku mengintip ke
dunia nyata, melihat kegiatan perempuan ini sehari-harinya. Jangan-jangan ia
pakai ilmu hitam atau memang ia sebenarnya siluman juga.
Kuintip dunianya sebentar.
Tapi ternyata ia cuma manusia
biasa. Punya seorang adik, punya dua orang kakak dan punya orang tua yang belum
terlalu tua. Di dunianya, ia bahkan bukan selebriti, bukan orang terkemuka. Ia
tidak tinggal di apartemen mewah atau punya banyak kondominium. Ia hidup sederhana. Ia pegawai biasa. Ia naik
kopaja ke kantornya. Ia bahkan sering dipotong gajinya karena terlambat sampai
ke kantornya. Ia juga tidak pergi ke dukun—bayar taksi saja kelihatan susah,
apalagi dukun?
Lalu
apa perkaranya? Apa yang jadi musabab ia begitu berdaya di alam mimpi?
Hmm…
Kutilik-tilik lagi memang ia
tidak pernah sembarangan soal tidur.
Ia memang sungguh serius soal
tidur. Bahkan terlalu serius. Dari mulai memilih bantal, guling, seprai,
selimut, piyama, sampai memilih teman tidur pun ia tidak pernah main-main. Seprainya
harus yang berbahan katun dan ia menggantinya tiga atau dua hari sekali. Mencuci
selimut seminggu sekali. Sebelum tidur, ia tidak pernah lupa urusan cuci kaki,
cuci badan dan gosok gigi. Ia memanjatkan banyak doa. Rambutnya selalu wangi,
tubuhnya wangi. Ia melumuri kulitnya dengan minyak zaitun. Ia memastikan
kuku-kukunya terpotong rapi berbaris sempurna. Kulitnya bercahaya dan wangi. Semuanya
bersih dan wangi. Ia kadang menyalakan aroma terapi atau mengganti pewangi
kamar tidurnya. Padahal kamar tidurnya sempit dan cuma dinafkahi kipas angin
untuk menangkal panasnya udara ibu kota.
Yang
benar saja?
Tidak
mungkin hanya itu penyebabnya.
Maka aku menyusup ke mimpinya
lagi di suatu malam.
Lalu aku tiba dalam mimpinya
basah kuyup. Saat itu hujan lebat. Banyak petir dan kilat. Sepanjang jalan,
kiri dan kanan, pohon-pohon bersusun cukup rapat. Aku jadi kesusahan berjalan. Kemudian
tibalah aku di sebuah savanah. Hujan masih menhujam.
Dimana
ini? Apa aku salah masuk mimpi? Aku bertanya-tanya.
Mana
perempuan itu?
Baru terlintas dipikiran
pertanyaan itu, tiba-tiba disampingku perempuan itu muncul. Ia memayungiku. Ia
seperti membaca pikiranku. Aku seperti anak kecil yang kebingungan belum menyelesaikan
pekerjaan rumah dan siap dimarahi ibu guru. Ia kemudian menarik tanganku,
menyusuri ilalang yang basah. Herannya, aku rela saja. Aku berjalan bersamanya.
Kemudian kami sampai di sebuah
rumah kayu. Aku dipersilahkannya masuk, lalu dijamunya dengan teh hangat
beraroma mint sementara aku duduk
sambil menggigil. Aku sengaja diam saja. Aku pikir dengan diam, aku bisa
mencari-cari titik lemahnya.
Di mimpinya yang lain, perempuan
itu menari, diiringi musik samba lalu
bossa. Ia menarikku ke tengah
keramaian, ia mengajakku berdansa. Ia menari sambil tertawa. Dengan rok
flaminggo bunga-bunga yang dipakainya. Ia kelihatan senang. Ia terlihat senang
dan ia menggenggam tanganku.
Kali lain, kudapati ia berada di
atas sebuah tebing terjal yang dikelilingi lembah-lembah curam. Ia melukis. Ia
duduk berhadapan dengan selembar kanvas putih. Lalu di kanvas itu, ia menyisakan
jejak putih sedikit untuk awan, biru untuk langit, titik-titik hitam untuk
burung-burung terbang, kuning kecokelatan untuk kumpulan tebing yang hangus,
hijau untuk setitik daun, dan merah, dan oranye, merah muda untuk bunga-bunga
di setitik daun tadi.
Pada kesempatan selanjutnya, ia
berjalan di keramaian sebuah pusat kota. Berjalan dengan mantap dan berani
menerobos kemacetan dan orang lalu lalang. Menggenggam tanganku sambil
bersenandung. Ia berjalan cepat, tidak menoleh ke belakang sedikitpun.
Dan di suatu mimpinya yang
lain, aku mendapati diriku duduk di hadapannya. Di atas sebuah teratai yang
mengambang di telaga jernih dan tenang. Saat itu ia bilang aku Buddha. Ia
bilang aku dewa, aku kesatria, aku raja,
Dan
katanya aku bukan siluman.
Aku semakin rajin masuk ke
mimpinya. Mimpi-mimpinya yang selalu cantik dan apik.
Aku sebenarnya hanya dan selalu
mencari celah. Mencari titik lemah.
Meski begitu, sayang tidak
setiap hari perempuan itu bermimpi. Kadang ia tertidur tanpa mimpi. Dan sayang sekali
aku hanya bisa berjumpa dengannya dalam mimpi.
Sialan,
kenapa aku merindukannya?
Tapi pikirku saat itu: tidak, tidak. Aku hanya merindukan mencari
celah dan titik lemah. Bukan merindukan sosoknya.
Aku
tidak benar-benar merindukannya.
Aku
hanya mencari titik lemah.
Mungkin karena itu, aku jadi
selalu mendambakan hadir di mimpinya. Aku selalu ingin tahu apa yang terjadi di
mimpinya selanjutnya. Aku selalu mencari titik lemah. Maka, aku ingin
dilibatkan dalam mimpinya.
Dilibatkan
dalam mimpinya?
Tidak,
tidak. Aku hanya mencari celah dan titik lemah.
Atau…
Atau
mungkin aku sudah gila?
Gila.
Aku dengar di dunia manusia, salah
satu yang bisa bikin gila adalah cinta. Dan urusan cinta itu adalah disaat dua
kali dua bukan lagi empat. Tapi bisa seratus atau nol. Tidak masuk akal.
Tapi
tidak.
Tentu
saja tidak.
Tidak mungkin aku jatuh cinta.
Aku bukan manusia.
Aku
bukan manusia.
Aku
siluman yang kemudian mulai hadir di ratusan mimpinya. Sampai suatu ketika,
dalam satu mimpinya, aku tidak lagi mencari celah dan
titik lemah. Aku lelah. Aku berhenti berusaha mengalahkannya.
Dan…
Entah mengapa aku merasa lebih
baik. Setelah berhenti mencari titik lemah aku merasa lebih nyaman. Menjadi
bagian dari mimpinya ternyata menyenangkan. Dan bermimpi berdampingan dengannya
jauh lebih menyenangkan.
Padahal aku tahu rahasia besar soal
mimpi: tidak semua mimpi jadi kenyataan. Aku ingin, mimpi hidup di dalam dunia
nyata bersama perempuan itu—jadi kenyataan. Dan mimpiku, sepertinya tidak akan
pernah jadi kenyataan. Dan mimpiku untuk hidup tidak hanya sekedar di dalam
mimpi perempuan bunga—tidak akan pernah jadi kenyataan.
Kenyataannya,
aku memang tidak nyata. Tidak berwujud di dunia nyata.
Tapi sudahlah, aku tidak mau
ambil pusing. Biar bagaimanapun, aku bahagia seperti ini. Aku bahagia walau
cuma seperti ini. Ya sudah. Ya
sudahlah. Sudah. Telan saja kenyataan bulat-bulat.
Menjadi
bagian dari mimpinya adalah kenyataan terbaikku saat ini.
Lagipula, tidak ada salahnya ‘kan
terus hidup di dalam mimpi?
Bogor, 6 Maret – 2 April
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar